Azalia Lee ( Part III )

Selasa, 01 Maret 2016











Teruslah hidup, setidaknya hidup untuk mendoakan Ayah dan Amakmu


Semuanya masih berbayang, tidak ada yang bisa aku lihat sama sekali. Selain warna putih dan sedikit cahaya di ruangan yang tidak aku kenal. Aku sudah tidak ingin hidup. Biarkan aku ikut Ayah dan Amak. Nafasku sangat sesak, sesak sekali. Aku tidak bisa lagi mengingat wajah Ayah sekarang, apalagi wajah Amak. Ini benar-benar menyakitkan. Ada apa dengan system ingatanku sekarang. Aku ingin ikut mereka, bukan melupakannya.
“Semua keluarga di Padang sudah dihubungi, mereka menolak mengurus Azalia. Mereka bilang sudah memutus hubungan keluarga sejak lama”. Begitupun keluarga Ayahnya, mereka meberikan penjelasan yang sama”. Aku mendengar penjelasan menyakitkan itu samar-samar. Sakit sekali ditolak oleh dua keluarga orang tuaku sendiri. Apa yang salah dengan diriku ?
“Bagaimana bisa mereka bersikap seperti itu?”. Teriak seorang laki-laki yang suaranya mulai tidak asing di telinga.
“Buya tenang yah, sudah masuk adzan isya sekarang kita jamaah shalat dulu”. Aku juga mengenal suara ini. Mataku masih sulit terbuka, aku ingin melihat mereka shalat berjamaah. Walaupun aku tidak pernah shalat, aku senang melihat orang shalat.
Waktu kecil aku dan Ayah sering melihat Amak Shalat sendirian. Dan kami diam membaca buku sambil terus memperhatikan. Setelah Amak shalat, pasti Amak selalu menangis melihatku. Dan menatap Ayah dengan kelu. Ayah sangat benci melihat tangisan, aku rasa itu awal kenapa Ayah benci melihat orang menangis.
Lalu Amak mencium tangan Ayah, mencium keningku. Dan membuatkan kami makanan. Kalau Amak dalam sehari shalat lima kali, lima kali dia memangis. Lima kali menatap Ayah dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan. Dan lima kali juga mencium keningku bercampur air mata. Aku senang dan juga sedih. Semuanya menjadi satu, aku tidak megerti apa-apa sampai sekarang.
***
Bau obat benar-benar menyengat hidungku. Sepertinya aku tidur lama sekali. Mataku masih sulit terbuka, semua tubuhku mati rasa. Aku hanya bisa sedikit mendengar suara orang dengan samar-samar. Terkadang semuanya sunyi, gelap. Dan membuatku sesak nafas.
“Azalia, aku akan mengaji. Kamu tau mengaji ?”. Apakah ada orang yang mengajakku berbicara setelah sekian lama. Siapa dia, aku tidak mengenal suaranya, dia seperti seumuranku. Tapi suaranya sedikit asing dengan pendengaranku.
( Al – Mulk )
Apa yang dia bacakan, kenapa membuatku sedih sekali. Apakah itu bahasa arab, seperti yang sering Amak baca setelah shalat. Aku tidak mengetahui artinya, tidak faham sekali.
“Ini surat Al-Mulk, tentang kekuasaan Allah, tentang kerajaan Allah, tentang semua yang kamu lihat di Dunia. Dia Tuhan kita yang Maha Esa”. Bukannya dulu, kau pernah mendengarkan hafalanku ?”. Dia menjawab pertanyaanku dengan nada yang sangat kelu, siapa dia, apa dia bisa mendengarku. Kenapa dia begitu sedih. “Mendengarkan hafalanya?” aku tidak ingat apa-apa.
“Azalia kamu harus segera kembali dan hidup bersama kami. Bangunlah, doakan Ayah dan Amakmu secepatnya”. Dia mengajakku berbicara lagi dan sepertinya kini dia sedag menahan tangis.
“Uda, ditunggu Ummi untuk makan. Uda sudah setengah hari ngaji disini dan belum makan sama sekali”. Suara perempuan seumuranku itu memanggilnya Uda, berarti mereka bersaudara. Siapa mereka sebenarnya, kenapa mereka menemaniku sekarang. Kenapa, aku tidak bisa melihat mereka.
 “Kamu juga setengah hari nemenin Uda disini”
Aku sudah makan berkali kali ketika Uda ngaji dari tadi pagi, Uda setiap digantiin ngaji dari tadi pagi gak pernah mau. Sekarang Uda makan bareng ummi sama buya. Biar Nisa yang ngaji. Kekhwatiran kita akan semakin bertambah kalau tiba-tiba Uda ikutan sakit. Azalia akan segera sadar, sebentar lagi InsyAllah. Nisa, namanya Nisa. Dia juga yang menemaniku dan kini memanggil namaku.
Tiba-tiba belaian lembut datang mengusap kepalaku.  Aku mendengar isakan tangis yang tertahan. Sepertinya Nisa sedang menangis dihadapanku sekarang. Kenapa ia begitu sedih, apakah aku terlihat sangat menyedihkan sekarang. Jangan menangis di depanku Nisa. Aku mohon. Aku sangat membenci tangisan.
“Aku Nisa Az, Kamu adikku sekarang. Sudah terlalu lama kamu tidak sadarkan diri. Kami semua khawatir, cepatlah sadar Az. Tangisan Nisa sudah terdengar jelas sekali sekarang. Kini tanganku sudah digengam erat olehnya. Aku ingin sekali membalas gengamannya. Tapi aku tidak bisa apa-apa sekarang.
Semua tubuhku mati rasa Tuhan,  penglihatanku hanya sekilas cahaya dan satu warna putih. Hanya pendengaranku saja yang bisa mendengar mereka Tuhan,,, Jika memang kesedihan mereka benar-benar tulus untuk mengharapkan kehidupanku lagi. Ijinkan aku sadar Tuhan, ijinkan,, Aku mohon kepada-Mu. Sudah lama sekali, bukankah sudah lama sekali aku tidak memohon kepada-Mu.
“Az, kami semua menyayangimu, benar –benar menyangimu”.Tiba-tiba Nisa membisikan kalimat itu ke telinga kananku.Walaupun Bisikan, perkataan itu sangat jelas, suara isakannyapun ikut terdengar.
“Tuhan, ijinkan aku kembali”
***
Hembusan angin pagi menerpa wajahku dengan lembut. Tetesan embun masih banyak terlihat di pinggiran jalan yang penuh dengan rumput. Sepertinya rumput-rumput itu bahagia, memiliki sahabat yang selalu menyejukan seperti embun. Andai saja, Nisa sahabatku itu tidak menyejukan setiap kali berbicara. Aku tidak akan mau memikirkan apa yang dia bilang tadi di masjid kampus.
Aku tidak pernah berniat untuk menyakiti siapapun apalagi membunuh orang-orang yang sangat penting dalam hidupku. Buya dan Ummi bukan orang asing yang tidak aku pedulikan, aku hanya tidak ingin memperlihatkan kesedihanku. Sudah itu saja, tidak ada alasan lain. Tapi, kenapa Nisa menuntutku untuk menangis di depannya, bukannya dia sudah puas melihatku menangis ketika bermimpi tentang Ayah sebulan terakhir.
“Az, ayo shalat bersama”. Tiba-tiba sekilas bisikan suara Amak datang kedalam ingatanku. Menyayat telingaku, membuat telinga menjadi bising sekali. Aku hampir terjatuh dari sepeda, mendengar suara Amak yang seakan-akan ada di hadapanku sekarang.
 “Ayah tidak pernah memintaku shalat Mak!”. Aku terlihat tidak memperdulikan ajakannya. “Ayah juga tidak melarangmu untuk shalat kan!”. Lalu Amak terlihat menarikku untuk berwudhu.
Arrgghhhh… kenapa semua pandanganku menjadi film dokumenter seperti ini. Ada apa dengan pikirankku dan pendengaranku sekarang. Aku benar-benar membenci ini semua.
“AZALIA, AWAAS….” Teriakan Dave mengagetkan membuat diriku hampir kehilangan keseimbangan bersepeda untuk kedua kalinya. Aku langsung menepi ke pinggir, dan segera menengok ke belakang  berniat memaki Dave yang membuatku kaget dan hampir terjatuh.
“DAVEEE….” Astaga, dia sedang meringis menahan kesakitan di pinggir jalan, dirinya terserempet mobil. Beberepa mahasiswa yang sedang olahragapun  kini sudah mengelilinya. Aku langsung mnejatuhkan sepeda, berlari masuk kekerumunan mahasiswa yang sedang bersimpati pada Dave. Ah, kejadian ini membuatku panik seketika. Bersyukur aku tidak punya penyakit jantung.
“Daveee,, kau baik-baik saja kan ”?. Aku segera memberikannya air minum. Lalu meberikan sapu tangan untuk mebersihkan luka yang cukup parah dipergelangan tanganya. Ishh, kenapa calon master seperti dia harus ceroboh hingga terserempet mobil seperti ini.
“Kenapa kau melamun sih, Dave ? Tegurku langsung tanpa ampun.
“Kau yang melamun, kenapa kau bisa ada jalur mobil, padahal jalur sepeda sudah jelas tandanya!”. Jawab Dave galak sambil menatap tajam kepadaku.
“A..Aku ?”. Jawabku terbata-bata. Bingung menjelaskan kepada Dave tentang bisikan Amak dan kenangan itu yang tiba-tiba muncul. Tapi, aku benar-benar tidak sadar bisa salah jalur jalan. Apalagi masuk ke jalur mobil segala.
“Aku sudah meneriakimu dari halte sebrang jalan, dan kau tidak mendengarkanku. Atau memang sengaja mengabaikanku?” Sekarang dia bertanya penuh kecurigaan. “ Kamu tau, aku langsung berlari dari halte, melihat dirimu hampir tetabrak tadi!”.
“Kau mau tidak sadarkan diri lagi seperti dulu, membuat kami semua khawatir Az!”. Bentak Dave tiba-tiba kepadaku.
“Kenapa kau harus semarah itu sih!”. Jawabku tidak mau kalah.
Dave langsung bangkit, membawa sepedaku dengan tanganya yang terluka. “Kau, balik lagi sekarang. Temui Nisa, sepeda aku sita sampai kau sadar!”.
Dave segera berlalu mengambil arah jalan berlawanan. Terlihat sekali, dia masih menahan sakit di tangganya. Kenapa dia harus ingat kejadian tiga tahun lalu. Itu sudah lama sekali. Dan tidak baik untuk diingat. Lagipula  Aku memang salah, nanti aku akan minta maaf. Setidaknya, tidak perlu marah atau membentakku seperti tadi. Apalagi di depan umum. Kenapa dia harus menjadi pemarah seperti itu.
***
                Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Padang. 2008
                Butuh satu jam perjalanan dari bukit tinggi untuk sampai ketempat ini. Ada sekita empat puluh empat kelokan jalan yang benar-benar memanjakan mata dan sedikit menguji nyali. Tidak Cuma langit dan danau maninjau saja yang seakana terlihat menjadi satu. Semua kerinduan yang tetahan lama, kini sudah tinggal menunggu waktu saja untuk menjadi satu seperti dulu.
                “Assalamualaikum, Hafifah kah ini ? Pandangan kerinduan yang tersimpan lama  itupun terbayar sekarang.
                “Walaikumsalam, Uni Aisyah baa kaba ( apa kabar kak) wak taragak bana samo uni ( rindu sekali kepadamu Kak )?
                Alhamdulilah lai lah sehat, uni iyo lo ( sama kaka juga rindu )”. Pelukan langsung datang kepada kami yang sepertinya sudah ditunggu sejak lama.
                “Ini putriku, Azalia namanya. Namanya sengaja aku ambil dari nama belakangmu uni”.
                Mereka berpelukan sangat lama, Amak terlihat hampir menangis begitupun dengan perempuan yang baru pertama kali aku temui ini. Kami langsung diajak masuk kedalam rumah gadang yang besar ini.
                “Azalia, umurmu berapa sayang?” Beliau menatapku dengan manis, tatapannya sangat teduh.
                “Empat belas tahun ”. Jawabku sambil menunduk, waktu itu aku sangat pemalu untuk berbicara dengan orang baru.
                “Panggil saja ummi, aku juga amakmu” beliau langsung mengusap kepalaku sambil tersenyum.
                Aku mengangguk menjawab permintaan beliau. Lalu Amak langsung mengijinkan aku untuk bermain ke halaman belakang rumah ini. Benar saja, danau maninjau menjadi pandangan paling pertama ketika aku berlari keluar.
***
Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada penciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang , adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang ?.
Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatan itupun dalam keadaan payah.
Dia langsung menatapku, sedikit kaget mungkin. Karena, tiba-tiba aku muncul dari belakang rumahnya. Lalu dia tersenyum sedikit dan melanjutkan hafalannya. Sedangkan, aku masih diam melihat dia menghafal di depan danau. Apa yang dia hafal sebenarnya. Aku tidak berani melangkah mendekati, apalagi untuk mengajak berbiacara.
“Hei,, kesini, tolong dengarkan hafalanku”. Dia memanggilku untuk pertama kalinya.
“Cepatlah, aku besok harus ujian tahfidz!”. Dia memanggilku lagi. Aku berjalan menunduk kearahnya. Lalu mengambil buku yang dia berikan.
“Hah, huruf apa ini?”. Aku kaget ketika melihat buku yang diberikannya. Aku pernah melihatnya dirumah, dan kadang Amak membacanya setelah shalat. Tapi aku tidak pernah tertarik untuk tau tentang buku itu.
“Ini huruf arab, kamu gak pernah ngaji ya?”. Keningku langsung berkerut mendengar pertanyaannya.
“Enggak, jawabku singkat sambil menatap danau.
“Loh, kata Ummi, tamu yang datang hari ini. Sahabat baiknya di pesantrenya dulu. Kamu Azalia anaknya tante Hafifah kan, masa gak bisa ngaji sih ?”
“Bacakannya saja artinya, tadi kau juga menghafal artinyakan. Biar aku dengarkan hafalanmu!” Jawabku tegas, mengabaikan pertanyaan yang menurutku tidak pentig saat itu.
***
Setelah keberangkatan suamiku besok ke Hongkong. Aku berharap Azalia bisa terbiasa dengan semua ajaran agamanya. Dia belum bisa ngaji sampai sekarang, dia selalu meberikan alasan. Kalau dia belum menyukainya.
“Bagaimana dengan shalatnya Fah?”
Belum Uni, dia meberikan alasan yang sama. Ayahnya belum pernah menyuruhnya shalat.
“Maksudmu Ayahnya melarang Azalia shalat?”
Kak Lan tidak pernah melarang putri kesayanganya untuk shalat, aku faham pemikirannya, dia berharap Az bisa shalat dengat kesadaran bukan karna agama keturunan. Sama seperti Kak Lan , semenjak menjadi mualaf sebelum menikah denganku. Dia sangat berusaha menemukan kesadaran itu.
Tapi sampai lima belas tahun ini, lihatlah Kak Lan masih seperti itu dan putrinya akhirnya mengikuti. Apa yang harus aku lakukan Uni ?. Aku meminta berpisah dari Kak Lan kalau dia masih bersikap seperti ini. Azalia sudah hampir dewasa, aku tidak ingin dia tidak mengenal agamanya. Uni faham maksudku kan ?
Aku faham Fah, aku faham sama seperti dulu ketika memahami pilihanmu untuk menikah dengan Kak Lan. Laki-laki asing yang mengajar di Andalas kampus kita. Aku faham, memaksa faham. Sama seperti dulu ketika kamu memaksaku untuk menerima donor ginjalmu waktu aku hampir meninggal pasca melahirkan Dave.
Aku akan selalu memahami. Biarkan Azalia bersamaku, biar dia hidup dalam bimbingan keluargaku. Ada Nisa yang akan rajin mengajaknya shalat, ada Dave yang mengajak dia mengaji. Kak Akbar pasti akan setuju. Ijinkan kami mengajak Azalia ke Hongkong.
“Hongkong, Bagaimana bisa Uni ?”. Aku sedang berusaha memisahkan Azalia dari Ayahnya. Ayahnya besok memilih kembali ke Hongkong sampai tiga tahun kedepan. Setelah aku memaksa Kak Lan untuk berpisah.
“Lalu apa yang bisa aku bantu untukmu Fah?, Kak Akbar dipindahkan tugas ke Hongkong juga awal tahun depan.
“Doakan yang terbaik untuk kami, Kak Lan berjanji berubah ketika sampai di tanah kelahirannya. Semoga dia bisa menjemput hidayah yang sudah dia ikrarkan lima belas tahun lalu”.
***
Hujan turun deras sekali, membuat amak dan perempuan yang sekarang aku pangggil ummi memanggil kami dari dalam rumah. Meminta kami untuk segera masuk. Anak to the point tadi juga ikut berlari, lalu meberikan daun talas yang cukup besar kepadaku.
“Untuk apa”. Tanyaku bingung.
“Untuk dimakan”. Jawab dia pendek, lalu masuk kedalam rumah tidak menghiraukan kebingunganku. Kalau saja sekarang sedang tidak hujan, akan aku balas dia. Mungkin dia termasuk kedalam golongan makhluk-makhluk gak jelas batinku.
“Terimakasih sudah mendengarkan hafalanku Azalia, Namaku Dave.” Dia berteriak lagi ketika sudah masuk kedalam rumahnya.
Ummi dan Amak tersenyum melihat keanehan Dave. Sepertinya dia memang aneh.
***
Masjid Ukhuwah Islamiyah UI
Akhir Tahun 2015
                                “Sadar itu diusahakan, bukan dibiarkan”
Aku sudah menunggu hampir satu jam. Ternyata seperti ini rasanya menunggu. Bosan dan menyebalkan. Seperti makhluk yang tidak memiliki tujuan hidup. Terlihat sekali orang-orang yang sering menunggu pasangannya di malam minggu, adalah orang yang pengangguran. Atau mungkin mereka lupa bahwa ada tugas kuliah atau deadline tabloid.
Sepedaku sudah entah dimana keberadaannya sekarang. Kalau saja danau yang sedang berhadapanku sekarang bisa berbicara. Aku sudah ajak dia berbicara dari tadi. Sayangnya, dia hanya manjadi pendengar yang baik saja. Belum menjadi pembicara yang baik.
Baiklah !!! Danau dengarkan aku lagi, untuk beberapa menit kedepan. Dan terimkasih untuk enampuluh menit yang berlalu begitu saja. Hari ini benar-benar membuatku bingung. Bahkan sudah sebulan terakhir ini. Sejak mimpi Ayah yang jatuh ke laut. Dan, tadi pagi suara Amak dengan bayangan-bayangannya yang nyata datang.
Aku percaya bahwa konsep tentang kebetulan tidak pernah ada. Tapi aku memang tidak punya jawaban dan penjelasan atas pertanyaan dari Nisa dan perintah dari Dave untuk sadar.
“SADAR!”
Selama ini aku tidak mabuk, dan normal dalam melakukan apapun. Bukannya kau melihatnya kenormalanku selama tiga tahun setengah di kampus ini danau?. Oh ya, aku lupa kau tidak bisa menjawab.
“Kau belum sadar, bahwa kita punya Allah Az!”. Suara Nisa memutus komunikasi satu arahku dengan Danau. Aku langsung berbalik, menatapnya.
“Aku sadar Nis, Aku muslim”. Jawabku singkat.
“Itu hanya identitasmu saja selama ini!” Nisa tidak pernah mengajakku berdiskusi soal agama. Atau memang aku yang selalu menghindar. Dia juga tidak pernah mengajakku secara paksa untuk melakukan semua hal yang dia lakukan sebagai muslim. Tapi sepertinya, tidak untuk sekarang.
“Kamu tau Nis, Ayahku tidak pernah memintaku untuk shalat!”
“Kamu juga tau Az, Ayahmu tidak pernah melarangmu untuk shalat!”
Sebenarnya aku malas sekali membahas masalah ini, apalagi harus sampai membongkar lagi kenangan masa lalu. Tidak menyakitkan memang. Tapi cukup membuat sesak.
“Lihat aku Az, aku akan mati, kamu juga, Uda Dave juga, Buya, Ummi, semuanya akan mati. Kamu tau kenapa Ayahmu tidak pernah melarang atau memerintahmu untuk shalat ?. Nisa menatapku semakin serius sekarang.
Aku menghela nafas panjang, mengingat semua kejadian satu per satu. Ayah seorang mualaf dengan pemahaman yang sangat sedikit tentang agama. Idealisnya tetap tinggi dalam berprinsip. Amak belajar memahami itu sampai aku umur empat belas tahun. Membiarkan kesadaran kami muncul perlahan untuk beribadah. Namun ternyata proses itu benar-benar lama. Karna kami tidak berusaha mencari hakikat ibadah sebenarnya. Sama seperti aku sekarang. Membiarkan semuanya begitu saja.
 “Untuk membuatku sadar, ibadah karna sadar”.
Apa kau sudah berusaha untuk sadar setelah kita kembali dari Hongkong! Setidaknya bertaya kepadaku untuk bagaimana memulai shalat. Padahal telihat sekali wajah  senangmu melihat kami shalat jamaah dulu waktu di rumah sakit, kau juga tersenyum ketika Uda Dave membacakan surat Al-Mulk di rumah sakit. Sekarang kau masih lupa tentang itu semua. Atau berpura-pura lupa ?
Kita sama-sama percaya kalau hukum kebetulan tidak pernah berlaku. Dan, sebulan mimpimu berturut-turut seperti itu apa tidak ada maksud tertentu dari yang Maha Pemilik Malam dan Siang ?
Apalagii yang kamu mau tau jawabannya Az, pertanyaanya adalah dirimu sendiri!.
 Nisa sudah menangis sekarang, dia langsung memelukku yang masih diam mematung. “Jilbab yang aku berikan selama sebulan terakhir, segera pakai. Ummi sudah mengirimkan banyak gamis untukmu. Buya menunggumu di Hongkong dengan pakaian muslimah dan usaha hijrahmu. Sekaligus mengunjungi makam Ayah dan Amak di Kowloon”.
“Hijrah?” Tanyaku lirih.
Aku belum sanggup membalas pelukan Nisa. Apalagi menjawab semua penjelasnya. Kenapa selama ini aku membiarkan diriku lupa.  Membiarkan diriku berpura- pura tidak tau dan tidak ingin tau. Membiarkan diriku menjadi bodoh, terjebak dalam kebingungan. Membiarkan kedasaran beribadah tumbuh begitu saja, tanpa berusaha sama sekali.
“Hijrah sama dengan Move On Az” Nisa melepaskan pelukannya lalu tersenyum penuh arti kepadaku. “Belum terlambat, kita mulai dari detik ini Az”.
Aku belajar menerima semua ini dengan baik sekarang. Aku tidak akan membiarkan kesalahan terulang. Tapi, entah kenapa “Nafasku tiba-tiba sesak Nis”. Nisa langsung mengambil tas kecilku. “Dimana obatmu Az” Nisa terlihat panik sekali, mencari obatku. “Ditinggal di kamar”. Aku mengenggam tangannya, “Pakaikan aku jilbab yang tadi pagi kamu berikan”.
Sbenarnya nafasku semakin sesak tapi aku tidak ingin Nisa mengetahuinya, dia sudah terlalu sedih melihat aku selama ini. Aku tidak ingin melihat Nisa menagis lagi karna kebodohanku.Walaupun wajah Nisa sudah mulai  berbayang dalam penghlihatanku sekarang. Aku berusaha terus tersenyum menatapnya yang merapikan jilbabku. Aku tidak tau apa yang akan terjadi beberapa menit setelah ini. Kalau memang aku akan mati, setidaknya aku sudah berhijrah dengan jilbab pertamu sekarang. Dulu di rumah sakit Victoria, aku sudah meminta kepada Allah untuk kembali hidup demi ketulusa Nisa, Dave, Ummi dan Buya. Tapi untuk kali ini. Aku tidak akan memintanya lagi, sebagai penebus kesalahanku dan kebodohanku selama ini.
“Tanganmu hangat sekali Az, kamu yakin baik-baik saja ?”. Nisa membalas gengaman tanganku dengan erat. Lagi-lagi responku hanya senyuman, aku tidak bisa menjawab dan merespon apa-apa lagi sekarang. Aku hampir saja menangis melihat dia memakaikan jilbabku untuk pertama kalinya. Aku tidak tau, apa setelah ini aku masih hidup atau tidak. Masih bisa melihat senyum manisnya lagi atau sekedar mendengar nasihatnya. Benar-benar tidak tau. Jika memang ini waktunya untuk aku pergi, aku akan pergi.
“Azaliaaaaaaaaa…” Terakhir, aku hanya mendegar teriakan Nisa dalam kegelapan.

Bersambung Part IV :)
Ditunggu yahh...

Writers : Umi Wijaya Lau

0 komentar:

Posting Komentar