Teruslah
hidup, setidaknya hidup untuk mendoakan Ayah dan Amakmu
Semuanya
masih berbayang, tidak ada yang bisa aku lihat sama sekali. Selain warna putih
dan sedikit cahaya di ruangan yang tidak aku kenal. Aku sudah tidak ingin
hidup. Biarkan aku ikut Ayah dan Amak. Nafasku sangat sesak, sesak sekali. Aku
tidak bisa lagi mengingat wajah Ayah sekarang, apalagi wajah Amak. Ini
benar-benar menyakitkan. Ada apa dengan system ingatanku sekarang. Aku ingin
ikut mereka, bukan melupakannya.
“Semua
keluarga di Padang sudah dihubungi, mereka menolak mengurus Azalia. Mereka
bilang sudah memutus hubungan keluarga sejak lama”. Begitupun keluarga Ayahnya,
mereka meberikan penjelasan yang sama”. Aku mendengar penjelasan menyakitkan
itu samar-samar. Sakit sekali ditolak oleh dua keluarga orang tuaku sendiri.
Apa yang salah dengan diriku ?
“Bagaimana
bisa mereka bersikap seperti itu?”. Teriak seorang laki-laki yang suaranya
mulai tidak asing di telinga.
“Buya
tenang yah, sudah masuk adzan isya sekarang kita jamaah shalat dulu”. Aku juga
mengenal suara ini. Mataku masih sulit terbuka, aku ingin melihat mereka shalat
berjamaah. Walaupun aku tidak pernah shalat, aku senang melihat orang shalat.
Waktu
kecil aku dan Ayah sering melihat Amak Shalat sendirian. Dan kami diam membaca
buku sambil terus memperhatikan. Setelah Amak shalat, pasti Amak selalu
menangis melihatku. Dan menatap Ayah dengan kelu. Ayah sangat benci melihat
tangisan, aku rasa itu awal kenapa Ayah benci melihat orang menangis.
Lalu
Amak mencium tangan Ayah, mencium keningku. Dan membuatkan kami makanan. Kalau
Amak dalam sehari shalat lima kali, lima kali dia memangis. Lima kali menatap
Ayah dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan. Dan lima kali juga mencium
keningku bercampur air mata. Aku senang dan juga sedih. Semuanya menjadi satu,
aku tidak megerti apa-apa sampai sekarang.
***
Bau obat
benar-benar menyengat hidungku. Sepertinya aku tidur lama sekali. Mataku masih
sulit terbuka, semua tubuhku mati rasa. Aku hanya bisa sedikit mendengar suara
orang dengan samar-samar. Terkadang semuanya sunyi, gelap. Dan membuatku sesak
nafas.
“Azalia,
aku akan mengaji. Kamu tau mengaji ?”. Apakah ada orang yang mengajakku
berbicara setelah sekian lama. Siapa dia, aku tidak mengenal suaranya, dia
seperti seumuranku. Tapi suaranya sedikit asing dengan pendengaranku.
( Al –
Mulk )
Apa yang
dia bacakan, kenapa membuatku sedih sekali. Apakah itu bahasa arab, seperti
yang sering Amak baca setelah shalat. Aku tidak mengetahui artinya, tidak faham
sekali.
“Ini
surat Al-Mulk, tentang kekuasaan Allah, tentang kerajaan Allah, tentang semua
yang kamu lihat di Dunia. Dia Tuhan kita yang Maha Esa”. Bukannya dulu, kau
pernah mendengarkan hafalanku ?”. Dia menjawab pertanyaanku dengan nada yang
sangat kelu, siapa dia, apa dia bisa mendengarku. Kenapa dia begitu sedih.
“Mendengarkan hafalanya?” aku tidak ingat apa-apa.
“Azalia
kamu harus segera kembali dan hidup bersama kami. Bangunlah, doakan Ayah dan
Amakmu secepatnya”. Dia mengajakku berbicara lagi dan sepertinya kini dia sedag
menahan tangis.
“Uda,
ditunggu Ummi untuk makan. Uda sudah setengah hari ngaji disini dan belum makan
sama sekali”. Suara perempuan seumuranku itu memanggilnya Uda, berarti mereka
bersaudara. Siapa mereka sebenarnya, kenapa mereka menemaniku sekarang. Kenapa,
aku tidak bisa melihat mereka.
“Kamu juga setengah hari nemenin Uda disini”
Aku
sudah makan berkali kali ketika Uda ngaji dari tadi pagi, Uda setiap digantiin
ngaji dari tadi pagi gak pernah mau. Sekarang Uda makan bareng ummi sama buya.
Biar Nisa yang ngaji. Kekhwatiran kita akan semakin bertambah kalau tiba-tiba
Uda ikutan sakit. Azalia akan segera sadar, sebentar lagi InsyAllah. Nisa,
namanya Nisa. Dia juga yang menemaniku dan kini memanggil namaku.
Tiba-tiba
belaian lembut datang mengusap kepalaku.
Aku mendengar isakan tangis yang tertahan. Sepertinya Nisa sedang
menangis dihadapanku sekarang. Kenapa ia begitu sedih, apakah aku terlihat
sangat menyedihkan sekarang. Jangan menangis di depanku Nisa. Aku mohon. Aku
sangat membenci tangisan.
“Aku Nisa
Az, Kamu adikku sekarang. Sudah terlalu lama kamu tidak sadarkan diri. Kami
semua khawatir, cepatlah sadar Az. Tangisan Nisa sudah terdengar jelas sekali
sekarang. Kini tanganku sudah digengam erat olehnya. Aku ingin sekali membalas
gengamannya. Tapi aku tidak bisa apa-apa sekarang.
Semua
tubuhku mati rasa Tuhan, penglihatanku
hanya sekilas cahaya dan satu warna putih. Hanya pendengaranku saja yang bisa
mendengar mereka Tuhan,,, Jika memang kesedihan mereka benar-benar tulus untuk
mengharapkan kehidupanku lagi. Ijinkan aku sadar Tuhan, ijinkan,, Aku mohon
kepada-Mu. Sudah lama sekali, bukankah sudah lama sekali aku tidak memohon
kepada-Mu.
“Az,
kami semua menyayangimu, benar –benar menyangimu”.Tiba-tiba Nisa membisikan
kalimat itu ke telinga kananku.Walaupun Bisikan, perkataan itu sangat jelas,
suara isakannyapun ikut terdengar.
“Tuhan,
ijinkan aku kembali”
***
Hembusan
angin pagi menerpa wajahku dengan lembut. Tetesan embun masih banyak terlihat
di pinggiran jalan yang penuh dengan rumput. Sepertinya rumput-rumput itu
bahagia, memiliki sahabat yang selalu menyejukan seperti embun. Andai saja,
Nisa sahabatku itu tidak menyejukan setiap kali berbicara. Aku tidak akan mau
memikirkan apa yang dia bilang tadi di masjid kampus.
Aku
tidak pernah berniat untuk menyakiti siapapun apalagi membunuh orang-orang yang
sangat penting dalam hidupku. Buya dan Ummi bukan orang asing yang tidak aku
pedulikan, aku hanya tidak ingin memperlihatkan kesedihanku. Sudah itu saja,
tidak ada alasan lain. Tapi, kenapa Nisa menuntutku untuk menangis di depannya,
bukannya dia sudah puas melihatku menangis ketika bermimpi tentang Ayah sebulan
terakhir.
“Az, ayo
shalat bersama”. Tiba-tiba sekilas bisikan suara Amak datang kedalam ingatanku.
Menyayat telingaku, membuat telinga menjadi bising sekali. Aku hampir terjatuh
dari sepeda, mendengar suara Amak yang seakan-akan ada di hadapanku sekarang.
“Ayah tidak pernah memintaku shalat Mak!”. Aku
terlihat tidak memperdulikan ajakannya. “Ayah juga tidak melarangmu untuk
shalat kan!”. Lalu Amak terlihat menarikku untuk berwudhu.
Arrgghhhh…
kenapa semua pandanganku menjadi film dokumenter seperti ini. Ada apa dengan
pikirankku dan pendengaranku sekarang. Aku benar-benar membenci ini semua.
“AZALIA,
AWAAS….” Teriakan Dave mengagetkan membuat diriku hampir kehilangan
keseimbangan bersepeda untuk kedua kalinya. Aku langsung menepi ke pinggir, dan
segera menengok ke belakang berniat
memaki Dave yang membuatku kaget dan hampir terjatuh.
“DAVEEE….”
Astaga, dia sedang meringis menahan kesakitan di pinggir jalan, dirinya
terserempet mobil. Beberepa mahasiswa yang sedang olahragapun kini sudah mengelilinya. Aku langsung
mnejatuhkan sepeda, berlari masuk kekerumunan mahasiswa yang sedang bersimpati
pada Dave. Ah, kejadian ini membuatku panik seketika. Bersyukur aku tidak punya
penyakit jantung.
“Daveee,,
kau baik-baik saja kan ”?. Aku segera memberikannya air minum. Lalu meberikan
sapu tangan untuk mebersihkan luka yang cukup parah dipergelangan tanganya.
Ishh, kenapa calon master seperti dia harus ceroboh hingga terserempet mobil
seperti ini.
“Kenapa
kau melamun sih, Dave ? Tegurku langsung tanpa ampun.
“Kau yang
melamun, kenapa kau bisa ada jalur mobil, padahal jalur sepeda sudah jelas
tandanya!”. Jawab Dave galak sambil menatap tajam kepadaku.
“A..Aku
?”. Jawabku terbata-bata. Bingung menjelaskan kepada Dave tentang bisikan Amak
dan kenangan itu yang tiba-tiba muncul. Tapi, aku benar-benar tidak sadar bisa
salah jalur jalan. Apalagi masuk ke jalur mobil segala.
“Aku
sudah meneriakimu dari halte sebrang jalan, dan kau tidak mendengarkanku. Atau
memang sengaja mengabaikanku?” Sekarang dia bertanya penuh kecurigaan. “ Kamu
tau, aku langsung berlari dari halte, melihat dirimu hampir tetabrak tadi!”.
“Kau mau
tidak sadarkan diri lagi seperti dulu, membuat kami semua khawatir Az!”. Bentak
Dave tiba-tiba kepadaku.
“Kenapa
kau harus semarah itu sih!”. Jawabku tidak mau kalah.
Dave
langsung bangkit, membawa sepedaku dengan tanganya yang terluka. “Kau, balik
lagi sekarang. Temui Nisa, sepeda aku sita sampai kau sadar!”.
Dave
segera berlalu mengambil arah jalan berlawanan. Terlihat sekali, dia masih
menahan sakit di tangganya. Kenapa dia harus ingat kejadian tiga tahun lalu.
Itu sudah lama sekali. Dan tidak baik untuk diingat. Lagipula Aku memang salah, nanti aku akan minta maaf. Setidaknya,
tidak perlu marah atau membentakku seperti tadi. Apalagi di depan umum. Kenapa
dia harus menjadi pemarah seperti itu.
***
Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Padang. 2008
Butuh satu jam perjalanan dari bukit tinggi untuk
sampai ketempat ini. Ada sekita empat puluh empat kelokan jalan yang
benar-benar memanjakan mata dan sedikit menguji nyali. Tidak Cuma langit dan
danau maninjau saja yang seakana terlihat menjadi satu. Semua kerinduan yang
tetahan lama, kini sudah tinggal menunggu waktu saja untuk menjadi satu seperti
dulu.
“Assalamualaikum, Hafifah kah ini ? Pandangan
kerinduan yang tersimpan lama itupun
terbayar sekarang.
“Walaikumsalam, Uni Aisyah baa kaba ( apa kabar kak)
wak taragak bana samo uni ( rindu sekali kepadamu Kak )?
“Alhamdulilah lai lah sehat,
uni iyo lo ( sama kaka juga rindu )”. Pelukan langsung datang kepada kami yang
sepertinya sudah ditunggu sejak lama.
“Ini putriku, Azalia namanya. Namanya sengaja aku
ambil dari nama belakangmu uni”.
Mereka berpelukan sangat lama, Amak terlihat hampir
menangis begitupun dengan perempuan yang baru pertama kali aku temui ini. Kami
langsung diajak masuk kedalam rumah gadang yang besar ini.
“Azalia, umurmu berapa sayang?” Beliau menatapku
dengan manis, tatapannya sangat teduh.
“Empat belas tahun ”. Jawabku sambil menunduk, waktu
itu aku sangat pemalu untuk berbicara dengan orang baru.
“Panggil saja ummi, aku juga amakmu” beliau langsung
mengusap kepalaku sambil tersenyum.
Aku mengangguk menjawab permintaan beliau. Lalu Amak
langsung mengijinkan aku untuk bermain ke halaman belakang rumah ini. Benar
saja, danau maninjau menjadi pandangan paling pertama ketika aku berlari
keluar.
***
Maha Suci Allah
Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,
Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,
Yang
telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat
pada penciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah yang tidak seimbang. Maka lihatlah
berulang-ulang , adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang ?.
Kemudian
pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dan tidak
menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatan itupun dalam keadaan payah.
Dia
langsung menatapku, sedikit kaget mungkin. Karena, tiba-tiba aku muncul dari
belakang rumahnya. Lalu dia tersenyum sedikit dan melanjutkan hafalannya.
Sedangkan, aku masih diam melihat dia menghafal di depan danau. Apa yang dia
hafal sebenarnya. Aku tidak berani melangkah mendekati, apalagi untuk mengajak
berbiacara.
“Hei,,
kesini, tolong dengarkan hafalanku”. Dia memanggilku untuk pertama kalinya.
“Cepatlah,
aku besok harus ujian tahfidz!”. Dia memanggilku lagi. Aku berjalan menunduk
kearahnya. Lalu mengambil buku yang dia berikan.
“Hah,
huruf apa ini?”. Aku kaget ketika melihat buku yang diberikannya. Aku pernah
melihatnya dirumah, dan kadang Amak membacanya setelah shalat. Tapi aku tidak
pernah tertarik untuk tau tentang buku itu.
“Ini
huruf arab, kamu gak pernah ngaji ya?”. Keningku langsung berkerut mendengar
pertanyaannya.
“Enggak,
jawabku singkat sambil menatap danau.
“Loh,
kata Ummi, tamu yang datang hari ini. Sahabat baiknya di pesantrenya dulu. Kamu
Azalia anaknya tante Hafifah kan, masa gak bisa ngaji sih ?”
“Bacakannya
saja artinya, tadi kau juga menghafal artinyakan. Biar aku dengarkan
hafalanmu!” Jawabku tegas, mengabaikan pertanyaan yang menurutku tidak pentig
saat itu.
***
Setelah
keberangkatan suamiku besok ke Hongkong. Aku berharap Azalia bisa terbiasa
dengan semua ajaran agamanya. Dia belum bisa ngaji sampai sekarang, dia selalu
meberikan alasan. Kalau dia belum menyukainya.
“Bagaimana
dengan shalatnya Fah?”
Belum
Uni, dia meberikan alasan yang sama. Ayahnya belum pernah menyuruhnya shalat.
“Maksudmu
Ayahnya melarang Azalia shalat?”
Kak Lan
tidak pernah melarang putri kesayanganya untuk shalat, aku faham pemikirannya,
dia berharap Az bisa shalat dengat kesadaran bukan karna agama keturunan. Sama
seperti Kak Lan , semenjak menjadi mualaf sebelum menikah denganku. Dia sangat
berusaha menemukan kesadaran itu.
Tapi
sampai lima belas tahun ini, lihatlah Kak Lan masih seperti itu dan putrinya
akhirnya mengikuti. Apa yang harus aku lakukan Uni ?. Aku meminta berpisah dari
Kak Lan kalau dia masih bersikap seperti ini. Azalia sudah hampir dewasa, aku
tidak ingin dia tidak mengenal agamanya. Uni faham maksudku kan ?
Aku
faham Fah, aku faham sama seperti dulu ketika memahami pilihanmu untuk menikah
dengan Kak Lan. Laki-laki asing yang mengajar di Andalas kampus kita. Aku
faham, memaksa faham. Sama seperti dulu ketika kamu memaksaku untuk menerima donor
ginjalmu waktu aku hampir meninggal pasca melahirkan Dave.
Aku akan
selalu memahami. Biarkan Azalia bersamaku, biar dia hidup dalam bimbingan
keluargaku. Ada Nisa yang akan rajin mengajaknya shalat, ada Dave yang mengajak
dia mengaji. Kak Akbar pasti akan setuju. Ijinkan kami mengajak Azalia ke
Hongkong.
“Hongkong,
Bagaimana bisa Uni ?”. Aku sedang berusaha memisahkan Azalia dari Ayahnya.
Ayahnya besok memilih kembali ke Hongkong sampai tiga tahun kedepan. Setelah
aku memaksa Kak Lan untuk berpisah.
“Lalu
apa yang bisa aku bantu untukmu Fah?, Kak Akbar dipindahkan tugas ke Hongkong
juga awal tahun depan.
“Doakan
yang terbaik untuk kami, Kak Lan berjanji berubah ketika sampai di tanah
kelahirannya. Semoga dia bisa menjemput hidayah yang sudah dia ikrarkan lima
belas tahun lalu”.
***
Hujan
turun deras sekali, membuat amak dan perempuan yang sekarang aku pangggil ummi
memanggil kami dari dalam rumah. Meminta kami untuk segera masuk. Anak to the
point tadi juga ikut berlari, lalu meberikan daun talas yang cukup besar
kepadaku.
“Untuk
apa”. Tanyaku bingung.
“Untuk
dimakan”. Jawab dia pendek, lalu masuk kedalam rumah tidak menghiraukan
kebingunganku. Kalau saja sekarang sedang tidak hujan, akan aku balas dia.
Mungkin dia termasuk kedalam golongan makhluk-makhluk gak jelas batinku.
“Terimakasih
sudah mendengarkan hafalanku Azalia, Namaku Dave.” Dia berteriak lagi ketika
sudah masuk kedalam rumahnya.
Ummi dan
Amak tersenyum melihat keanehan Dave. Sepertinya dia memang aneh.
***
Masjid
Ukhuwah Islamiyah UI
Akhir
Tahun 2015
“Sadar itu
diusahakan, bukan dibiarkan”
Aku
sudah menunggu hampir satu jam. Ternyata seperti ini rasanya menunggu. Bosan
dan menyebalkan. Seperti makhluk yang tidak memiliki tujuan hidup. Terlihat
sekali orang-orang yang sering menunggu pasangannya di malam minggu, adalah
orang yang pengangguran. Atau mungkin mereka lupa bahwa ada tugas kuliah atau
deadline tabloid.
Sepedaku
sudah entah dimana keberadaannya sekarang. Kalau saja danau yang sedang
berhadapanku sekarang bisa berbicara. Aku sudah ajak dia berbicara dari tadi.
Sayangnya, dia hanya manjadi pendengar yang baik saja. Belum menjadi pembicara
yang baik.
Baiklah !!!
Danau dengarkan aku lagi, untuk beberapa menit kedepan. Dan terimkasih untuk
enampuluh menit yang berlalu begitu saja. Hari ini benar-benar membuatku
bingung. Bahkan sudah sebulan terakhir ini. Sejak mimpi Ayah yang jatuh ke
laut. Dan, tadi pagi suara Amak dengan bayangan-bayangannya yang nyata datang.
Aku
percaya bahwa konsep tentang kebetulan tidak pernah ada. Tapi aku memang tidak
punya jawaban dan penjelasan atas pertanyaan dari Nisa dan perintah dari Dave
untuk sadar.
“SADAR!”
Selama
ini aku tidak mabuk, dan normal dalam melakukan apapun. Bukannya kau melihatnya
kenormalanku selama tiga tahun setengah di kampus ini danau?. Oh ya, aku lupa
kau tidak bisa menjawab.
“Kau
belum sadar, bahwa kita punya Allah Az!”. Suara Nisa memutus komunikasi satu
arahku dengan Danau. Aku langsung berbalik, menatapnya.
“Aku
sadar Nis, Aku muslim”. Jawabku singkat.
“Itu
hanya identitasmu saja selama ini!” Nisa tidak pernah mengajakku berdiskusi
soal agama. Atau memang aku yang selalu menghindar. Dia juga tidak pernah
mengajakku secara paksa untuk melakukan semua hal yang dia lakukan sebagai
muslim. Tapi sepertinya, tidak untuk sekarang.
“Kamu
tau Nis, Ayahku tidak pernah memintaku untuk shalat!”
“Kamu
juga tau Az, Ayahmu tidak pernah melarangmu untuk shalat!”
Sebenarnya
aku malas sekali membahas masalah ini, apalagi harus sampai membongkar lagi
kenangan masa lalu. Tidak menyakitkan memang. Tapi cukup membuat sesak.
“Lihat
aku Az, aku akan mati, kamu juga, Uda Dave juga, Buya, Ummi, semuanya akan
mati. Kamu tau kenapa Ayahmu tidak pernah melarang atau memerintahmu untuk
shalat ?. Nisa menatapku semakin serius sekarang.
Aku
menghela nafas panjang, mengingat semua kejadian satu per satu. Ayah seorang
mualaf dengan pemahaman yang sangat sedikit tentang agama. Idealisnya tetap
tinggi dalam berprinsip. Amak belajar memahami itu sampai aku umur empat belas
tahun. Membiarkan kesadaran kami muncul perlahan untuk beribadah. Namun
ternyata proses itu benar-benar lama. Karna kami tidak berusaha mencari hakikat
ibadah sebenarnya. Sama seperti aku sekarang. Membiarkan semuanya begitu saja.
“Untuk membuatku sadar, ibadah karna sadar”.
Apa kau
sudah berusaha untuk sadar setelah kita kembali dari Hongkong! Setidaknya
bertaya kepadaku untuk bagaimana memulai shalat. Padahal telihat sekali
wajah senangmu melihat kami shalat
jamaah dulu waktu di rumah sakit, kau juga tersenyum ketika Uda Dave membacakan
surat Al-Mulk di rumah sakit. Sekarang kau masih lupa tentang itu semua. Atau
berpura-pura lupa ?
Kita
sama-sama percaya kalau hukum kebetulan tidak pernah berlaku. Dan, sebulan
mimpimu berturut-turut seperti itu apa tidak ada maksud tertentu dari yang Maha
Pemilik Malam dan Siang ?
Apalagii
yang kamu mau tau jawabannya Az, pertanyaanya adalah dirimu sendiri!.
Nisa sudah menangis sekarang, dia langsung
memelukku yang masih diam mematung. “Jilbab yang aku berikan selama sebulan
terakhir, segera pakai. Ummi sudah mengirimkan banyak gamis untukmu. Buya menunggumu
di Hongkong dengan pakaian muslimah dan usaha hijrahmu. Sekaligus mengunjungi
makam Ayah dan Amak di Kowloon”.
“Hijrah?”
Tanyaku lirih.
Aku
belum sanggup membalas pelukan Nisa. Apalagi menjawab semua penjelasnya. Kenapa
selama ini aku membiarkan diriku lupa. Membiarkan diriku berpura- pura tidak tau dan
tidak ingin tau. Membiarkan diriku menjadi bodoh, terjebak dalam kebingungan.
Membiarkan kedasaran beribadah tumbuh begitu saja, tanpa berusaha sama sekali.
“Hijrah
sama dengan Move On Az” Nisa melepaskan pelukannya lalu tersenyum penuh arti
kepadaku. “Belum terlambat, kita mulai dari detik ini Az”.
Aku
belajar menerima semua ini dengan baik sekarang. Aku tidak akan membiarkan
kesalahan terulang. Tapi, entah kenapa “Nafasku tiba-tiba sesak Nis”. Nisa
langsung mengambil tas kecilku. “Dimana obatmu Az” Nisa terlihat panik sekali,
mencari obatku. “Ditinggal di kamar”. Aku mengenggam tangannya, “Pakaikan aku
jilbab yang tadi pagi kamu berikan”.
Sbenarnya
nafasku semakin sesak tapi aku tidak ingin Nisa mengetahuinya, dia sudah
terlalu sedih melihat aku selama ini. Aku tidak ingin melihat Nisa menagis lagi
karna kebodohanku.Walaupun wajah Nisa sudah mulai berbayang dalam penghlihatanku sekarang. Aku
berusaha terus tersenyum menatapnya yang merapikan jilbabku. Aku tidak tau apa
yang akan terjadi beberapa menit setelah ini. Kalau memang aku akan mati,
setidaknya aku sudah berhijrah dengan jilbab pertamu sekarang. Dulu di rumah
sakit Victoria, aku sudah meminta kepada Allah untuk kembali hidup demi
ketulusa Nisa, Dave, Ummi dan Buya. Tapi untuk kali ini. Aku tidak akan
memintanya lagi, sebagai penebus kesalahanku dan kebodohanku selama ini.
“Tanganmu
hangat sekali Az, kamu yakin baik-baik saja ?”. Nisa membalas gengaman tanganku
dengan erat. Lagi-lagi responku hanya senyuman, aku tidak bisa menjawab dan merespon
apa-apa lagi sekarang. Aku hampir saja menangis melihat dia memakaikan jilbabku
untuk pertama kalinya. Aku tidak tau, apa setelah ini aku masih hidup atau
tidak. Masih bisa melihat senyum manisnya lagi atau sekedar mendengar
nasihatnya. Benar-benar tidak tau. Jika memang ini waktunya untuk aku pergi,
aku akan pergi.
“Azaliaaaaaaaaa…”
Terakhir, aku hanya mendegar teriakan Nisa dalam kegelapan.
Bersambung Part IV :)
Ditunggu yahh...
Writers : Umi Wijaya Lau
0 komentar:
Posting Komentar