“Aku belajar berpura-pura mengiyakan, untuk menutup
semua rasaku kepadamu, yang aku masih pertanyakan kebenarannya sekarang”
Padang 19 Febuari 2008
Pelangi mulai terlukis dari belakang danau maninjau. Bekas-bekas hujan masih terlihat jelas di sekitar danau maninjau yang sedikit lembab namun tetap menghangatkan. Membasahi kebun kelapa di samping rumah, membuat Rezi sedikit malas memetik kelapa untuk berbuka puasa nanti. Hujan benar-benar turun sore ini. Seperti yang tadi Uda Rafdi bilang disekolah, kalau hujan benar-benar akan turun sore ini.
Pelangi mulai terlukis dari belakang danau maninjau. Bekas-bekas hujan masih terlihat jelas di sekitar danau maninjau yang sedikit lembab namun tetap menghangatkan. Membasahi kebun kelapa di samping rumah, membuat Rezi sedikit malas memetik kelapa untuk berbuka puasa nanti. Hujan benar-benar turun sore ini. Seperti yang tadi Uda Rafdi bilang disekolah, kalau hujan benar-benar akan turun sore ini.
“Nanti sore sepertinya akan hujan, Langit sudah
mulai gelap!” Aku hanya bisa mengangguk sambil pura-pura melihat langit. Memang
pura-pura seperti ini selalu menyenangkan. Pura-pura mengiyakan, agar semuanya
tetap baik-baik saja.
“Zaira,, nanti sore aku mau buka puasa dirumahmu yah ? Rezi mulai mengacaukan pembicaraan dua arah kami, sehingga menjadi tiga arah. Oh, Rezi sepupu idolaku ini memang paling suka menggangu. Tidak tau suasana hati sama sekali.
“Emh, jawabku singkat.
“Nanti aku ambilkan kelapa untuk Amakmu lah gimana ?”
“Zaira,, nanti sore aku mau buka puasa dirumahmu yah ? Rezi mulai mengacaukan pembicaraan dua arah kami, sehingga menjadi tiga arah. Oh, Rezi sepupu idolaku ini memang paling suka menggangu. Tidak tau suasana hati sama sekali.
“Emh, jawabku singkat.
“Nanti aku ambilkan kelapa untuk Amakmu lah gimana ?”
Aku segera mengiyakan, tawaran seperti ini harus
langsung diambil. Kalau lima menit belum ada jawaban, dia bisa langsung berubah
penawaran. Maklumlah, generasi pedagang number one limited edition di kota
gadang. Siapa yang tidak tertarik dengan yang satu ini, Rezi Fahrezi yang
tampang sebelas duabelaslah dengan Herjunot Ali, Ketua osis, Anggota Nasyid,
lengkap sudah untuk jadi referensi masa depan. #EdisiPromosi
***
Waktu imsyak tinggal beberapa menit lagi, suara shalawat mulai menggema dari arah timur. Suara yang selalu aku pertanyakan mengenai perasaan dan kehadiranya beberapa tahun terakhir. Yap, tepat sekali itu suara Uda Rafdi dari surau. Dia Rafdi Ramadhan sepupuku, sama seperti Rezi, tapi dia bukan sepupu idolaku melainkan sepupu kesukaanku. Sedikit berlebihan memang. Tapi ini memang kenyataanya sekarang. Kami bertiga adalah saudara sepupu dalam satu kelas di satu sekolah yang sama. Dan ini sudah terjadi selama dua belas tahun terakhir, dari kami mulai masuk SD sampai sekarang yang sedang berjuang masuk universitas.
Waktu imsyak tinggal beberapa menit lagi, suara shalawat mulai menggema dari arah timur. Suara yang selalu aku pertanyakan mengenai perasaan dan kehadiranya beberapa tahun terakhir. Yap, tepat sekali itu suara Uda Rafdi dari surau. Dia Rafdi Ramadhan sepupuku, sama seperti Rezi, tapi dia bukan sepupu idolaku melainkan sepupu kesukaanku. Sedikit berlebihan memang. Tapi ini memang kenyataanya sekarang. Kami bertiga adalah saudara sepupu dalam satu kelas di satu sekolah yang sama. Dan ini sudah terjadi selama dua belas tahun terakhir, dari kami mulai masuk SD sampai sekarang yang sedang berjuang masuk universitas.
“Itu, Rafdi yang shlawatan Ra ?” Tanya Amak
tiba-tiba, “Iya, Mak itu Uda Rafdi yang Shalawatan”. Amak mulai senyum penuh
arti lalu menatap ke Ayah. “Makin bagus suara Rafdi itu Yah” Tanya Amak ke ayah
yang sudah mulai siap-siap berangkat ke surau. “Iyah” Ayah menjawab singkat,
lalu mengambil kopiahnya di atas rak buku sambil melangkah ke pintu.
“Ayah ke surau dulu, harus maksa Rafdi jadi imam
shalat sekarang, sekalian muraja’ah hafalan dia” Aku segera mencium tangan
ayah, sama seperti Amak. Rafdi dan Rezi adalah anak dari adiknya Amak yang
sekarang tinggal di Jakarta bersama suaminya, dia belum menyelesaikan
hafalannya, tapi suaranya memang sudah diakui untuk Musabaqoh Tilawatil Qur’an
tingkat Provinsi.
***
“Ia hanya layak dicintai selama tidak keluar dari cahaya Cinta-Mu, Jika tidak ! Dia tidak layak dicintai”
***
“Ia hanya layak dicintai selama tidak keluar dari cahaya Cinta-Mu, Jika tidak ! Dia tidak layak dicintai”
Padang 10 Mai 2008
Rafdi sudah mengayuh sepedanya tepat di depan sepedaku dan Rezi. ”Rafdi pelan sedikitlah, ini masih pagi” Teriak Rezi yang mulai kesal karna harus mengimbangi sepeda Rafdi. ”Iyah, kita gak akan terlambat Raf !”. Aku mulai teriak karna kesal sendiri karna harus mengejar Rafdi dan Rezi yang santai- santai aja pakai celana panjang jadi bisa mengayuh sepeda lebih cepat. Lah, aku naik sepeda pakai rok panjang kayak gini.
“Kamu kan pakai celana olahraga Ra, angkat aja roknya sedikit” Jawab Rezi sambil terus mengimbangi Rafdi di depan. “Rafdi pelan-pelan aja, bisa kan?” Aku mulai memelas sambil terus mengayuh sepeda mengimbangi mereka berdua di depan.
“Turunin lagi Roknya !!! jangan dengerin Rezi, aku udah pelan nih” Jawab Rafdi singkat.
Aku langsung mengikuti intruksinya, Rafdi sudah mulai marah kalau seperti itu intonasinya. Tapi aku tau ini demi kebaikan. Sekolah kami memang cukup jauh dari rumah. Rafdi sekarag sudah mengimbangi sepedaku begitu juga dengan Rezi.
Rezi sudah asik mendedangkan nasyid kesukaanya, sambil bersiul-siul gak jelas. Sepedanya tepat didepanku, tidak terlalu jauh seperti tadi. Sedangkan Uda Rafdi tepat dibelakangku, jika digambarkan seperti kereta api dengan tiga gerbong berwarna putih abu-abu. Kami mulai menyapa satu persatu kawan yang berjalan kaki, tiba-tiba Rezi berhenti mendadak dan membuat aku tidak seimbang hingga akhirnya terjatuh dari sepeda.”Aduh, REEZZZIII KENAPA BERENTI TIBA-TIBA SIH?” Lututku spertinya sedikit luka. Rezi pergi begitu saja meninggalkan sepedanya dan berlari ke gerbang sekolah. Sepertinya dia sudah tidak sabar melihat pengumuman kelulusan. Tanpa melihat kecelakaan beruntun yang terjadi karna sepedanya. Aishh, ada apa dengan anak aneh itu ! Menyebalkan sekali.
Uda Rafdi mulai mendirikan sepedaku yang jatuh ke tepi jalan. “Ra, kamu gak kenapa-napa?” . Aku diam sebentar lalu menjawab “Kenapa yang ditolongin sepedanya sih Uda, kan aku yang jatuh!” Aku mulai kesal kalau ceritanya seperti ini. “Sepedanya kan gak bisa bangun sendiri Ra, kalau kamu kan masih bisa bangun tuh” Jawabnya polos membuatku tertawa. Sungguh aku masih percaya dia tetap Uda yang dulu, Uda yang menjaga aturan syariatnya untuk tidak menyentuh lawan jenisnya sedekat apapun bahkan dalam keadaan terdesak sekalipun. Uda yang selalu menundukan pandangannya seakrab apapun lawan bicaranya.
Rafdi sudah mengayuh sepedanya tepat di depan sepedaku dan Rezi. ”Rafdi pelan sedikitlah, ini masih pagi” Teriak Rezi yang mulai kesal karna harus mengimbangi sepeda Rafdi. ”Iyah, kita gak akan terlambat Raf !”. Aku mulai teriak karna kesal sendiri karna harus mengejar Rafdi dan Rezi yang santai- santai aja pakai celana panjang jadi bisa mengayuh sepeda lebih cepat. Lah, aku naik sepeda pakai rok panjang kayak gini.
“Kamu kan pakai celana olahraga Ra, angkat aja roknya sedikit” Jawab Rezi sambil terus mengimbangi Rafdi di depan. “Rafdi pelan-pelan aja, bisa kan?” Aku mulai memelas sambil terus mengayuh sepeda mengimbangi mereka berdua di depan.
“Turunin lagi Roknya !!! jangan dengerin Rezi, aku udah pelan nih” Jawab Rafdi singkat.
Aku langsung mengikuti intruksinya, Rafdi sudah mulai marah kalau seperti itu intonasinya. Tapi aku tau ini demi kebaikan. Sekolah kami memang cukup jauh dari rumah. Rafdi sekarag sudah mengimbangi sepedaku begitu juga dengan Rezi.
Rezi sudah asik mendedangkan nasyid kesukaanya, sambil bersiul-siul gak jelas. Sepedanya tepat didepanku, tidak terlalu jauh seperti tadi. Sedangkan Uda Rafdi tepat dibelakangku, jika digambarkan seperti kereta api dengan tiga gerbong berwarna putih abu-abu. Kami mulai menyapa satu persatu kawan yang berjalan kaki, tiba-tiba Rezi berhenti mendadak dan membuat aku tidak seimbang hingga akhirnya terjatuh dari sepeda.”Aduh, REEZZZIII KENAPA BERENTI TIBA-TIBA SIH?” Lututku spertinya sedikit luka. Rezi pergi begitu saja meninggalkan sepedanya dan berlari ke gerbang sekolah. Sepertinya dia sudah tidak sabar melihat pengumuman kelulusan. Tanpa melihat kecelakaan beruntun yang terjadi karna sepedanya. Aishh, ada apa dengan anak aneh itu ! Menyebalkan sekali.
Uda Rafdi mulai mendirikan sepedaku yang jatuh ke tepi jalan. “Ra, kamu gak kenapa-napa?” . Aku diam sebentar lalu menjawab “Kenapa yang ditolongin sepedanya sih Uda, kan aku yang jatuh!” Aku mulai kesal kalau ceritanya seperti ini. “Sepedanya kan gak bisa bangun sendiri Ra, kalau kamu kan masih bisa bangun tuh” Jawabnya polos membuatku tertawa. Sungguh aku masih percaya dia tetap Uda yang dulu, Uda yang menjaga aturan syariatnya untuk tidak menyentuh lawan jenisnya sedekat apapun bahkan dalam keadaan terdesak sekalipun. Uda yang selalu menundukan pandangannya seakrab apapun lawan bicaranya.
***
“Ibarat pohon kelulusan, dia akan terus diperjuangkan sampai akhir”
Taman teratai di dekat gerbang sekolah sudah mulai ramai dikelilingi siswa. Kepala sekolah kami membuat pengumumang kelulusan yang cukup aneh di tahun ini. Dengan menggantungkan surat-surat kelulusan di setiap ranting pohon di area sekolah. Bayangkan apa yang terjadi setelah ini. Semua mulai mencari surat-surat atas nama mereka. Sekolah kami cukup besar, dan memang banyak pohon di sekitar sini. “Aishhh,, ini sudah pohon yang kesepuluh Re,” Aku sudah menyerah, bayangkan aja ada sekitar dua belas pohon di sekolah ini, setiap pohon ada sepuluh surat di setiap ranting. “Ra, ayolah tinggal dua pohon lagi nih” Rezi sudah berdiri lagi dan siap berlari menuju dua pohon terakhir.
“Aku tunggu disini ajalah Re, kamu aja sana nanti aku terakhir aja” Area sekolah sudah sulit digambarkan bentuknya, ada yang menangis haru akhirnya mendapatkan surat kelulusan setelah keliling duabelas pohon, Entah mereka sudah tau isinya atau belom squint emotikon ada yang tertawa bahagia isi surat kelulusan sekaligus penerimaan dari Universitas yang di targetkan, jungkir balik ngelilingi kolam teratai, foto-foto ke ruang guru, Ada juga yang meluk-meluk pohon beringin di deket gerbang. Semuanya sudah teralalu aneh. Aku terakhir ajalah, Sekalian nunggu Rezi dan Uda Rafdi, nanti kalau mereka udah bahagia mendapat surat kan bisa dimintain tolong buat cari surat kelulusanku. Hhahhahha
Zairaaaa…. AKU LULUS, dan kamu tau aku keterima di fakultas kedokteran UNSYIAH Aceh.
Rezi sudah lari melaksanakan adat istiadat sama seperti yang lain, Dia tidak keliling kolam teratai, ataupun meluk pohon beringin. Tapi lebih exstrim dari itu, dia udah manjat menara sekolah sambil mendendangkan nasyidnya.
“Ini suratmu Ra, Selamat yah, Hubungan Internasional UGM” Uda Rafdi tiba-tiba sudah ada di hadapanku sambil memberikan surat kelulusan, “Maaf, kalau Uda yang buka suratnya duluan”. Setelah memberikan surat, dia langsung pergi sebelum mendengar responku. Aishhh, setidaknya dengarkan jawabanku satu kata saja. Walaupun kejadian ini sudah beratus-ratus kali terjadi, tetap menyebalkan sekali. Dengarkanlah dulu jawabanku Udaa, Aku meneriakinya yang terus berjalan tanpa menengok sedikitpun. Sepupu macam apa Uda Rafdi tuh sebenarnya. frown emotikon
“Ibarat pohon kelulusan, dia akan terus diperjuangkan sampai akhir”
Taman teratai di dekat gerbang sekolah sudah mulai ramai dikelilingi siswa. Kepala sekolah kami membuat pengumumang kelulusan yang cukup aneh di tahun ini. Dengan menggantungkan surat-surat kelulusan di setiap ranting pohon di area sekolah. Bayangkan apa yang terjadi setelah ini. Semua mulai mencari surat-surat atas nama mereka. Sekolah kami cukup besar, dan memang banyak pohon di sekitar sini. “Aishhh,, ini sudah pohon yang kesepuluh Re,” Aku sudah menyerah, bayangkan aja ada sekitar dua belas pohon di sekolah ini, setiap pohon ada sepuluh surat di setiap ranting. “Ra, ayolah tinggal dua pohon lagi nih” Rezi sudah berdiri lagi dan siap berlari menuju dua pohon terakhir.
“Aku tunggu disini ajalah Re, kamu aja sana nanti aku terakhir aja” Area sekolah sudah sulit digambarkan bentuknya, ada yang menangis haru akhirnya mendapatkan surat kelulusan setelah keliling duabelas pohon, Entah mereka sudah tau isinya atau belom squint emotikon ada yang tertawa bahagia isi surat kelulusan sekaligus penerimaan dari Universitas yang di targetkan, jungkir balik ngelilingi kolam teratai, foto-foto ke ruang guru, Ada juga yang meluk-meluk pohon beringin di deket gerbang. Semuanya sudah teralalu aneh. Aku terakhir ajalah, Sekalian nunggu Rezi dan Uda Rafdi, nanti kalau mereka udah bahagia mendapat surat kan bisa dimintain tolong buat cari surat kelulusanku. Hhahhahha
Zairaaaa…. AKU LULUS, dan kamu tau aku keterima di fakultas kedokteran UNSYIAH Aceh.
Rezi sudah lari melaksanakan adat istiadat sama seperti yang lain, Dia tidak keliling kolam teratai, ataupun meluk pohon beringin. Tapi lebih exstrim dari itu, dia udah manjat menara sekolah sambil mendendangkan nasyidnya.
“Ini suratmu Ra, Selamat yah, Hubungan Internasional UGM” Uda Rafdi tiba-tiba sudah ada di hadapanku sambil memberikan surat kelulusan, “Maaf, kalau Uda yang buka suratnya duluan”. Setelah memberikan surat, dia langsung pergi sebelum mendengar responku. Aishhh, setidaknya dengarkan jawabanku satu kata saja. Walaupun kejadian ini sudah beratus-ratus kali terjadi, tetap menyebalkan sekali. Dengarkanlah dulu jawabanku Udaa, Aku meneriakinya yang terus berjalan tanpa menengok sedikitpun. Sepupu macam apa Uda Rafdi tuh sebenarnya. frown emotikon
***
Dirumah sibuk sekali, Rezi sudah memetik banyak kelapa untuk bahan masakan. Aku belum tau ada acara apa malam ini disurau. Rezi juga belum memberitahuku tentang ini. Mereka semuanya sibuk. Ayah sudah di surau sejak tadi siang dengan ketua dusun kampungku. “Ra, bisa kesini sebentar”. Pinta Amakku. Aku berjalan mendekati Amak yang masih menunggu nasi matang. “Amak mau tanya, kamu suka dengan Uda Rafdi nak ?”. Hatiku tiba-tiba saja sesak, Amak bertanya seperti itu. Aku belum memiliki jawaban apapun sekarang. Dan memang aku tidak mau menampakan rasa itu. Kalau memang benar-benar aku menyukainya.
“Zaira, dengarkan Amak. Amak tau kamu menyukainya, tapi ini permintaan Amak sebagai ibumu. Lepaskan rasa sukamu sekarang, ini untuk kebaikanmu nak,” Amak lalu mengelus kepalaku. Tapi Hatiku semakin sesak mendengar pernyataan Amak barusan, Semuanya berkecamuk menjadi satu. Ada apa sebenarnya, kenapa Amak harus meminta permintaan semacam itu. Aku tidak mengerti sama sekali dengan semua ini. Apakah aku salah menyukai Uda yang baik seprti itu,”Apakah aku belum pantas untuk sekedar menyukainya saja Mak?”. Air mataku sudah mulai jatuh, aku sudah tidak peduli dengan tangisan yang sudah aku tahan tentan perasaan ini. Aku benar-benar tidak peduli sekarang.
“Apakah aku kurang baik untuk menginginkan yang baik seperti Uda Rafdi, aku tau aku masih terlalu muda untuk memikirkan rasa ini. Tapi ini perasaanku sejak beberapa tahun terakhir. Aku akan tetap diam menjaga perasaan ini, Aku tidak akan menampakannya sama sekali. Tapi, ijinkan aku menyukainya Amak. Aku benar-benar menyukainya. Suaraku mulai parau bercampur dengan tangisan yang membuatku sesak.
Sekarang langit malam bersaksi menatapku. Mempertanyakan tentang rasa yang aku kejar namun belum jelas ujungnya. Aku tau, mulai detik ini, semua perasaanku dan rinduku akan menjadi kesalahan fatal jika masih aku teruskan kisahnya.
***
“Jika benar, aku akan tetap diam. Dan berpura-pura tidak tau tentang kisahmu sekarang”
Secara perlahan aku mulai merakit satu persatu mozaik cerita hari ini. Alunan ayat suci Al-Qur’an sudah mengalun dari ba’da ashar dari tadi disurau. Tepat setelah kami mengambil surat kelulusan. Aku tidak bertanya kepada Rezi ada acara apa di surai, sehingga Amakku harus masak banyak untuk malam ini. Aku tau itu suara Uda Rafdi, Jika dihitung semenjak ba’da Ashar tadi berarti dia sudah membaca Al-Qur’an selama 5 jam hingga malam ini. Aku mulai berlari menerobos hujan setelah Amak mencium keningku dan menjelaskaan pernyataanya tadi. Aku terus menerus berlari secapat aku bisa ,menerobos hujan sambil menangis, aku benar-benar bingung dengan persaanku sendiri sekarang. Aku sedih sekali jika benar-benar malam ini harus terjadi peristiwa seperti yang Amak billang tadi.
Ayah ada di dalam Surau, Surau sudah ramai dengan shalawat dan lantuan doa dari ketua dusun dan anggota masyrakat dusun. Rezi menjadi salah satu pemimpin shalawat acara ini. Aku sudah tidak peduli dengan angin malam apalagi dinginnya hujan. Aku benar-benar akan melihat kejelasan ini semua. Aku tidak akan percaya, sebelum aku melihatnya sendiri.
“Saya terima nikahnya Zanifa bin Ahmad dengan mahar seperangkat alat shalat dibayar tunai” Uda Rafdi sudah melaksanakan akad pernikahanya malam ini. Sekaligus menyelesaikan hafalannya tiga puluh juz bil ghaib yang di simak langsung oleh ayahku sendiri yang sekarang menjadi mertuanya. Dia melamar Uni Zanifa, kakak kandungku yang sekarang bersekolah di mesir. Aku terima kebenaran ini, aku faham, Uni Zanifa lebih baik untuk Hafidz seperti Uda Rafdi. Aku percaya dan aku tidak berpura-pura untuk mempercayai ini semua.
Dirumah sibuk sekali, Rezi sudah memetik banyak kelapa untuk bahan masakan. Aku belum tau ada acara apa malam ini disurau. Rezi juga belum memberitahuku tentang ini. Mereka semuanya sibuk. Ayah sudah di surau sejak tadi siang dengan ketua dusun kampungku. “Ra, bisa kesini sebentar”. Pinta Amakku. Aku berjalan mendekati Amak yang masih menunggu nasi matang. “Amak mau tanya, kamu suka dengan Uda Rafdi nak ?”. Hatiku tiba-tiba saja sesak, Amak bertanya seperti itu. Aku belum memiliki jawaban apapun sekarang. Dan memang aku tidak mau menampakan rasa itu. Kalau memang benar-benar aku menyukainya.
“Zaira, dengarkan Amak. Amak tau kamu menyukainya, tapi ini permintaan Amak sebagai ibumu. Lepaskan rasa sukamu sekarang, ini untuk kebaikanmu nak,” Amak lalu mengelus kepalaku. Tapi Hatiku semakin sesak mendengar pernyataan Amak barusan, Semuanya berkecamuk menjadi satu. Ada apa sebenarnya, kenapa Amak harus meminta permintaan semacam itu. Aku tidak mengerti sama sekali dengan semua ini. Apakah aku salah menyukai Uda yang baik seprti itu,”Apakah aku belum pantas untuk sekedar menyukainya saja Mak?”. Air mataku sudah mulai jatuh, aku sudah tidak peduli dengan tangisan yang sudah aku tahan tentan perasaan ini. Aku benar-benar tidak peduli sekarang.
“Apakah aku kurang baik untuk menginginkan yang baik seperti Uda Rafdi, aku tau aku masih terlalu muda untuk memikirkan rasa ini. Tapi ini perasaanku sejak beberapa tahun terakhir. Aku akan tetap diam menjaga perasaan ini, Aku tidak akan menampakannya sama sekali. Tapi, ijinkan aku menyukainya Amak. Aku benar-benar menyukainya. Suaraku mulai parau bercampur dengan tangisan yang membuatku sesak.
Sekarang langit malam bersaksi menatapku. Mempertanyakan tentang rasa yang aku kejar namun belum jelas ujungnya. Aku tau, mulai detik ini, semua perasaanku dan rinduku akan menjadi kesalahan fatal jika masih aku teruskan kisahnya.
***
“Jika benar, aku akan tetap diam. Dan berpura-pura tidak tau tentang kisahmu sekarang”
Secara perlahan aku mulai merakit satu persatu mozaik cerita hari ini. Alunan ayat suci Al-Qur’an sudah mengalun dari ba’da ashar dari tadi disurau. Tepat setelah kami mengambil surat kelulusan. Aku tidak bertanya kepada Rezi ada acara apa di surai, sehingga Amakku harus masak banyak untuk malam ini. Aku tau itu suara Uda Rafdi, Jika dihitung semenjak ba’da Ashar tadi berarti dia sudah membaca Al-Qur’an selama 5 jam hingga malam ini. Aku mulai berlari menerobos hujan setelah Amak mencium keningku dan menjelaskaan pernyataanya tadi. Aku terus menerus berlari secapat aku bisa ,menerobos hujan sambil menangis, aku benar-benar bingung dengan persaanku sendiri sekarang. Aku sedih sekali jika benar-benar malam ini harus terjadi peristiwa seperti yang Amak billang tadi.
Ayah ada di dalam Surau, Surau sudah ramai dengan shalawat dan lantuan doa dari ketua dusun dan anggota masyrakat dusun. Rezi menjadi salah satu pemimpin shalawat acara ini. Aku sudah tidak peduli dengan angin malam apalagi dinginnya hujan. Aku benar-benar akan melihat kejelasan ini semua. Aku tidak akan percaya, sebelum aku melihatnya sendiri.
“Saya terima nikahnya Zanifa bin Ahmad dengan mahar seperangkat alat shalat dibayar tunai” Uda Rafdi sudah melaksanakan akad pernikahanya malam ini. Sekaligus menyelesaikan hafalannya tiga puluh juz bil ghaib yang di simak langsung oleh ayahku sendiri yang sekarang menjadi mertuanya. Dia melamar Uni Zanifa, kakak kandungku yang sekarang bersekolah di mesir. Aku terima kebenaran ini, aku faham, Uni Zanifa lebih baik untuk Hafidz seperti Uda Rafdi. Aku percaya dan aku tidak berpura-pura untuk mempercayai ini semua.
***
“Semua akan baik-baik saja”
Djogjakarta 22 Agustus 2012
Hubungan bilateral timur tengan sekarang sedang bermasalah. Terlalu banyak intervensi dari pihak asing. Dan tidak ada batasan yang jelas untuk menyelesaikan konflik daerah ini. Seharusnya badan hukum yang sudah diakui didunia, mampu untuk melindungi setiap daerah yang mulai disudutkan tanpa alasan jelas. Adanya propaganda untuk mencari keutungan satu pihak seharusnya sudah mulai diselidiki. Agar tidak terjadi kecurangan yang akan membuat konflik semakin parah. Itu Harapan Saya. Saya Zaira Ahmad. Terimakasih.
Tepuk tangan mulai menggema, Aku Zaira Ahmad terpilih sebagai mahasiswi terbaik Hubungan Internasional dengan skripsi terbaik juga difakultasku.
Hari ini Amak dan ayah datang ke jogja, Aku sudah empat tahun tidak bertemu mereka. Semenjak kejadian itu aku memutuskan untuk tidak kembali kedaerahku sendiri. Mereka pun enggan mengunjungiku karna memang selalu aku larang. Itu lebih baik sekarang. Aku rasa Uni Zanifa dengan Uda Rafdi baik-baik saja di mesir. Jadi, tidak perlu aku tanyakan kabar, atau menjawab kabar dari mereka. Dengan begitu semua akan berjalan baik-baik saja.
Amak datang mengunakan kebaya berwana putih,kebaya yang dia gunakan ketika Uda Rafdi menikahi anaknya yang lain. Ah,lagi-lagi aku masih memikirkan hal menyedihkan itu.
“Alhamdulialah, Zaira. Amak dan Ayah bangga padamu” Amak langsung memelukku dan mulai menangis. Ayah masih seperti dulu, dia lebih banyak diam. Dan sedikit tersenyum sambil mengelus kepalaku. Aku mencium tangannya sambil menangis “ Maafkan Zaira Ayah”. Ayah terus mengelus kepalaku, dan berbicara sedikit “ Ini kesalahan Ayah, Maafkan Ayah, Pulanglah nak ikut dengan kita”
Aku hanya diam,tidak menjawab apapun. Amak menatap penuh harap kepadaku. Begitu juga dengan Ayah. Aku benar-benar ingin melupakan semuanya. Tapi belum bisa, dan biarlah aku yang menanggung semua kesalahanku sekarang. Cukup kejadian besar itu menarik langkahku untuk tidak pulang. Aku mulai menarik nafas panjang lalu memberanikan diri untuk berbicara “Ijinkan aku disini, Aku tidak akan pulang! Ini pilihanku Ayah.
Tiba-tiba seseorang yang tidak pernah aku mau temui lagi semenjak empat tahun lalu datang dengan kakak kandungku sendiri. Uda Rafdi menggunakan jas hitam buatan mesir, itu sangat jelas terlihat dari modelnya. Dia sekarang semakin tinggi dan menggunakan kaca mata. Sekarang semua kejadian itu terulang lagi, seperti film documenter di dalam otakku. Aku benar-benar masih memikirkannya. Aku belum bisa melupakannya selama ini. Aku tau ! Aku salah karna perasaan ini.
Uni Zanifa dengan gamis putih polos tepat ada disampingnya sambil merangkul tangan Uda Rafdi, Kenapa harus di hari wisudaku. Aku melihatnya. Ini benar-benar menyakitkan. Uda Rafdi mulai mengajakku berbicara “Pulanglah, Zaira !”. Perkataanya masih sama seperti dulu ringkas dan tegas. Jujur Aku masih menyukai instrusksinya itu sama seperti dulu. Sungguh, aku benar-benar masih merindukannya sama seperti dulu.
“Zaira, sudah empat tahun semenjak hari kelulusan itu !, Maafkan aku terlambat menyadari semuanya”. Uni Zanifa semakin erat merangkul tangan Uda Rafdi yang gemetar menyampaikan pengakuannya barusan. Aku mulai menangis melihat ini semua, dan mendengar pengakuannya itu. Dia bilang terlambat ! “Kita bersama sudah terlalu lama. Dan Uda bilang masih terlambat. Kenapa harus Uni Zanifa, dan kenapa semuanya harus dirahasiakan dariku! Semua iu dilakukan secara sadar, dan memang sudah direncanakan tepat setelah hafalan Uda selesai !”
“Uda sadar, rasa itu terus memakasa masuk sampai sekarang ! Tanpa mau tau, hatiku sudah mulai rapuh karna kehilangan kendali selama ini. Dan parahnya lagi, rasa ini terus memaksaku, dan akhirnya merusak semuanya. Apa Uda mengerti sekarang! Aku benar-benar kecewa dengan hatiku sendiri, Sungguh aku benar-benar kecewa.”
“Maafkan Uda’ jika menyakiti hatimu”.
“Semua akan baik-baik saja”
Djogjakarta 22 Agustus 2012
Hubungan bilateral timur tengan sekarang sedang bermasalah. Terlalu banyak intervensi dari pihak asing. Dan tidak ada batasan yang jelas untuk menyelesaikan konflik daerah ini. Seharusnya badan hukum yang sudah diakui didunia, mampu untuk melindungi setiap daerah yang mulai disudutkan tanpa alasan jelas. Adanya propaganda untuk mencari keutungan satu pihak seharusnya sudah mulai diselidiki. Agar tidak terjadi kecurangan yang akan membuat konflik semakin parah. Itu Harapan Saya. Saya Zaira Ahmad. Terimakasih.
Tepuk tangan mulai menggema, Aku Zaira Ahmad terpilih sebagai mahasiswi terbaik Hubungan Internasional dengan skripsi terbaik juga difakultasku.
Hari ini Amak dan ayah datang ke jogja, Aku sudah empat tahun tidak bertemu mereka. Semenjak kejadian itu aku memutuskan untuk tidak kembali kedaerahku sendiri. Mereka pun enggan mengunjungiku karna memang selalu aku larang. Itu lebih baik sekarang. Aku rasa Uni Zanifa dengan Uda Rafdi baik-baik saja di mesir. Jadi, tidak perlu aku tanyakan kabar, atau menjawab kabar dari mereka. Dengan begitu semua akan berjalan baik-baik saja.
Amak datang mengunakan kebaya berwana putih,kebaya yang dia gunakan ketika Uda Rafdi menikahi anaknya yang lain. Ah,lagi-lagi aku masih memikirkan hal menyedihkan itu.
“Alhamdulialah, Zaira. Amak dan Ayah bangga padamu” Amak langsung memelukku dan mulai menangis. Ayah masih seperti dulu, dia lebih banyak diam. Dan sedikit tersenyum sambil mengelus kepalaku. Aku mencium tangannya sambil menangis “ Maafkan Zaira Ayah”. Ayah terus mengelus kepalaku, dan berbicara sedikit “ Ini kesalahan Ayah, Maafkan Ayah, Pulanglah nak ikut dengan kita”
Aku hanya diam,tidak menjawab apapun. Amak menatap penuh harap kepadaku. Begitu juga dengan Ayah. Aku benar-benar ingin melupakan semuanya. Tapi belum bisa, dan biarlah aku yang menanggung semua kesalahanku sekarang. Cukup kejadian besar itu menarik langkahku untuk tidak pulang. Aku mulai menarik nafas panjang lalu memberanikan diri untuk berbicara “Ijinkan aku disini, Aku tidak akan pulang! Ini pilihanku Ayah.
Tiba-tiba seseorang yang tidak pernah aku mau temui lagi semenjak empat tahun lalu datang dengan kakak kandungku sendiri. Uda Rafdi menggunakan jas hitam buatan mesir, itu sangat jelas terlihat dari modelnya. Dia sekarang semakin tinggi dan menggunakan kaca mata. Sekarang semua kejadian itu terulang lagi, seperti film documenter di dalam otakku. Aku benar-benar masih memikirkannya. Aku belum bisa melupakannya selama ini. Aku tau ! Aku salah karna perasaan ini.
Uni Zanifa dengan gamis putih polos tepat ada disampingnya sambil merangkul tangan Uda Rafdi, Kenapa harus di hari wisudaku. Aku melihatnya. Ini benar-benar menyakitkan. Uda Rafdi mulai mengajakku berbicara “Pulanglah, Zaira !”. Perkataanya masih sama seperti dulu ringkas dan tegas. Jujur Aku masih menyukai instrusksinya itu sama seperti dulu. Sungguh, aku benar-benar masih merindukannya sama seperti dulu.
“Zaira, sudah empat tahun semenjak hari kelulusan itu !, Maafkan aku terlambat menyadari semuanya”. Uni Zanifa semakin erat merangkul tangan Uda Rafdi yang gemetar menyampaikan pengakuannya barusan. Aku mulai menangis melihat ini semua, dan mendengar pengakuannya itu. Dia bilang terlambat ! “Kita bersama sudah terlalu lama. Dan Uda bilang masih terlambat. Kenapa harus Uni Zanifa, dan kenapa semuanya harus dirahasiakan dariku! Semua iu dilakukan secara sadar, dan memang sudah direncanakan tepat setelah hafalan Uda selesai !”
“Uda sadar, rasa itu terus memakasa masuk sampai sekarang ! Tanpa mau tau, hatiku sudah mulai rapuh karna kehilangan kendali selama ini. Dan parahnya lagi, rasa ini terus memaksaku, dan akhirnya merusak semuanya. Apa Uda mengerti sekarang! Aku benar-benar kecewa dengan hatiku sendiri, Sungguh aku benar-benar kecewa.”
“Maafkan Uda’ jika menyakiti hatimu”.
***
Epilog
Jakarta 12 Maret 2014
Semua terlihat biasa saja. Tidak ada yang istimewa untuk malam ini. Rezi sedang sibuk mencari jas untuk acara malam nanti di butik milik pamanya. Sedangkan aku masih sibuk melihat buku-buku baru yang aku masih anilisisis sinopsisnya. Musim hujan sudah mulai datang di awal bulan lalu. Tepat berbarengan dengan kelulusan S2 spesialis kedokteran Rezi di Aceh. “Aku sudah menemukan jas untuk akad nanti malam”. Aku mengangguk, dan tersenyum simple untuk merespon pernyataanya. Aku segera melangkah menuju loby mall tanpa berbicara sedikitpun.
Hujan, mulai terun membasahi ibukota. Mobil kami berhenti tepat di lampu merah pertama tidak jauh dari mall. Aku memandang hujan yang yang semakin deras. Banyak anak berlari-lari membawa payung dengan baju lusuh yang sudah tidak jelas warnanya. Halte itu sudah terlalu penuh dengan orang berteduh, kenapa mereka tidak berlari hujan-hujanan saja. Lagi pula itu hanya hujan air. Tidak akan melukai sedikitpun. Bantinku.
Empat tahun lalu aku menyakiti hatiku yang sebenarnya tidak sakit. Ah, aku masih bingung dengan kejadian di hari wisudaku waktu itu. Rezi tiba-tiba datang ketika aku sedang berusaha menahan tangis di depan Uda Rafdi dan Uni Zanifa. Karna emosiku yang sudah terlalu kalut. Aku juga mengusahakan menahan semuanya di depan orang tuaku. Tapi hari itu, Rezi benar-benar membuatku menangis saat itu, di depan semuanya.
“ Aku akan mengampus semua rasa itu, aku akan memaksa menghapusnya. Asal kau mau hidup bersamaku. Aku tau, aku terlambat menyadari cintaku padamu sejak dulu. Karna aku menghormati perasaanmu untuk Uda Rardi yang terlalu lama. Aku tau, kamu menyukai Uda sejak kita kecil dulu. Dan aku tau! rencana pernikahan itu akan membuatmu benar-benar kecewa. Tapi dulu, aku belum bisa berbuat apa-apa untukmu.”
“Aku tau, kau sudah menahan kisah ini terlalu lama. Tapi kau harus tau ! Aku, yang palin lama mempertanyaankan kisah ini semua."
Epilog
Jakarta 12 Maret 2014
Semua terlihat biasa saja. Tidak ada yang istimewa untuk malam ini. Rezi sedang sibuk mencari jas untuk acara malam nanti di butik milik pamanya. Sedangkan aku masih sibuk melihat buku-buku baru yang aku masih anilisisis sinopsisnya. Musim hujan sudah mulai datang di awal bulan lalu. Tepat berbarengan dengan kelulusan S2 spesialis kedokteran Rezi di Aceh. “Aku sudah menemukan jas untuk akad nanti malam”. Aku mengangguk, dan tersenyum simple untuk merespon pernyataanya. Aku segera melangkah menuju loby mall tanpa berbicara sedikitpun.
Hujan, mulai terun membasahi ibukota. Mobil kami berhenti tepat di lampu merah pertama tidak jauh dari mall. Aku memandang hujan yang yang semakin deras. Banyak anak berlari-lari membawa payung dengan baju lusuh yang sudah tidak jelas warnanya. Halte itu sudah terlalu penuh dengan orang berteduh, kenapa mereka tidak berlari hujan-hujanan saja. Lagi pula itu hanya hujan air. Tidak akan melukai sedikitpun. Bantinku.
Empat tahun lalu aku menyakiti hatiku yang sebenarnya tidak sakit. Ah, aku masih bingung dengan kejadian di hari wisudaku waktu itu. Rezi tiba-tiba datang ketika aku sedang berusaha menahan tangis di depan Uda Rafdi dan Uni Zanifa. Karna emosiku yang sudah terlalu kalut. Aku juga mengusahakan menahan semuanya di depan orang tuaku. Tapi hari itu, Rezi benar-benar membuatku menangis saat itu, di depan semuanya.
“ Aku akan mengampus semua rasa itu, aku akan memaksa menghapusnya. Asal kau mau hidup bersamaku. Aku tau, aku terlambat menyadari cintaku padamu sejak dulu. Karna aku menghormati perasaanmu untuk Uda Rardi yang terlalu lama. Aku tau, kamu menyukai Uda sejak kita kecil dulu. Dan aku tau! rencana pernikahan itu akan membuatmu benar-benar kecewa. Tapi dulu, aku belum bisa berbuat apa-apa untukmu.”
“Aku tau, kau sudah menahan kisah ini terlalu lama. Tapi kau harus tau ! Aku, yang palin lama mempertanyaankan kisah ini semua."
Aku benar-benar menangis saat itu. Dan, Hujan tidak
turun saat itu. Tidak ada lagi hujan yang bisa menyamarkan tangisanku sekarang.
"Aku akan segera melamarmu, dan tidak akan
menannyakan persaanmu kepadaku. Karna aku tau, semua ini akan berlalu. Ini
janjiku! Percayalah Zaira.”
The End….
Umi Wijaya Lau
Dershane Turki
27 Febuari 2015 pukul O4:41
Dershane Turki
27 Febuari 2015 pukul O4:41