Sekertariat Perss HI
Universitas Indonesia
Mengharapkan
jawaban dari pertanyaan yang tidak ada.
Sudah
tiga puluh menit aku diam sambil terus memaksa otakku untuk mencari jawaban. Mengobrak-abrik
semua ruang ingatan dalam otakku. Mencari dan terus mencari jawaban. Bukan jawaban
karna soal ujian akhir yang tidak aku mengerti, bukan jawaban karna soal essay
yang tidak bisa aku uraikan. Tapi ini semua tentang masa lalu, jawaban dari pertanyaan
yang tidak ada.
Aku
benar-benar sudah melupakan masa lalu itu, menghapus semua ingatan yang selalu
membuat sesak. Membakar semua lembaran ingatan yang mengotori perasaan dan membuat mataku sembab. Tapi
kenapa semua orang menuntutku untuk menjawab dan menjelaskan apa yang tidak aku
fahami. Padahal aku tidak menyukai, sekuat apapun aku mencarinya. Aku tidak
akan menemukan apa-apa.
“Azalia,
Kak Dave menunggumu di depan”. Ah, Kenapa tidak pernah tepat ketika Dave mau
menemuiku.
“Terimaksih
Zain”. Jawabku singkat sambil berjalan malas keluar ruang keseketariatan perss
jurusan. Sepertinya aku akan benar-benar menjadi mayat hidup seperti yang Dave
bilang.
“Ada
Apa?”. Aku sudah bosan sekali melihat wajahnya yang tidak pernah senyum itu.
Beda sekali dengan Nisa yang selalu tersenyum kepadaku.
“Ini
konsep singkat untuk kesimpulan akhir penelitianmu, segera selesaikan. Besok
pagi, aku sudah harus menerima emailmu. Kalau besok belum selesai! kau akan
menyesal seumur hidup.”
Sepertinya
musim hujan ini membuat perasaan dia lebih sejuk sekarang. Sedikit senyum dan
sedikit bantuan membuat dia terlihat seperti manusia. Bukan makhluk sadis lagi.
Yess, setidaknya konsep yang dia buatkan untuk kesimpulan akhir penelitian,
bisa membuatku bahagia hari ini.
“Terimakasih
Daveee…Semoga kau segera menikah.” Aku meneriakinya, setelah dia berlalu pergi.
Dia terlihat
sekali kalau sedang berpura-pura tidak mendengar walaupun terus berjalan tanpa
menengok kebelakang sama sekali, padahal lorong ini bergema. Pasti kaliamatku
barusan membuat dia menahan senyumnya. Setidaknya membuat orang-orang di ruang
keseketariatan tertawa bahagia. Tim Baper tingkat akhir, yang masih belum mau
mengkahiri masa lajangnya. Mereka selalu bahagia mendengar candaan-candaan
penikahan seperti ini.
“Sepertinya
kau sudah hidup lagi Az, gak kaya tadi. Ka Dave ngasih kamu apa?” Tanya
makhluk-baper tingkat akhir yang terkadang keponya berlebihan. Sebut saja
namanya Mawar.
“Dikasih
Cintanya Dave kayanya, Cinta paling damai, sedamai danau UI”. Jawab Surya ketua
editor majalah fakultas yang tingkat bapernya semakin parah semenjak ditolak berkali
kali oleh adik kelas.
Tiba-tiba
ruangan sekertariat sudah penuh dengan tertawa yang paling menyakitkan. Hanya
aku yang tidak bisa tertawa, kalau penyebab tertawanya adalah soal cintanya
Dave. Dasar makhluk-makhluk baper yang gak punya bahasan selain cinta, jomlo,
cinta, jomblo lagi, cinta lagi, jomblo lagi.
“Aku
tadi meneriaku Dave sebagai ucapan terimakasih, bukan baper kaya kalian”.
Jawabku tegas sambil mengusahakan tawa mereka agar segera behenti.
“Biasanya
kau tidak pernah meberikan alasan atau menjelaskan sesuatu yang tidak penting”.
Celetuk salah satu staf perss senior. Saudari Dini Shireen selaku Redaktur
Online paling baper.
“Berarti
Dave Azzam Kahfi penting dong buat Azalia Lee”. Sambung lagi anggota tim baper
yang paling sok puitis. Kali ini ketua tim Lay Out, yang namanya harus
disembunyikan. Panggil saja namanya kak Dewan.
“Cieeeeee…Cieeeee.”
Ruangan sudah tidak kondusif lagi sekarang. Siklus baper mereka semakin tinggi
tidak terarah. Parah, separah rasa sakit mereka yang terlalu sering ditolak.
Dan sulit untuk menyelesaikan kepada mereka kalau pembahasan ini benar-benar
menyebalkan.
Biarlah mereka tertawa bahagia
melihatku yang diam seribu bahasa sekarang. Serba salah, dan tidak bisa
menjelaskan apa-apa lagi. Seperti inilah
mereka, anak perss yang perhatianya sangat-sangat luar biasa. Apalagi soal
perasaan. Mereka akan memperjuangkan perasaannya seperti perjuangan mengejar
berita yang terkadang belum pasti. Memperjuangkan koresponden dalam
ketidakpastian.
Kira-kira seperti itulah mereka.
Kira-kira seperti itulah mereka.
***
Victoria Park 2011
Tetaplah melidungi, Walaupun dilukai, Tetaplah Melindungi
Musim
semi datang sedikit terlambat di Hongkong, Tapi teratai tidak terlambat tumbuh,
kuncip putih kuning keemasannya mulai menghiasi kolam-kolam di hotel yang kami
tempati. Nanti malam karnaval lentera akan diselengerakan di Victoria park.
Ayah selalu bercerita tentang serunya malam-malam di Victoria Park. Bukan karna
disana banyak orang Indonesia, lalu Ayah bisa melatih bahasa Indonesianya yang
agak kacau disana.
Ayah bilang kepadaku dia menyukai Lentera,
karna lentera tidak pernah menyembunyikan cahaya di dalamnya. Lentera itu melindungi
cahaya di dalamnya. Walaupun sebenarnya cahaya bisa saja mebakar lentera yang
tiba-tiba, dia akan terus melidunginya.
“Kamu
harus selalu melindungi orang disekitarmu, walaupun orang-orang disekitarmu
bisa saja membuatmu terbakar. Entah terbakar emosi, persaan atau apapun itu.
Tetaplah melindungi Az”.
Aku
memutuskan untuk datang sendiri, karna Ayah harus bekerja di kapalnya malam
ini. Tapi jam delapan malam aku harus segera menyusul ke pelabuhan. Tempat ayah
bekerja Victoria Harbour. Setiap jam delapan malam di Victoria Harbour ada
pertunjukan symphony of the light. Pertunjukan laser warna warni dengan cahaya
yang menyilaukan sampai membuat bayangan di laut Hongkong. Diiringi dengan lampu
dan musik yang diikuti empat puluh empat gedung pencakar langit di kedua sisi
Victoria harbor.
“Kau
baru saja berumur tujuh belas tahun Az, Ikut Amak saja ke tempat Ayah”. Paksa
Amak ( Read ibu dalam bahasa padang ).
“Aku bukan di negri orang Mak, ini negri Ayahku”.
Aku membatah, dan segera keluar kamar hotel meninggalkan Amak yang belum
selesai bicara.
Kita
kesini tidak sebentar sayang, banyak hal yang harus kita urus untuk kuliahmu
disini, kita harus bertemu Ayah. Temui Ayahmu dulu, peluk dia, cium tangannya,
baru kau bebas main kemana saja. Kau akan tinggal disini sampai kapanpun. Ajak
Amak lagi, lalu mengambil tasku.
“Amak, Aku akan menyusul nanti jam delapan malam”. Jawabku meyakinkan.
Perjalanan dari bandara Internasional Minangkabau tidak begitu melelahkan. Kurang lebih sekitar empat sampai lima jam untuk tiba di Bandara Internasional Hongkong. Hari Idul Fitri Ayah tidak pernah pulang, dan Amak tidak bisa pergi ke Hongkong dalam tiga tahun terakhir. Begitupun denganku, Sudah tiga tahun aku tidak bertemu Ayah langsung. Bukan berarti, aku tidak ingin segera bertemu Ayah. Tapi…
“Segera kembali setelah melihat karnaval lentera, Ayahmu sangat merindukan putrinya”. Amak langsung mengembalikan tas ranselku, aku segera mencium keningnya, mencium tanganya, lalu berlari mengejar waktu. Aku akan segera datang setelah membeli lentera paling bagus tahun ini. Kita akan melihatnya bersama-sama di pelabuahan nanti. Tunggu aku Ayah…
***
Konsulat Jendral RI Hongkong 2011
127-129
Leighton Road, 6-8 Keswick Street , Causeway Bay Hongkong.
Kebakaran terjadi dengan cepat disebabkan kerusakan di mesin kapal. Peyebab lainnya masih diselidiki. Semua staf kapal meninggal dalam kejadian tersebut, Empat puluh turis asing meninggal di rumah sakit akibat luka bakar yang sangat parah. Penumpang yang lain tewas di tempat di kapal masih di identifikasi identitasnya. Tepat pukul delapan malam beriringan dengan pertunjukan symphony of the light sekitar Victoria Harbour.
“Berapa banyak orang Indonesia yang selamat ?”. Tanya Konsul Jendral RI yang beberapa waktu kedepan akan aku panggil Buya. ( Buya : Ayah )
“Semuanya tewas, lima orang turis, sepuluh orang pekerja. Dan satu orang lagi ibu dari anak ini yang baru saja mengurus perpindahan kependudukan di Hongkong. Lalu orang ini mentapku dengan iba. Dan melanjutkannya pembicaraanya kembali.
“Bagaimana dengan Ayahnya ?” Tanya lagi Buya penuh kekhawatiran.
Ayahnya seorang teknisi mesin kapal dan juga ikut tewas dalam kejadian. Ayahnya masih tercatat sebagai penduduk Hongkong. Dia menatapku lagi, seperti menahan tangis. Sama sepertiku sekarang.
“Segera jemput Nisa dan Dave. Langsung ajak mereka ke ruangan saya, sampaikan Buya mereka ingin berbicara serius malam ini juga”.
Seharusnya sekarang aku bersama Ayah dan Amak di kapal melihat pertujukan symphony of the light dan kemegahan Victoria Harbour. Kenapa aku tidak ikut saja bersama meraka tadi. Kenapa aku tidak menuruti Amak. Kenapa aku harus membeli lentera ini. KENAPAA… SEMUA KENAPA TERJADI DI SAAT AKU INGIN BAHAGIA !!! Aku bereriak di dalam hati.
Aku tidak akan menangis di depan manusia. Ayah, aku sudah berjanji. Lihatlah aku tidak menangis sekarang. Tapi bolehkan aku meminta sesuatu kepadamu, karna aku sudah bisa menahan tangisku. Bawa aku pergi bersamamu sekarang juga, aku ingin bersamamu dan amak. Aku mohon…. Aku tidak ingin sendiri seperti ini.
Tiba-tiba seorang perempuan seumur Amakku masuk kedalam ruangan dengan terburu-buru. Aku sudah tidak bisa melihat wajahnya, pandanganku sangat berberkunang-kunang. Aku sekilas melihat senyuman tulusnya dan dia langsung memelukku yang masih diam menahan tangis. Dia mengusap rambutku dengan lembut, lalu berbisik pelan “Aku Amakmu sekarang, menangislah Azalia”. Dia terus memeluk erat sekali. Sampai aku merasakan semuanya menjadi gelap, bisu dan lenyap.
Bersambung.... Part III #Semogaberkesan :)
Writers : Umi Wijaya Lau
____________________________________________________
Blog : http://umiwijaya.blogspot.co.id/
Facebook : https://web.facebook.com/umi.w.lau
Instagram : https://www.instagram.com/umi_wijayalau/