Azalia Lee ( Part II )

Senin, 29 Februari 2016








Sekertariat Perss HI
Universitas Indonesia   
Mengharapkan jawaban dari pertanyaan yang tidak ada.
                Sudah tiga puluh menit aku diam sambil terus memaksa otakku untuk mencari jawaban. Mengobrak-abrik semua ruang ingatan dalam otakku. Mencari dan terus mencari jawaban. Bukan jawaban karna soal ujian akhir yang tidak aku mengerti, bukan jawaban karna soal essay yang tidak bisa aku uraikan. Tapi ini semua tentang masa lalu, jawaban dari pertanyaan yang tidak ada.
                Aku benar-benar sudah melupakan masa lalu itu, menghapus semua ingatan yang selalu membuat sesak. Membakar semua lembaran ingatan yang  mengotori perasaan dan membuat mataku sembab. Tapi kenapa semua orang menuntutku untuk menjawab dan menjelaskan apa yang tidak aku fahami. Padahal aku tidak menyukai, sekuat apapun aku mencarinya. Aku tidak akan menemukan apa-apa.
                “Azalia, Kak Dave menunggumu di depan”. Ah, Kenapa tidak pernah tepat ketika Dave mau menemuiku.
                “Terimaksih Zain”. Jawabku singkat sambil berjalan malas keluar ruang keseketariatan perss jurusan. Sepertinya aku akan benar-benar menjadi mayat hidup seperti yang Dave bilang.
                “Ada Apa?”. Aku sudah bosan sekali melihat wajahnya yang tidak pernah senyum itu. Beda sekali dengan Nisa yang selalu tersenyum kepadaku.
                “Ini konsep singkat untuk kesimpulan akhir penelitianmu, segera selesaikan. Besok pagi, aku sudah harus menerima emailmu. Kalau besok belum selesai! kau akan menyesal seumur hidup.”
                Sepertinya musim hujan ini membuat perasaan dia lebih sejuk sekarang. Sedikit senyum dan sedikit bantuan membuat dia terlihat seperti manusia. Bukan makhluk sadis lagi. Yess, setidaknya konsep yang dia buatkan untuk kesimpulan akhir penelitian, bisa membuatku bahagia hari ini.
                “Terimakasih Daveee…Semoga kau segera menikah.” Aku meneriakinya, setelah dia berlalu pergi.
                Dia terlihat sekali kalau sedang berpura-pura tidak mendengar walaupun terus berjalan tanpa menengok kebelakang sama sekali, padahal lorong ini bergema. Pasti kaliamatku barusan membuat dia menahan senyumnya. Setidaknya membuat orang-orang di ruang keseketariatan tertawa bahagia. Tim Baper tingkat akhir, yang masih belum mau mengkahiri masa lajangnya. Mereka selalu bahagia mendengar candaan-candaan penikahan seperti ini.
                “Sepertinya kau sudah hidup lagi Az, gak kaya tadi. Ka Dave ngasih kamu apa?” Tanya makhluk-baper tingkat akhir yang terkadang keponya berlebihan. Sebut saja namanya Mawar.
                “Dikasih Cintanya Dave kayanya, Cinta paling damai, sedamai danau UI”. Jawab Surya ketua editor majalah fakultas yang tingkat bapernya semakin parah semenjak ditolak berkali kali oleh adik kelas.
                Tiba-tiba ruangan sekertariat sudah penuh dengan tertawa yang paling menyakitkan. Hanya aku yang tidak bisa tertawa, kalau penyebab tertawanya adalah soal cintanya Dave. Dasar makhluk-makhluk baper yang gak punya bahasan selain cinta, jomlo, cinta, jomblo lagi, cinta lagi, jomblo lagi.
                “Aku tadi meneriaku Dave sebagai ucapan terimakasih, bukan baper kaya kalian”. Jawabku tegas sambil mengusahakan tawa mereka agar segera behenti.
                “Biasanya kau tidak pernah meberikan alasan atau menjelaskan sesuatu yang tidak penting”. Celetuk salah satu staf perss senior. Saudari Dini Shireen selaku Redaktur Online paling baper.
                “Berarti Dave Azzam Kahfi penting dong buat Azalia Lee”. Sambung lagi anggota tim baper yang paling sok puitis. Kali ini ketua tim Lay Out, yang namanya harus disembunyikan. Panggil saja namanya kak Dewan.
                “Cieeeeee…Cieeeee.” Ruangan sudah tidak kondusif lagi sekarang. Siklus baper mereka semakin tinggi tidak terarah. Parah, separah rasa sakit mereka yang terlalu sering ditolak. Dan sulit untuk menyelesaikan kepada mereka kalau pembahasan ini benar-benar menyebalkan.
                Biarlah mereka tertawa bahagia melihatku yang diam seribu bahasa sekarang. Serba salah, dan tidak bisa menjelaskan apa-apa lagi.  Seperti inilah mereka, anak perss yang perhatianya sangat-sangat luar biasa. Apalagi soal perasaan. Mereka akan memperjuangkan perasaannya seperti perjuangan mengejar berita yang terkadang belum pasti. Memperjuangkan koresponden dalam ketidakpastian.

Kira-kira seperti itulah mereka.
***

Victoria Park 2011

Tetaplah melidungi, Walaupun dilukai, Tetaplah Melindungi
Musim semi datang sedikit terlambat di Hongkong, Tapi teratai tidak terlambat tumbuh, kuncip putih kuning keemasannya mulai menghiasi kolam-kolam di hotel yang kami tempati. Nanti malam karnaval lentera akan diselengerakan di Victoria park. Ayah selalu bercerita tentang serunya malam-malam di Victoria Park. Bukan karna disana banyak orang Indonesia, lalu Ayah bisa melatih bahasa Indonesianya yang agak kacau disana.
 Ayah bilang kepadaku dia menyukai Lentera, karna lentera tidak pernah menyembunyikan cahaya di dalamnya. Lentera itu melindungi cahaya di dalamnya. Walaupun sebenarnya cahaya bisa saja mebakar lentera yang tiba-tiba, dia akan terus melidunginya.
“Kamu harus selalu melindungi orang disekitarmu, walaupun orang-orang disekitarmu bisa saja membuatmu terbakar. Entah terbakar emosi, persaan atau apapun itu. Tetaplah melindungi Az”.
Aku memutuskan untuk datang sendiri, karna Ayah harus bekerja di kapalnya malam ini. Tapi jam delapan malam aku harus segera menyusul ke pelabuhan. Tempat ayah bekerja Victoria Harbour. Setiap jam delapan malam di Victoria Harbour ada pertunjukan symphony of the light. Pertunjukan laser warna warni dengan cahaya yang menyilaukan sampai membuat bayangan di laut Hongkong. Diiringi dengan lampu dan musik yang diikuti empat puluh empat gedung pencakar langit di kedua sisi Victoria harbor.
“Kau baru saja berumur tujuh belas tahun Az, Ikut Amak saja ke tempat Ayah”. Paksa Amak ( Read ibu dalam bahasa padang ).
“Aku  bukan di negri orang Mak, ini negri Ayahku”. Aku membatah, dan segera keluar kamar hotel meninggalkan Amak yang belum selesai bicara.
Kita kesini tidak sebentar sayang, banyak hal yang harus kita urus untuk kuliahmu disini, kita harus bertemu Ayah. Temui Ayahmu dulu, peluk dia, cium tangannya, baru kau bebas main kemana saja. Kau akan tinggal disini sampai kapanpun. Ajak Amak lagi, lalu mengambil tasku.

“Amak, Aku akan menyusul nanti jam delapan malam”. Jawabku meyakinkan.

 Perjalanan dari bandara Internasional Minangkabau tidak begitu melelahkan. Kurang lebih sekitar empat sampai lima jam untuk tiba di Bandara Internasional Hongkong. Hari Idul Fitri Ayah tidak pernah pulang, dan Amak tidak bisa pergi ke Hongkong dalam tiga tahun terakhir. Begitupun denganku, Sudah tiga tahun aku tidak bertemu Ayah langsung. Bukan berarti, aku tidak ingin segera bertemu Ayah. Tapi…

 “Segera kembali setelah melihat karnaval lentera, Ayahmu sangat merindukan putrinya”. Amak langsung mengembalikan tas ranselku, aku segera mencium keningnya, mencium tanganya, lalu berlari mengejar waktu. Aku akan segera datang setelah membeli lentera paling bagus tahun ini. Kita akan melihatnya bersama-sama di pelabuahan nanti. Tunggu aku Ayah…

***
 Konsulat Jendral RI Hongkong 2011
127-129 Leighton Road, 6-8 Keswick Street , Causeway Bay Hongkong.

Kebakaran terjadi dengan cepat disebabkan kerusakan di mesin kapal. Peyebab lainnya masih diselidiki. Semua staf kapal meninggal dalam kejadian tersebut, Empat puluh turis asing meninggal di rumah sakit akibat luka bakar yang sangat parah. Penumpang yang lain tewas di tempat di kapal masih di identifikasi identitasnya. Tepat pukul delapan malam beriringan dengan pertunjukan symphony of the light sekitar Victoria Harbour.

“Berapa banyak orang Indonesia yang selamat ?”. Tanya Konsul Jendral RI yang beberapa waktu kedepan akan aku panggil Buya. ( Buya : Ayah )

“Semuanya tewas, lima orang turis, sepuluh orang pekerja. Dan satu orang lagi ibu dari anak ini yang baru saja mengurus perpindahan kependudukan di Hongkong. Lalu orang ini mentapku dengan iba. Dan melanjutkannya pembicaraanya kembali.

“Bagaimana dengan Ayahnya ?” Tanya lagi Buya penuh kekhawatiran.

Ayahnya seorang teknisi mesin kapal dan juga ikut tewas dalam kejadian. Ayahnya masih tercatat sebagai penduduk Hongkong. Dia menatapku lagi, seperti menahan tangis. Sama sepertiku sekarang.

“Segera jemput Nisa dan Dave. Langsung ajak mereka ke ruangan saya, sampaikan Buya mereka ingin berbicara serius malam ini juga”.

Seharusnya sekarang aku bersama Ayah dan Amak di kapal melihat pertujukan symphony of the light dan kemegahan Victoria Harbour. Kenapa aku tidak ikut saja bersama meraka tadi. Kenapa aku tidak menuruti Amak. Kenapa aku harus membeli lentera ini. KENAPAA… SEMUA KENAPA TERJADI DI SAAT AKU INGIN BAHAGIA !!! Aku bereriak di dalam hati.

Aku tidak akan menangis di depan manusia. Ayah, aku sudah berjanji. Lihatlah aku tidak menangis sekarang. Tapi bolehkan aku meminta sesuatu kepadamu, karna aku sudah bisa menahan tangisku. Bawa aku pergi bersamamu sekarang juga, aku ingin bersamamu dan amak. Aku mohon…. Aku tidak ingin sendiri seperti ini.

Tiba-tiba seorang perempuan seumur Amakku masuk kedalam ruangan dengan terburu-buru. Aku sudah tidak bisa melihat wajahnya, pandanganku sangat berberkunang-kunang. Aku sekilas melihat senyuman tulusnya dan dia langsung memelukku yang masih diam menahan tangis. Dia mengusap rambutku dengan lembut, lalu berbisik pelan “Aku Amakmu sekarang, menangislah Azalia”. Dia terus memeluk erat sekali. Sampai aku merasakan semuanya menjadi gelap, bisu dan lenyap.

Bersambung.... Part III #Semogaberkesan :)

Writers : Umi Wijaya Lau

____________________________________________________

Blog : http://umiwijaya.blogspot.co.id/
Facebook : https://web.facebook.com/umi.w.lau
Instagram : https://www.instagram.com/umi_wijayalau/

Azalia Lee ( Part I )




Hongkong, Victoria Harbour 2016

                Langit Victoria yang gelap mulai menutupi senja yang belum berakhir. Hanya sedikit cahaya yang terlihat dari menara mercusuar di sisi barat dermaga. Padahal belum terlalu sore. Namun gelap sudah menyelimuti laut pekat sekali. Kilatan petirpun mulai bergantian datang meneriaki bumi. Gelombang laut seakan berbisik enggan untuk dilewati.

Kapal Feri yang aku tumpangi juga sudah terlambat dari jadwal keberangkatan. Menatap laut bukan jadi solusi yang efektif untuk menghilangkan kecemasan. Pada akhirnya aku lebih baik memilih berjalan sendirian, Mempelajari sejarah baru yang mulai aku fahami sedikit demi sedikit alurnya.

Aku mahasiswa tingkat akhir Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Berkonsentrasi dalam hubungan diplomatik Asia Timur. Beberapa hari lagi, aku akan sidang. Kakak perempuanku akan menikah. Dan jawaban harus segera aku sampaikan.

Sebenarnya tidak perlu banyak alasan untuk menjawab sesuatu. Meyakinkan pilihan untuk memilih atau menolak. Semua itu sederhana. Sangat sederhana.

Walaupun hidupku selama ini ternyata tidak sesederhana itu. Aku tetap percaya bahwa jawaban yang nanti aku berikan, adalah jawaban yang akan mampu mensederhanakan semua kerumitan yang ada. Aku sangat percaya.
***


Universitas Indonesia 2015

Dave sedang fokus memainkan gadjetnya. Mengetik beberapa kali. Lalu mencatat di buku kecil miliknya sesekali. Sepertinya dia sedang sibuk. Itu bagus karna, aku malas bertemu dia hari ini. Kakiku harus segera memutar balik arah jalan sebelum dia memanggil.

“ Azalia, kesini sebentar”.

Benar sajakan. Dave sudah langsung menatap kearahku dan memintaku untuk mendengarkannya. Sepertinya dia punya radar setinggi mercusuar di Victoria Harbour. “Ada apa?” Jawabku cuek sambil melangkah malas mendekatinya. “Kau sakit, kenapa seperti mayat berjalan?”.

Bukan Dave namanya kalau gak   menampar dalam bertanya. Makhluk yang satu ini memang selalu serius. Aku juga sama kaya dia, suka dengan keseriusan. Karna candaan, terkadang menyimpan banyak kebohongan yang berkelanjutan. “Aku malas bertemu denganmu”.

Petir seketika menyambar berbarengan dengan jawabanku. Seolah menolak jawabanku. Padahal aku menjawab pertanyaan Dave dengan jujur. Ekspresi Dave tidak berubah sama sekali setelah mendapatkan jawaban dari pertanyaannya sendiri barusan. Sepertinya dia senang sekali menyembunyikan senyumnnya. Sama seperti menyembunyikan dirinya sendiri dalam kehidupan. It sudut pandangku.

 “Aku sedang malas tersenyum, dan aku tidak pernah bersembunyi, apalagi dari kehidupan!”. Tatapnya tajam menjawab pikiranku.

“Astaga! Apa yang kau katakan barusan?” Aku langsung mengalihkan suasana.

Dave memberikanku catatan kecil “Aku sedang tidak ingin  berbicara denganmu, segera selesaikan kesimpulan penelitian itu. Agar kita tidak beretemu lagi”. Ini cara komunikasi paling mengerikan, dia sebenarnya makhluk apa. Dia yang memanggilku, lalu mengajakku bicara lewat surat. Itupun bentuknya perintah. Ini Sadis dan menyakitkan.

Hujan, segeralah turun. Agar taman ini menjadi basah. Kampus ini menjadi lebih sejuk. Dan kesadisan makhluk disampingku ini segera berakhir. “Cepat kerjakan Azalia!”. Dave mengiramkan surat kecil lagi. “Aku akan menyelesaikannya di asrama”. Setidaknya itu jawaban yang  sopan atas perintahnya sebagai seorang asisten pembimbing.

Aku melangkah secepat mungkin, tidak ada lagi alasan untuk menunggu jawabannya. Aku rasa ini cara yang baik. Lagi pula hujan ju ga turun tepat ketika aku pergi dari taman fakultas. Dave seseorang yang penuh dengan keserius, sangat korelis, dan kadang menjadi makhluk tanpa perasaan sama sekali.

Dia adalah alumni dari jurusan yang sama denganku, yang masih menjabat sebagai ketua angkatan, ketua himpunan, ketua dakwah, Dan jabatan satu lagi, dia dipercayakan oleh dosen pembimbingku untuk menjadi. “Asisten pembimbing skripsi sekaligus pengawas penelitian”.
***

“Jika saja aku tidak punya masa lalu, Tentu saja aku tidak punya masa depan”

Awan malam benar-benar pekat. Pelabuhan sudah tertinggal amat jauh. Tidak ada hujan malam ini, tapi kilatan petir sering terlihat. Membuatku sedikit menunduk. Ayah selalu bilang, jangan pernah menutup telinga apalagi berteriak  jika kau melihat petir. “Pejamkan matamu, lalu berdoa saja Az, Kamu bukan perempuan yang dilahirkan untuk menjadi penakut”.

Aku mengenggam tangan Ayah sangat kuat. Aku tidak tau sekarang ada dimana, yang aku tau aku sedang berjalan pergi meninggalkan kota yang membuat Ayah diam dan sering menatap kosong kearah yang sangat jauh. Sudah berhari-hari kita melakukan perjalanan laut. Ayah semakin pucat dan tidak banyak bicara seperti dulu.
“Kita mau kemana ?” Tanyaku sambil terus menggenggam tangannya yang dingin. Ayah tidak langsung menjawab, dia malah mengajakku ke bagian paling atas kapal laut ini. Kaki kanan sudah sulit sekali untuk berjalan, dan kini dia mengajakku menaiki anak tangga besi yang cukup tinggi.

“Ayah, aku batalkan pertanyaanku. Ayo kita kembali ke kamar”. Ayah tidak memperdulikankku sekarang, dia terus-terusan berjalan dan memperkuat genggaman tanggannya. Perban di kaki kanannya yang tadi berwarna putih, kini menjadi merah pekat sekali. Ayah terlalu tegas dengan dirinya sendiri, dia tidak pernah mau kalah dengan apapun. Apalagi dengan rasa sakit.

Tapiii, aku tidak suka melihatnya sakit, sangat tidak suka.

 “ Ayah, kakimu sudah dipenuhi darah, Tolong berhenti aku mohon!”.

Sekarang, aku sudah menangis dan mencoba melepaskan genggamannya. Aku berteriak sekuat aku bisa, berteriak memaksa Ayah untuk berhenti. “Ayah aku tidak ingin kau mati, tolong hentikan ini semua!. Nafasku sudah sesak, bajuku sudah basah dengan tangisan. Teriakanku benar-benar tidak didengarkan.

Aku kalah dengan keteguhan langkahnya, prinsipnya, pilihannya. Aku kalah!.

“Maafkan Ayah Azalia”. Ayah melepaskan genggamannya, dia mengusap kepalaku, mengapus semua air mataku, mencium keningku, lalu memelukku sebentar. Tidak ada yang dibisikan ke telingaku, aku masih sulit mengatur nafas. Air mataku juga belum bisa berhenti. Aku berusaha memberhentinkannya, tapi aku tidak bisa. Padahal aku tau, Ayah sangat membenci tangisan.

Aku tidak ingin melalakukan hal-hal yang Ayah benci. Sungguh aku tidak ingin. Untuk pertama kalinya aku menangis di depannya sekarang. Aku  takut kehilangan Ayah. Aku Takut. Aku,, tidak ingin melihat Ayah sakit. Tuhan, aku benar-benar takut sekarang…

Ayah mundur beberapa langkah menjauhiku, sampai ke pinggir pagar pembatas atap. Laut dengan ombaknya sudah tepat dibelakang Ayah, satu langkah ayah mundur lagi ayah akan terjatuh ke laut. Aku benar-benar bingung. Nafasku semakin sesak. Tangisku semakin menjadi-jadi. Melihat Ayah yang semakin menjauh mundur.

Kaki kananya sudah tidak bisa lagi melangkah, darahnya sudah terlalu banyak. Semua perban sudah penuh dengan darah. Kenapa Ayah terus mundur menjauhiku. Aku ingin berlari memeluknya, menggenggam tangannya lagi. Aku ingin ikut kemanapun Ayah pergi. Aku tidak ingin ditinggalkan.
“Ayaaah…”. Aku berteriak lagi dan ingin segera memeluknya.

Tapi, kenapa kakiku tidak bisa melangkah sama sekali, tubuhku tidak bisa bergerak sama sekali. Ada apa dengan ini semua, kenapa semuanya membiarkan Ayahku pergi. KENAPAAA !!!

“TUHAN, AKU MOHON JANGAN BIARKAN AYAH PERGI”.
Aku semakin sesak, sesak sekali. Rasanya tidak lagi ada nafas.

“Jangan  Ayaaaaah…. Ayaaaaahh.”

***
Dershane Akhwat UI

Aku menghela nafas panjang. Seperti malam-malam yang lalu. Mimpi Ayah jatuh ke laut berulang lagi  datang. Kenapa semua ini nyata sekali. Padahal benar-benar sesak mimpi menangis sampai terbangun.  Sudah tiga tahun lebih, Aku menjadi pengabai yang baik setelah banyak kejadian terjadi di dalam hidupku. Mimpi ini akan aku abaikan sebisaku. Aku berharap ini mimpi biasa tanpa maksud tersirat yang harus mengungkapkan banyak hal yang menyakitkan. Abaikan saja Azalia.Bisik hatiku sediri. 

Sebenarnya ini masih terlalu pagi untuk datang ke kampus, tapi aku tidak mau berlama-lama berlarut dalam mimpi dan kebingungan tanpa akhir. Aku harus mencari kedamaian dan keluar dari asrama. Mengabaikan semua hal yang membuatku banyak bertanya dan bingung. Setidaknya meringankan sembab mataku yang sayu ini.

Beberapa jalan utama kampus masih tertutup dengan portal. Sepertinya pintu fakultas juga masih terkunci, hanya gerbang masjid yang masih terbuka. Walaupun aku tidak tau, kenapa aku harus ke masjid. Tapi setidaknya, hanya tempat ini yang sudah terbuka dan aku nyaman jika sudah di dalamnya.

“Azalia?”. Sapa Nisa sahabat yang satu asarama denganku.

“Hai, Bagaimana acaramu  semalam”?. Aku mulai memberikannya pertanyaan yang membuatnya banyak menjelaskan, ketimbang bertanya balik. Aku tidak ingin ditanya kenapa mataku sembab lagi. Nisa sangat suka menjelaskan kegiatannnya, jadi ini adalah cara yang tepat untuk mengatur keadaan.

 Nisa adalah adik kandung Dave. Dia suka sekali berbicara, public speaking cukup bagus dalam menyampaikan banyak hal. Apalagi soal agama. Walaupun aku tidak mengerti tentang agama, aku tetap senang mendengarkan Nisa berbiacara. Sedikit membuatku tenang. Ketimbang berbicara dengan Dave abangnya yang mengerikan itu.
“Aku tidak akan menjawabmu Az!”. Nissa langsung menarikku, dan mengambil alih sepedaku.
 “Hei, Ada apa?”. Nisa tidak menjawab, dan membiarkanku bingung sesuka hatinya.

Tidak Nisa, tidak Dave mereka semuanya sama, terkadang mereka bisa menjadi makhluk yang sama-sama aneh. Selalu saja membuat bingung, dan melakukan apapun sesuka hatinya.
“Apa semalam kamu bermimpi Ayahmu lagi”. Nisa langsung menatapku .

Aku malas menatap balik, dan malas menjawab. Itu bukan masalah besar. Tidak penting juga untuk dibahas. Masih banyak pembahasan yang lebih penting untuk saat ini, seperti sidang akhirku, program S2 ke Hongkong. Atau mencari cara agar Dave memudahkan penulisan skripsiku. Agar tidak berbelit-belit seperti sekarang.

 “Azalia, aku selalu terbangun tengah malam, dan aku selalu melihatmu menangis dalam tidur tiga minggu ini.” Aku menatap nisa sebentar, “Aku terlihat baik-baik sajakan ?”.

 Nisa mengabaikan tatapanku, lalu mengeluarkan sesuatu dari tasnya, kain besar berwarna merah. “Dengarkan aku Azalia Lee”.

Aku seorang muslim. Aku memiliki tempat kembali, aku akan diminta pertanggung jawaban, aku akan dituntut Tuhan kalau terus-terusan membiarkanmu seperti ini. Kita ini saudara, aku sudah menganggapmu sebagai adikku sekaligus sahabatku sejak kecelakaan maut itu terjadi. Aku, Buya dan Ummi tidak pernah memaksamu untuk mengikuti kami. Apalagi Uda Dave, dia sangat memperdulikanmu. Benar-benar memperdulikanmu. Apa kau masih tidak ingat ?

Apa kau tidak ingat apapun tentang keluargamu atau agamamu?”. Atau kau sengaja melupakannya dan membiarkan semuanya menghilang. Masa lalu yang akan membuat kau memiliki masa depan Az. Sebulan terakhir, tidurmu selalu bercampur tangisan dan teriakan “Ayah.. Ayah..”. Kenapa kau harus begitu kuat didepan kami ? Kenapa kau terus menyimpannya sendiri Az!?.

Aku mohon, dengarkan perasaanmu sekarang. Dia punya hak untuk didengarkan. Jangan sakiti dirimu seperti ini. Jika kau terus-terusan seperti ini, sama saja kau membunuh Aku, Uda Dave, Buya, Ummi secara perlahan. Dan itu benar-benar menyakitkan.


Nisa pergi dengan bersama tangisannya. Bukan kemarahan, sungguh dia tidak akan pernah marah kepadaku. Nisa pergi dengan perhatiannya yang menenangkan itu. Dia masih menahan emosinya, dia sangat pandai soal menenangkan perasaan. Padahal  ini sudah kesepuluh kalinya dia memarahiku dalam tiga minggu terakhir. Setiap kali dia menarikku dan mengajakku pergi lalu bertanya dan bertanya lagi selalu ada yang dia berikan. Kemarin dia memberikan kain besar berwana biru, tadi merah, kemarinya lagi hijau, sepuluh kali dia menangis dan bertanya kepadaku, sepuluh kali dia memberikan kain besar kepadaku.
                Kalau aku masih bermimpi dan menangis dalam mimpi terus- terusan seperti ini. Lalu Nisa melihatku lagi, pasti dia akan menarikku lagi seperti pagi ini. Lalu meberikan kain besar seperti yang dia pakai untuk menutupi kepalanya sampai setengah tubuhnya. Andai aku bisa mengatur mimpi dalam setiap malamku Nis. Aku akan memilih untuk bermimpi yang lain. Setidaknya, mimpi yang tidak membuatku menangis sampai terbangun. Dan, mimpi yang tidak membuatmu khawatir. Mimpi yang tidak membuatku bingung dan mengingat semua hal yang menyakitkan.

Bersambung...... #Part II

Writers : Umi Wijaya Lau
29 Febuari  2016

_____________________________________


Blog : http://umiwijaya.blogspot.co.id/
Facebook : https://web.facebook.com/umi.w.lau
Instagram : https://www.instagram.com/umi_wijayalau/