Azalia Lee ( Part II )

Senin, 29 Februari 2016








Sekertariat Perss HI
Universitas Indonesia   
Mengharapkan jawaban dari pertanyaan yang tidak ada.
                Sudah tiga puluh menit aku diam sambil terus memaksa otakku untuk mencari jawaban. Mengobrak-abrik semua ruang ingatan dalam otakku. Mencari dan terus mencari jawaban. Bukan jawaban karna soal ujian akhir yang tidak aku mengerti, bukan jawaban karna soal essay yang tidak bisa aku uraikan. Tapi ini semua tentang masa lalu, jawaban dari pertanyaan yang tidak ada.
                Aku benar-benar sudah melupakan masa lalu itu, menghapus semua ingatan yang selalu membuat sesak. Membakar semua lembaran ingatan yang  mengotori perasaan dan membuat mataku sembab. Tapi kenapa semua orang menuntutku untuk menjawab dan menjelaskan apa yang tidak aku fahami. Padahal aku tidak menyukai, sekuat apapun aku mencarinya. Aku tidak akan menemukan apa-apa.
                “Azalia, Kak Dave menunggumu di depan”. Ah, Kenapa tidak pernah tepat ketika Dave mau menemuiku.
                “Terimaksih Zain”. Jawabku singkat sambil berjalan malas keluar ruang keseketariatan perss jurusan. Sepertinya aku akan benar-benar menjadi mayat hidup seperti yang Dave bilang.
                “Ada Apa?”. Aku sudah bosan sekali melihat wajahnya yang tidak pernah senyum itu. Beda sekali dengan Nisa yang selalu tersenyum kepadaku.
                “Ini konsep singkat untuk kesimpulan akhir penelitianmu, segera selesaikan. Besok pagi, aku sudah harus menerima emailmu. Kalau besok belum selesai! kau akan menyesal seumur hidup.”
                Sepertinya musim hujan ini membuat perasaan dia lebih sejuk sekarang. Sedikit senyum dan sedikit bantuan membuat dia terlihat seperti manusia. Bukan makhluk sadis lagi. Yess, setidaknya konsep yang dia buatkan untuk kesimpulan akhir penelitian, bisa membuatku bahagia hari ini.
                “Terimakasih Daveee…Semoga kau segera menikah.” Aku meneriakinya, setelah dia berlalu pergi.
                Dia terlihat sekali kalau sedang berpura-pura tidak mendengar walaupun terus berjalan tanpa menengok kebelakang sama sekali, padahal lorong ini bergema. Pasti kaliamatku barusan membuat dia menahan senyumnya. Setidaknya membuat orang-orang di ruang keseketariatan tertawa bahagia. Tim Baper tingkat akhir, yang masih belum mau mengkahiri masa lajangnya. Mereka selalu bahagia mendengar candaan-candaan penikahan seperti ini.
                “Sepertinya kau sudah hidup lagi Az, gak kaya tadi. Ka Dave ngasih kamu apa?” Tanya makhluk-baper tingkat akhir yang terkadang keponya berlebihan. Sebut saja namanya Mawar.
                “Dikasih Cintanya Dave kayanya, Cinta paling damai, sedamai danau UI”. Jawab Surya ketua editor majalah fakultas yang tingkat bapernya semakin parah semenjak ditolak berkali kali oleh adik kelas.
                Tiba-tiba ruangan sekertariat sudah penuh dengan tertawa yang paling menyakitkan. Hanya aku yang tidak bisa tertawa, kalau penyebab tertawanya adalah soal cintanya Dave. Dasar makhluk-makhluk baper yang gak punya bahasan selain cinta, jomlo, cinta, jomblo lagi, cinta lagi, jomblo lagi.
                “Aku tadi meneriaku Dave sebagai ucapan terimakasih, bukan baper kaya kalian”. Jawabku tegas sambil mengusahakan tawa mereka agar segera behenti.
                “Biasanya kau tidak pernah meberikan alasan atau menjelaskan sesuatu yang tidak penting”. Celetuk salah satu staf perss senior. Saudari Dini Shireen selaku Redaktur Online paling baper.
                “Berarti Dave Azzam Kahfi penting dong buat Azalia Lee”. Sambung lagi anggota tim baper yang paling sok puitis. Kali ini ketua tim Lay Out, yang namanya harus disembunyikan. Panggil saja namanya kak Dewan.
                “Cieeeeee…Cieeeee.” Ruangan sudah tidak kondusif lagi sekarang. Siklus baper mereka semakin tinggi tidak terarah. Parah, separah rasa sakit mereka yang terlalu sering ditolak. Dan sulit untuk menyelesaikan kepada mereka kalau pembahasan ini benar-benar menyebalkan.
                Biarlah mereka tertawa bahagia melihatku yang diam seribu bahasa sekarang. Serba salah, dan tidak bisa menjelaskan apa-apa lagi.  Seperti inilah mereka, anak perss yang perhatianya sangat-sangat luar biasa. Apalagi soal perasaan. Mereka akan memperjuangkan perasaannya seperti perjuangan mengejar berita yang terkadang belum pasti. Memperjuangkan koresponden dalam ketidakpastian.

Kira-kira seperti itulah mereka.
***

Victoria Park 2011

Tetaplah melidungi, Walaupun dilukai, Tetaplah Melindungi
Musim semi datang sedikit terlambat di Hongkong, Tapi teratai tidak terlambat tumbuh, kuncip putih kuning keemasannya mulai menghiasi kolam-kolam di hotel yang kami tempati. Nanti malam karnaval lentera akan diselengerakan di Victoria park. Ayah selalu bercerita tentang serunya malam-malam di Victoria Park. Bukan karna disana banyak orang Indonesia, lalu Ayah bisa melatih bahasa Indonesianya yang agak kacau disana.
 Ayah bilang kepadaku dia menyukai Lentera, karna lentera tidak pernah menyembunyikan cahaya di dalamnya. Lentera itu melindungi cahaya di dalamnya. Walaupun sebenarnya cahaya bisa saja mebakar lentera yang tiba-tiba, dia akan terus melidunginya.
“Kamu harus selalu melindungi orang disekitarmu, walaupun orang-orang disekitarmu bisa saja membuatmu terbakar. Entah terbakar emosi, persaan atau apapun itu. Tetaplah melindungi Az”.
Aku memutuskan untuk datang sendiri, karna Ayah harus bekerja di kapalnya malam ini. Tapi jam delapan malam aku harus segera menyusul ke pelabuhan. Tempat ayah bekerja Victoria Harbour. Setiap jam delapan malam di Victoria Harbour ada pertunjukan symphony of the light. Pertunjukan laser warna warni dengan cahaya yang menyilaukan sampai membuat bayangan di laut Hongkong. Diiringi dengan lampu dan musik yang diikuti empat puluh empat gedung pencakar langit di kedua sisi Victoria harbor.
“Kau baru saja berumur tujuh belas tahun Az, Ikut Amak saja ke tempat Ayah”. Paksa Amak ( Read ibu dalam bahasa padang ).
“Aku  bukan di negri orang Mak, ini negri Ayahku”. Aku membatah, dan segera keluar kamar hotel meninggalkan Amak yang belum selesai bicara.
Kita kesini tidak sebentar sayang, banyak hal yang harus kita urus untuk kuliahmu disini, kita harus bertemu Ayah. Temui Ayahmu dulu, peluk dia, cium tangannya, baru kau bebas main kemana saja. Kau akan tinggal disini sampai kapanpun. Ajak Amak lagi, lalu mengambil tasku.

“Amak, Aku akan menyusul nanti jam delapan malam”. Jawabku meyakinkan.

 Perjalanan dari bandara Internasional Minangkabau tidak begitu melelahkan. Kurang lebih sekitar empat sampai lima jam untuk tiba di Bandara Internasional Hongkong. Hari Idul Fitri Ayah tidak pernah pulang, dan Amak tidak bisa pergi ke Hongkong dalam tiga tahun terakhir. Begitupun denganku, Sudah tiga tahun aku tidak bertemu Ayah langsung. Bukan berarti, aku tidak ingin segera bertemu Ayah. Tapi…

 “Segera kembali setelah melihat karnaval lentera, Ayahmu sangat merindukan putrinya”. Amak langsung mengembalikan tas ranselku, aku segera mencium keningnya, mencium tanganya, lalu berlari mengejar waktu. Aku akan segera datang setelah membeli lentera paling bagus tahun ini. Kita akan melihatnya bersama-sama di pelabuahan nanti. Tunggu aku Ayah…

***
 Konsulat Jendral RI Hongkong 2011
127-129 Leighton Road, 6-8 Keswick Street , Causeway Bay Hongkong.

Kebakaran terjadi dengan cepat disebabkan kerusakan di mesin kapal. Peyebab lainnya masih diselidiki. Semua staf kapal meninggal dalam kejadian tersebut, Empat puluh turis asing meninggal di rumah sakit akibat luka bakar yang sangat parah. Penumpang yang lain tewas di tempat di kapal masih di identifikasi identitasnya. Tepat pukul delapan malam beriringan dengan pertunjukan symphony of the light sekitar Victoria Harbour.

“Berapa banyak orang Indonesia yang selamat ?”. Tanya Konsul Jendral RI yang beberapa waktu kedepan akan aku panggil Buya. ( Buya : Ayah )

“Semuanya tewas, lima orang turis, sepuluh orang pekerja. Dan satu orang lagi ibu dari anak ini yang baru saja mengurus perpindahan kependudukan di Hongkong. Lalu orang ini mentapku dengan iba. Dan melanjutkannya pembicaraanya kembali.

“Bagaimana dengan Ayahnya ?” Tanya lagi Buya penuh kekhawatiran.

Ayahnya seorang teknisi mesin kapal dan juga ikut tewas dalam kejadian. Ayahnya masih tercatat sebagai penduduk Hongkong. Dia menatapku lagi, seperti menahan tangis. Sama sepertiku sekarang.

“Segera jemput Nisa dan Dave. Langsung ajak mereka ke ruangan saya, sampaikan Buya mereka ingin berbicara serius malam ini juga”.

Seharusnya sekarang aku bersama Ayah dan Amak di kapal melihat pertujukan symphony of the light dan kemegahan Victoria Harbour. Kenapa aku tidak ikut saja bersama meraka tadi. Kenapa aku tidak menuruti Amak. Kenapa aku harus membeli lentera ini. KENAPAA… SEMUA KENAPA TERJADI DI SAAT AKU INGIN BAHAGIA !!! Aku bereriak di dalam hati.

Aku tidak akan menangis di depan manusia. Ayah, aku sudah berjanji. Lihatlah aku tidak menangis sekarang. Tapi bolehkan aku meminta sesuatu kepadamu, karna aku sudah bisa menahan tangisku. Bawa aku pergi bersamamu sekarang juga, aku ingin bersamamu dan amak. Aku mohon…. Aku tidak ingin sendiri seperti ini.

Tiba-tiba seorang perempuan seumur Amakku masuk kedalam ruangan dengan terburu-buru. Aku sudah tidak bisa melihat wajahnya, pandanganku sangat berberkunang-kunang. Aku sekilas melihat senyuman tulusnya dan dia langsung memelukku yang masih diam menahan tangis. Dia mengusap rambutku dengan lembut, lalu berbisik pelan “Aku Amakmu sekarang, menangislah Azalia”. Dia terus memeluk erat sekali. Sampai aku merasakan semuanya menjadi gelap, bisu dan lenyap.

Bersambung.... Part III #Semogaberkesan :)

Writers : Umi Wijaya Lau

____________________________________________________

Blog : http://umiwijaya.blogspot.co.id/
Facebook : https://web.facebook.com/umi.w.lau
Instagram : https://www.instagram.com/umi_wijayalau/

0 komentar:

Posting Komentar