SAKURA MOTHER

Rabu, 05 Februari 2014

SAKURA MOTHER
Musim semi baru saja datang, cahaya lembut yang menghangatkan itu mulai masuk ke celah-celah kecil jendela bambu kamar Aiko kecil yang baru mulai belajar berjalan. “Seamo, Cepat ambil air kesungai” teriak ibu dari belakang dapur sambil mengendong Aiko. Ka seamo terlihat berlari ke dalam hutan samping rumah kami, di dalam hutan banyak sungai kecil mengalir dengan gemercik merdu yang menjadi irama pagi dalam melodi desa kami.


Tahun semakin cepat berganti “Ka Seamo sudah waktunya shalat, Ayo pulang” aku meneriaki ka Seamo dari bukit rumahku, ketika ka Saemo kembali , aku langsung berteriak “IBUUUU” ,muka kakaku jadi berwarna biru bercampur darah, bajunya kotor dan ketika ditanya oleh ibu “Mereka bilang aku aneh, aku tidak marah sebenarnya bu, percayalah pada Seamo. Tapi mereka bilang ibadahku terlalu bodoh karna gerakanya kuno dan dilakukan lima kali di waktu tertentu, Bagaimana aku tidak marah ?”


***
“Perkenalkan namamu Aiko” seru guruku. Nama saya Aiko Zahra, saya seorang muslim, saya tinggal di desa Fujiyama Nagasaki Utara. Hari pertama dikelas menjadi sangat aneh, kelas mulai ribut dengan segala macam percakapan yang agak menyebalkan kalau didengarkan. “hei, aiko kenapa kepalamu ditutup seperti itu” seru Yuri teman yang duduk dismpingku. “ini jilbab kata ibuku, seorang muslim wajib memakainya”, temanku yang lain mulai teriak di depanku “kau terlihat aneh sekali Aiko”. Tangisku mulai pecah, aku berlari sekencang-kecangnya ke lantai tiga ke kelas ka Seamo “kamu kenapa dik, kok menangis ?” ,ka seamo mulai memelukku, mengusap air mataku, dan membawaku kemabali ke kelas “SIAPA YANG MEMBUAT ADIKKU MENANGIS”.
Hening, kelas diam seribu bahasa, mereka semua menunduk. Aku mulai tersenyum bangga dengan ka seamo, ini baru awal jalanku.
***
Festival olahraga baru saja dimulai di akhir tahun, Acara besar setelah musim semi dan menjadi pembuka liburan yang kami rindukan. Ka Seamo menjadi salah satu peserta lari di festival tahunan ini, Dan aku sebagai peserta basket putri, setelah acara besar ini selesai aku dan ka Seamo harus segara kembali ke desa membawa hasil terbaik kami.
Entahlan rencana setiap manusia hanya sebuah rencana, bukan sebuah kepastian. Ka Seamo terjatuh sebelum mencapai finish kakinya terkilir parah, ini bukan kejadian pertama yang dialami ka Seamo. “hei, Aiko lempar bolanya” teriak yuri sebagai tim lawanku, “aneh memang dirimu begitupun kakamu, pakaian kalian, bicara kalian, pergaula kalian apalagi” seru yuri ketika berhasil merebut bola dari arah sampingku. Ibu selalu bilang jaga batasmu dengan akhlaqmu sejauh apapun kamu dibenci, tepat sekali aku tidak akan membalas kebencian mereka “tenang saja yuri, aku tidak akan membuat dirimu aneh sepertiku, jika kamu tidak suka diriku ” aku mulai berlari merebut bola dari tanganya dan menyusul tiga point tepat di akhir waktu. Setidaknya aku akan pulang dengan mendali terbaikku.
***
Sakura tidak selamanya mempesona setiap mata yang memandangnya, tidak setiap pandangan selalu bersama kebaikan, sama sepertiku ketika aku harus jatuh tersungkur tanpa cahaya sedikitpun. “Ibu meninggal” aku hanya bisa menunduk, menangis sejadi jadinya, teriak sekeras-kerasnya, “AKU MAU PULANG KA” . Surat sampai waktu sore dan malam ini salju mulai turun” kenapa sang pencipta tidak membantu kita untuk pulang dan melihat pemakaman ibu ka ? bukankah setelah musim semi harusnya musim panas ka ?, “oh, Tuhan aku mulai tidak percaya denganmu” . Tamparan keras tepat di wajahku “AIKO, IBU AKAN MARAH JIKA DIRINYA TAU ANAKNYA SELEMAH INI IMANNYA”
Aku berlari meninggalkan ka Seamo yang emosian itu, berlari dan terus menjauh meninggakan asrama, melewati gerbang sekolah dan melewati mereka yang selalu berteriak sinis penuh kebencian, karna aku akan segera sama dengan mereka yang membenci seseorang bernama Aiko Zahra ,membenci diriku sendiri.
***
Terlalu ramai malam ini, terlalu dingin dan aku hanya mengeluh tanpa tanggung jawab pada hatiku sendiri. Membawa mantelpun aku lupa, dan sekali lagi aku memang tidak bertanggug jawab atas tubuh yang diberikan ini. Tapi tidak bisakah aku ke desa melihat ibuku sendiri, apa yang Engkau rencanakan dengan semua ini. Aku sudah mengikuti aturanmu, membela ajaranmu, APALAGI YANG HARUS AKU LAKUKAN. Aku hanya bisa menunduk di tepi jalan tanpa setitikpun cahaya, cahaya lamupun terlihat enggan sekali mendekat denganku.
“Kakak bisakah dirimu mengantarkanku ke toko boneka di sebrag sana” tiba tiba sosok kecil menarik baju panjangku berkali kali, “kakak ibuku ada disana, tolong antar aku kesana” anak itu hampir menangis dan terus memaksaku membantunya, kenapa anak kecil ini harus bertemu ibunya, aku saja tidak bisa bertemu ibuku di desa. “aku tidak bisa, pergilah sendiri” anak itu mulai menangis, tidak tega rasanya melihat anak itu, tapi Tuhanpun tega denganku, ibu pergi begitu saja dan aku tidak diberi kesempatan untuk melihat di terakhir kali.
Tapi tidak, nanti dia akan tertabrak, aku segera berlari mengejar anak kecil tadi yang sudah berada di tengah jalan raya “AWAS” aku berteriak melihat mobil pengangkut barang dengan kecepatan tinggi menuju ke anak yang masih menangis ketakutan itu. Aku dan mendorongnya ke tepi jalan, sekuat aku bisa.
***
“Kamu akan baik-baik saja, Ibu mencintaimu dalam cinta Allah, cepatlah kembali Aiko” , aku tidak ingin kembali, ijinkan Aiko disini bu, Biarkan Allah juga mencintaiku disini. ”Berjuanglah bersama ka Saemo, jangan pernah kecewa dengan apapun Aiko, cepat kembali nak” , aku sudah berjuang disekolah, dan itu sudah cukup bu. ijinkan aku disini”. Mataku mulai terbuka, Ka Seamo dan anak kecil itu ada disampingku, mereka menangis begitupun dengan diriku , aku tidak ingin bangun, aku ingin bersama Ibu, hatiku terus membantin sampai ka seamo membuka selimut yang menutup kakiku, ”maafkan kaka Aiko”.
Semua indah sekali seindah sakura yang tidak pernah aku pedulikan pesonanya, aku tidak punya kaki ini nilai plusku , aku cacat dan ini kesempurnaan gerakku dijalan Allah, dan ini sakura kehidupanku. “terimakasih banyak Aiko, saya tidak bisa membalas pengorbananmu untuk ana k saya” ibu anak kecil itu memelukku dalam tangisnya, aku baru sadar ini hidup ini masih sangat panjang dan perjuangan kemarin belum selesai, masih banyak sakura yang harus aku pelajari bersama ka Seamo.



Umi Wijaya
Tangerang selatan, 5 sep 2013.


Cerpen ini pertama kali ditulis oleh umi wijaya dan di publikasikan di " PENERBIT ASRIFA"


0 komentar:

Posting Komentar