Hongkong,
Victoria Harbour 2016
Langit
Victoria yang gelap mulai menutupi senja yang belum berakhir. Hanya sedikit
cahaya yang terlihat dari menara mercusuar di sisi barat dermaga. Padahal belum
terlalu sore. Namun gelap sudah menyelimuti laut pekat sekali. Kilatan petirpun
mulai bergantian datang meneriaki bumi. Gelombang laut seakan berbisik enggan
untuk dilewati.
Kapal Feri yang aku tumpangi juga sudah terlambat dari jadwal keberangkatan. Menatap laut bukan jadi solusi yang efektif untuk menghilangkan kecemasan. Pada akhirnya aku lebih baik memilih berjalan sendirian, Mempelajari sejarah baru yang mulai aku fahami sedikit demi sedikit alurnya.
Aku mahasiswa tingkat akhir Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Berkonsentrasi dalam hubungan diplomatik Asia Timur. Beberapa hari lagi, aku akan sidang. Kakak perempuanku akan menikah. Dan jawaban harus segera aku sampaikan.
Sebenarnya tidak perlu banyak alasan untuk menjawab sesuatu. Meyakinkan pilihan untuk memilih atau menolak. Semua itu sederhana. Sangat sederhana.
Walaupun hidupku selama ini ternyata tidak sesederhana itu. Aku tetap percaya bahwa jawaban yang nanti aku berikan, adalah jawaban yang akan mampu mensederhanakan semua kerumitan yang ada. Aku sangat percaya.
***
Universitas Indonesia 2015
Dave sedang fokus memainkan gadjetnya. Mengetik beberapa kali. Lalu mencatat di buku kecil miliknya sesekali. Sepertinya dia sedang sibuk. Itu bagus karna, aku malas bertemu dia hari ini. Kakiku harus segera memutar balik arah jalan sebelum dia memanggil.
“ Azalia, kesini sebentar”.
Benar sajakan. Dave sudah langsung menatap kearahku dan memintaku untuk mendengarkannya. Sepertinya dia punya radar setinggi mercusuar di Victoria Harbour. “Ada apa?” Jawabku cuek sambil melangkah malas mendekatinya. “Kau sakit, kenapa seperti mayat berjalan?”.
Bukan Dave namanya kalau gak menampar dalam bertanya. Makhluk yang satu ini memang selalu serius. Aku juga sama kaya dia, suka dengan keseriusan. Karna candaan, terkadang menyimpan banyak kebohongan yang berkelanjutan. “Aku malas bertemu denganmu”.
Petir seketika menyambar berbarengan dengan jawabanku. Seolah menolak jawabanku. Padahal aku menjawab pertanyaan Dave dengan jujur. Ekspresi Dave tidak berubah sama sekali setelah mendapatkan jawaban dari pertanyaannya sendiri barusan. Sepertinya dia senang sekali menyembunyikan senyumnnya. Sama seperti menyembunyikan dirinya sendiri dalam kehidupan. It sudut pandangku.
“Aku sedang malas tersenyum, dan aku tidak pernah bersembunyi, apalagi dari kehidupan!”. Tatapnya tajam menjawab pikiranku.
“Astaga! Apa yang kau katakan barusan?” Aku langsung mengalihkan suasana.
Dave memberikanku catatan kecil “Aku sedang tidak ingin berbicara denganmu, segera selesaikan kesimpulan penelitian itu. Agar kita tidak beretemu lagi”. Ini cara komunikasi paling mengerikan, dia sebenarnya makhluk apa. Dia yang memanggilku, lalu mengajakku bicara lewat surat. Itupun bentuknya perintah. Ini Sadis dan menyakitkan.
Hujan, segeralah turun. Agar taman ini menjadi basah. Kampus ini menjadi lebih sejuk. Dan kesadisan makhluk disampingku ini segera berakhir. “Cepat kerjakan Azalia!”. Dave mengiramkan surat kecil lagi. “Aku akan menyelesaikannya di asrama”. Setidaknya itu jawaban yang sopan atas perintahnya sebagai seorang asisten pembimbing.
Aku melangkah secepat mungkin, tidak ada lagi alasan untuk menunggu jawabannya. Aku rasa ini cara yang baik. Lagi pula hujan ju ga turun tepat ketika aku pergi dari taman fakultas. Dave seseorang yang penuh dengan keserius, sangat korelis, dan kadang menjadi makhluk tanpa perasaan sama sekali.
Dia adalah alumni dari jurusan yang sama denganku, yang masih menjabat sebagai ketua angkatan, ketua himpunan, ketua dakwah, Dan jabatan satu lagi, dia dipercayakan oleh dosen pembimbingku untuk menjadi. “Asisten pembimbing skripsi sekaligus pengawas penelitian”.
***
“Jika saja aku tidak punya masa lalu, Tentu saja aku tidak punya masa depan”
Awan malam benar-benar pekat. Pelabuhan sudah tertinggal amat jauh. Tidak ada hujan malam ini, tapi kilatan petir sering terlihat. Membuatku sedikit menunduk. Ayah selalu bilang, jangan pernah menutup telinga apalagi berteriak jika kau melihat petir. “Pejamkan matamu, lalu berdoa saja Az, Kamu bukan perempuan yang dilahirkan untuk menjadi penakut”.
Aku mengenggam tangan Ayah sangat kuat. Aku tidak tau sekarang ada dimana, yang aku tau aku sedang berjalan pergi meninggalkan kota yang membuat Ayah diam dan sering menatap kosong kearah yang sangat jauh. Sudah berhari-hari kita melakukan perjalanan laut. Ayah semakin pucat dan tidak banyak bicara seperti dulu.
“Kita
mau kemana ?” Tanyaku sambil terus menggenggam tangannya yang dingin. Ayah
tidak langsung menjawab, dia malah mengajakku ke bagian paling atas kapal laut
ini. Kaki kanan sudah sulit sekali untuk berjalan, dan kini dia mengajakku
menaiki anak tangga besi yang cukup tinggi.
“Ayah, aku batalkan pertanyaanku. Ayo kita kembali ke kamar”. Ayah tidak memperdulikankku sekarang, dia terus-terusan berjalan dan memperkuat genggaman tanggannya. Perban di kaki kanannya yang tadi berwarna putih, kini menjadi merah pekat sekali. Ayah terlalu tegas dengan dirinya sendiri, dia tidak pernah mau kalah dengan apapun. Apalagi dengan rasa sakit.
“Ayah, aku batalkan pertanyaanku. Ayo kita kembali ke kamar”. Ayah tidak memperdulikankku sekarang, dia terus-terusan berjalan dan memperkuat genggaman tanggannya. Perban di kaki kanannya yang tadi berwarna putih, kini menjadi merah pekat sekali. Ayah terlalu tegas dengan dirinya sendiri, dia tidak pernah mau kalah dengan apapun. Apalagi dengan rasa sakit.
Tapiii, aku tidak suka melihatnya sakit, sangat tidak suka.
“ Ayah, kakimu sudah dipenuhi darah, Tolong berhenti aku mohon!”.
Sekarang, aku sudah menangis dan mencoba melepaskan genggamannya. Aku berteriak sekuat aku bisa, berteriak memaksa Ayah untuk berhenti. “Ayah aku tidak ingin kau mati, tolong hentikan ini semua!. Nafasku sudah sesak, bajuku sudah basah dengan tangisan. Teriakanku benar-benar tidak didengarkan.
Aku kalah dengan keteguhan langkahnya, prinsipnya, pilihannya. Aku kalah!.
“Maafkan Ayah Azalia”. Ayah melepaskan genggamannya, dia mengusap kepalaku, mengapus semua air mataku, mencium keningku, lalu memelukku sebentar. Tidak ada yang dibisikan ke telingaku, aku masih sulit mengatur nafas. Air mataku juga belum bisa berhenti. Aku berusaha memberhentinkannya, tapi aku tidak bisa. Padahal aku tau, Ayah sangat membenci tangisan.
Aku tidak ingin melalakukan hal-hal yang Ayah benci. Sungguh aku tidak ingin. Untuk pertama kalinya aku menangis di depannya sekarang. Aku takut kehilangan Ayah. Aku Takut. Aku,, tidak ingin melihat Ayah sakit. Tuhan, aku benar-benar takut sekarang…
Ayah mundur beberapa langkah menjauhiku, sampai ke pinggir pagar pembatas atap. Laut dengan ombaknya sudah tepat dibelakang Ayah, satu langkah ayah mundur lagi ayah akan terjatuh ke laut. Aku benar-benar bingung. Nafasku semakin sesak. Tangisku semakin menjadi-jadi. Melihat Ayah yang semakin menjauh mundur.
Kaki kananya sudah tidak bisa lagi melangkah, darahnya sudah terlalu banyak. Semua perban sudah penuh dengan darah. Kenapa Ayah terus mundur menjauhiku. Aku ingin berlari memeluknya, menggenggam tangannya lagi. Aku ingin ikut kemanapun Ayah pergi. Aku tidak ingin ditinggalkan.
“Ayaaah…”.
Aku berteriak lagi dan ingin segera memeluknya.
Tapi, kenapa kakiku tidak bisa melangkah sama sekali, tubuhku tidak bisa bergerak sama sekali. Ada apa dengan ini semua, kenapa semuanya membiarkan Ayahku pergi. KENAPAAA !!!
“TUHAN, AKU MOHON JANGAN BIARKAN AYAH PERGI”.
Aku
semakin sesak, sesak sekali. Rasanya tidak lagi ada nafas.
“Jangan Ayaaaaah…. Ayaaaaahh.”
***
Dershane
Akhwat UI
Aku menghela nafas panjang. Seperti malam-malam yang lalu. Mimpi Ayah jatuh ke laut berulang lagi datang. Kenapa semua ini nyata sekali. Padahal benar-benar sesak mimpi menangis sampai terbangun. Sudah tiga tahun lebih, Aku menjadi pengabai yang baik setelah banyak kejadian terjadi di dalam hidupku. Mimpi ini akan aku abaikan sebisaku. Aku berharap ini mimpi biasa tanpa maksud tersirat yang harus mengungkapkan banyak hal yang menyakitkan. Abaikan saja Azalia.Bisik hatiku sediri.
Sebenarnya ini masih terlalu pagi untuk datang ke kampus, tapi aku tidak mau berlama-lama berlarut dalam mimpi dan kebingungan tanpa akhir. Aku harus mencari kedamaian dan keluar dari asrama. Mengabaikan semua hal yang membuatku banyak bertanya dan bingung. Setidaknya meringankan sembab mataku yang sayu ini.
Beberapa jalan utama kampus masih tertutup dengan portal. Sepertinya pintu fakultas juga masih terkunci, hanya gerbang masjid yang masih terbuka. Walaupun aku tidak tau, kenapa aku harus ke masjid. Tapi setidaknya, hanya tempat ini yang sudah terbuka dan aku nyaman jika sudah di dalamnya.
“Azalia?”. Sapa Nisa sahabat yang satu asarama denganku.
“Hai, Bagaimana acaramu semalam”?. Aku mulai memberikannya pertanyaan yang membuatnya banyak menjelaskan, ketimbang bertanya balik. Aku tidak ingin ditanya kenapa mataku sembab lagi. Nisa sangat suka menjelaskan kegiatannnya, jadi ini adalah cara yang tepat untuk mengatur keadaan.
Nisa adalah adik kandung Dave. Dia suka sekali berbicara, public speaking cukup bagus dalam menyampaikan banyak hal. Apalagi soal agama. Walaupun aku tidak mengerti tentang agama, aku tetap senang mendengarkan Nisa berbiacara. Sedikit membuatku tenang. Ketimbang berbicara dengan Dave abangnya yang mengerikan itu.
“Aku
tidak akan menjawabmu Az!”. Nissa langsung menarikku, dan mengambil alih
sepedaku.
“Hei, Ada apa?”. Nisa tidak menjawab, dan membiarkanku bingung sesuka hatinya.
Tidak Nisa, tidak Dave mereka semuanya sama, terkadang mereka bisa menjadi makhluk yang sama-sama aneh. Selalu saja membuat bingung, dan melakukan apapun sesuka hatinya.
“Hei, Ada apa?”. Nisa tidak menjawab, dan membiarkanku bingung sesuka hatinya.
Tidak Nisa, tidak Dave mereka semuanya sama, terkadang mereka bisa menjadi makhluk yang sama-sama aneh. Selalu saja membuat bingung, dan melakukan apapun sesuka hatinya.
“Apa
semalam kamu bermimpi Ayahmu lagi”. Nisa langsung menatapku .
Aku malas menatap balik, dan malas menjawab. Itu bukan masalah besar. Tidak penting juga untuk dibahas. Masih banyak pembahasan yang lebih penting untuk saat ini, seperti sidang akhirku, program S2 ke Hongkong. Atau mencari cara agar Dave memudahkan penulisan skripsiku. Agar tidak berbelit-belit seperti sekarang.
Aku malas menatap balik, dan malas menjawab. Itu bukan masalah besar. Tidak penting juga untuk dibahas. Masih banyak pembahasan yang lebih penting untuk saat ini, seperti sidang akhirku, program S2 ke Hongkong. Atau mencari cara agar Dave memudahkan penulisan skripsiku. Agar tidak berbelit-belit seperti sekarang.
“Azalia, aku selalu terbangun tengah malam, dan aku selalu melihatmu menangis dalam tidur tiga minggu ini.” Aku menatap nisa sebentar, “Aku terlihat baik-baik sajakan ?”.
Nisa mengabaikan tatapanku, lalu mengeluarkan sesuatu dari tasnya, kain besar berwarna merah. “Dengarkan aku Azalia Lee”.
Aku seorang muslim. Aku memiliki tempat kembali, aku akan diminta pertanggung jawaban, aku akan dituntut Tuhan kalau terus-terusan membiarkanmu seperti ini. Kita ini saudara, aku sudah menganggapmu sebagai adikku sekaligus sahabatku sejak kecelakaan maut itu terjadi. Aku, Buya dan Ummi tidak pernah memaksamu untuk mengikuti kami. Apalagi Uda Dave, dia sangat memperdulikanmu. Benar-benar memperdulikanmu. Apa kau masih tidak ingat ?
Apa kau tidak ingat apapun tentang keluargamu atau agamamu?”. Atau kau sengaja melupakannya dan membiarkan semuanya menghilang. Masa lalu yang akan membuat kau memiliki masa depan Az. Sebulan terakhir, tidurmu selalu bercampur tangisan dan teriakan “Ayah.. Ayah..”. Kenapa kau harus begitu kuat didepan kami ? Kenapa kau terus menyimpannya sendiri Az!?.
Aku mohon, dengarkan perasaanmu sekarang. Dia punya hak untuk didengarkan. Jangan sakiti dirimu seperti ini. Jika kau terus-terusan seperti ini, sama saja kau membunuh Aku, Uda Dave, Buya, Ummi secara perlahan. Dan itu benar-benar menyakitkan.
Nisa pergi dengan bersama tangisannya. Bukan kemarahan, sungguh dia tidak akan pernah marah kepadaku. Nisa pergi dengan perhatiannya yang menenangkan itu. Dia masih menahan emosinya, dia sangat pandai soal menenangkan perasaan. Padahal ini sudah kesepuluh kalinya dia memarahiku dalam tiga minggu terakhir. Setiap kali dia menarikku dan mengajakku pergi lalu bertanya dan bertanya lagi selalu ada yang dia berikan. Kemarin dia memberikan kain besar berwana biru, tadi merah, kemarinya lagi hijau, sepuluh kali dia menangis dan bertanya kepadaku, sepuluh kali dia memberikan kain besar kepadaku.
Kalau aku masih bermimpi dan menangis dalam mimpi
terus- terusan seperti ini. Lalu Nisa melihatku lagi, pasti dia akan menarikku
lagi seperti pagi ini. Lalu meberikan kain besar seperti yang dia pakai untuk
menutupi kepalanya sampai setengah tubuhnya. Andai aku bisa mengatur mimpi
dalam setiap malamku Nis. Aku akan memilih untuk bermimpi yang lain.
Setidaknya, mimpi yang tidak membuatku menangis sampai terbangun. Dan, mimpi
yang tidak membuatmu khawatir. Mimpi yang tidak membuatku bingung dan mengingat
semua hal yang menyakitkan.
Bersambung...... #Part II
Bersambung...... #Part II
Writers : Umi Wijaya Lau
29 Febuari 2016
_____________________________________
_____________________________________
Blog : http://umiwijaya.blogspot.co.id/
Facebook : https://web.facebook.com/umi.w.lau
Instagram : https://www.instagram.com/umi_wijayalau/
3 komentar:
aku bisa banyak belajar tentang dunia kepenulisan dan kreatifitas dalam berpikir dari penulis, Umi Wijaya Lau. Sering kali hal-hal kecil terlewatkan begitu saja, tak termaknai, padahal dari hal kecil itulah terbentuk hal yang lebih besar nantinya...
Suka dengan tulisan ini. You have to read it.
rangga... Tesyekur Ederim. Menuunggu tulisanmu juga.
rangga... Tesyekur Ederim. Menuunggu tulisanmu juga.
Posting Komentar