Azalia Lee ( Part IV / Terakhir )

Rabu, 02 Maret 2016







Dave sudah berkali bolak-balik di depan ruang operasi. Wajahnya sangat gelisah. Dia tidak bisa tenang sama sekali. Hatinya benar-benar sedang tidak karuan. Semuanya menjadi satu. Antara merasa bersalah, kecewa, takut, dan perasaan yang tidak bisa dia artikan sekarang. Perasaan yang  selalu membuat dia menjadi khawatir terus menerus dengan Az. Perasaan takut, takut Az tidak sadar dalam waktu yang lama seperti di Hongkong dulu. Perasaan yang benar-benar mebuatnya menjadi lebih banyak menangis, di dalam doa sepertiga malamnya. 

“Sekarang kamu yang benar-benar ceroboh! Sampai tidak membawa obatmu Az. Kau terus saja membuatku khawatir. Benar-benar khawatir!”. Batin Dave sambil terus bolak balik di depan ruang operasi.

Nisa sudah tidak bisa berbicara apa-apa lagi setelah memakaikan jilbab Az tadi di masjid kampus . Az tiba-tiba saja jatuh dalam pelukan Nisa. Membuat Nisa menjadi sangat panik. Orang pertama yang harus dihubungi adalah Udanya. Dave harus tau tentang ini semua.

Nisa segera mengambil handphone di dalam tasnya. Lalu memanggil panggilan cepat yang langsung sampai ke Uda Dave.
“Az,, Azaliaa tidak sadarkan diri Da, Cepat bawa mobil ke masjid”. Suara Nisa sudah dipenuhi isak tangis dan kekhwatiran. 
Dia sudah tidak lagi memikirkan orang-orang yang melihatnya menangis dan berteriak memanggil nama Azalia berkali-kali. Beberapa teman yang mengenalnya pun segera menghampiri dan membantu sebisa mereka.

Mobil Dave datang, Nisa langsung berlari memeluk Dave dan menangis. Tangan Dave terlihat baru saja selesai diperban. Nisa ingin sekali bertanya, tapi dia tau Az harus segera dibawa kerumah sakit.  Beberapa teman perempuan yang ada di masjid langsung membantu Nisa membawa Az kedalam mobil.

Hampir sampai parkiran mobil, Nisa terjatuh karna tidak memperhatikan jalan. Akibatnya kepala Az hampir mengenai aspal jalan depan masjid. Dave langsung bergerak cepat mengantikan Nisa. “Biar aku saja, ini sudah terlalu urgent. Tolong lihat kaki Nisa”. Minta Dave kepada teman-teman Nisa yang tadi mengendong Az.

Dave sudah tidak lagi mengingat tangannya yang memar dan di perban karna kecelakaan tadi pagi. Kecelakaan karna meneriaki Az yang hampir tertabrak. Dia lagsung membawa Az kedalam mobil. “Maafkan aku Rabb”. 

Batin Dave setelah mengendong Az kedalam mobil. Kaki Nisa terkilir sedikit, lalu meyakinkan kepada teman-temannya kalau dia baik baik sja. Nisa langsung bangkit, melupakan juga rasa sakit di kakinya. Dan segera memaksakan jalan mengejar Udanya.

“Aku baik-baik saja, segera ke Rumah Sakit Da”. Pinta Nisa dengan isakan tangisnya yang belum berhenti sejak tadi.

***

“Aku tau semua mimpimu, aku tau semua tangisanmu Az".

 Nisa sudah menceritakannya kepadaku. Aku hanya ingin kau bisa hidup lebih tenang dengan jalan agama kita yang memang menenangkan. Itu saja.” Dave masih berbicara pada dirinya sendiri, sambil terus berdoa. Sesekali dia menatap ke pintu ruangan operasi. Berharap dokter segera keluar dan memberikan kabar baik.

“Bagaimana keadaan Azalia Dave?”

Kedatangan ummi sudah ditunggu sejak tadi. Ummi langsung berangkat dari padang ke depok. Setelah Dave memberikan kabar beberapa jam yang lalu. Wajah ummi sangat khawatir, sama seperti wajah Nisa dan Dave. Bahkan matanya lebih sembab dari mata Nisa yang bahkan belum juga berhenti menangis sejak tadi.

“Aku berharap Az akan baik-baik saja”. Jawab Dave dan langsung mencium tangan umminya. “Nisa masih menangis di masjid dari tadi Mi”. Ummi langsun mengelus kepala Dave, dan mecium keningnya. Memberikan isyarat bahwa dirinya faham apa yang terjadi lalu meminta Dave untuk duduk tenang dan terus berdoa. 

 ***
Kali ini langit senja menemaniku cukup lama. Bersama kumpulan buku-buku dan jurnal sudah memenuhi meja belajarku. Setelah ini semua selesai, aku ingin merasakan senja sendirian tanpa tumpukan apappun. Apalagi tumpukan buku.

“Assalamualaikum, Az. Sudah minum obatmu?”. Nisa sudah datang lagi dengan bawaan rahasianya.

Dua minggu yang lalu menjadi masa-masa kritis yang membuatku takut, membuat Nisa tidak berhenti menanagis. Membuat Dave menjadi tidak karuan dan tidak pernah tenang. Apalagi ummi, beliau benar-benar mengurus kami bertiga dalam satu waktu. Aku benar-benar bersyukur masih bisa hidup. Masih bisa bernafas dan melihat semua senyuman mereka kembali. Aku berjanji aku memperbaiki semua kebodohanku selama ini.
            
    “Walaikumsalam, sudah. Kamu bawa apa lagi Nis?”
            
    Nisa lalu meletakan bingkisan itu di atas kasurku, dia tersenyum dan menatapku serius sekali. “Kau mau mengajakku diskusi apalagi”. Aku langsung menyidirnya. Setidaknya agar tatapap seriusnya berubah, agar aku segera tau maksud tujuan pemberian bingkisannya.
               
 “Kamu kapan sidang?” Nisa langsung mengganti topik pembicaran.

  “Tergantung, Abangmu Nis”. Jawabku singkat, lalu memulai mengetik skirpsiku kembali.

” Kalau Dave bisa menerima kesimpulan akhirku. Besok aku akan langsung daftar sidang”.
              
  Nisa sudah selesai sidang sebelum aku pinsan di masjid beberapa waktu yang lalu. Dua Minggu kemarin sebenarnya masa-masa revisinya. Tapi, karna dia menangis terus dirumah sakit. Dan hampir 24 jam menemaniku pasca operasi. Alhasil dia baru memulai revisinya lagi sekarang.

                “Kamu harus tanggung jawab dengan tangisanku yang berhari-hari itu”. Nisa sudah memulai lagi sikap anehnya sekarang.

                “Apa yang harus aku lakukan”. Aku menjawab asal sambil terus fokus mengetik. 

“Menikahlah dengan Uda Dave Az, aku janji akan terus bahagia setelah itu.”
                
 Langit sepertinya belum runtuh, senja juga belum berakhir. Seperti adzan magrib yang akan menjadi saksi permintaan Nisa barusan. Tapi, apa telingaku yang salah pendengaran. Sepertinya aku salah merespon Nisa barusan.  Atau Nisa yang sedang merespon berlebihan tawaranku.

                Andai saja ada recorder aku akan rekam permintaan aneh Nisa barusan. Aku akan berikan ke Dave pasti dia akan tertawa terbahak-bahak. Bahagia melihat kelucuan adiknya.

Aku menatap Nisa lama, berhenti mengetik. Aku harus meyakinkan apa yang dia katakan barusan. Sepertinya jaringan otak Nisa sedang bermasalah akibat kebanyakan menangis. Aku berharap ini sekedar candaan. Kalau memang keseriusan, aku belum berfikir untuk kearah sana.

                “Apa Nis ?” Tanyaku lagi meyakinkannya. 

                “Tadi kamu yang menawarkan harus melakukan apa untuk mengganti tangisanku selama kau sakit. Dan, aku mau kamu menikah dengan Uda” Nisa menjawabku serius sekali. Tidak terlihat dia sedang bercanda. Tapi apa penyebabnya. Aku bahkan hampir sesak nafas lagi ketika dia menyampaikan permintaanya lagi barusan. Sesak nafas ini bukan karna operasi paru-paru stadium satu kemairn. Tapi ada hal-hal lain yang harus dave sendiri yang menjelaskan kepadaku. Makhluk serius seperti dia tidak mungkin memainkan perasaan untuk menjalin hubungan yang serius kan?

                “Tidak semudah itu Nis”. Aku menjawabnya langsung dengan penuh keyakinan. “Aku akan fokus dengan banyak hal, termasuk soal ibadah-ibadah yang baru aku pelajari. Kamu berjanji untuk mengajariku loh Nis!”. Aku mulai mengingatkannya lagi.

                “Kalau kamu menikah sama Uda, dia akan mengajarimu banyak hal soal ibadah Az”. Nisa mengarah ketopik pernikahan lagi.

                Aku segera mengambil majalah fakultas yang baru saja terbit. Dan memberikannya kepada Nisa. Sebenarnya Dave sudah masuk list laki-laki popular di kampus. Sampai menjadi tranding topic terus menerus di salah satu rubrik idola di tabloid ini. Menjadi harapan banyak orang diluar sana. Termasuk harapan untuk dijadikan imam pilihan. Aku rasa Nisa suda lebih faham soal itu.

 “Dave itu hafidz, lah aku ? Karya tulisnya baru saja diangkan ke media internasional. Sedangkan skripsiku aja belum selesai. Aku mulai mengetik lagi sambil menyampaikan realitas yang ada.
Promosi dokternya juga gak akan lama lagi, Kalau sidang tesisnya disegerakan dalam tahun ini.  “Aku tau semuanya Az. Makanya aku maunya Uda sama kamu!”

”Gak semudah itu, aku ngaji sama shalat aja masih belajar Nis.Gimana mau nikah?”. Lagipula  banyak pilihan lain yang lebih tepat untuk Dave. Apalagi untuk dijadikin istri. Teman dakwahmu juga sepertinya banyak yang menagumi Dave”. 

Nisa terlihat cemberut mendengar jawaban santaiku. Aku malas membahas soal ini. Lagipula ini permintaan hanya karna kesalahan responku barusan. Bukan karna hal lain. Jadi tidak terlalu serius.

Shalat magrib yuk. Siapa tau setelah shalat aku mendapat hidayah untuk menerima tawaranmu. Candaku menggoda Nisa.

***
                Sejauh apapun kamu pergi, kalau kamu jodohku. Kita akan bertemu lagi.

Barusan Nisa menjelaskan tentang shalat tahajud, salah satu shalat sunnah yang membuat malam menjadi menangis haru. Membuat langit berbisik rindu, dan tentunya membuat cinta bersujud tanpa nafsu. Lagi-lagi bahasa cinta Nisa keluarkan lagi. Tidak ada habisnya dia merajuk memintaku menermima lamaran Dave. Padahal, Davenya saja tidak pernah bicara masalah aneh itu. Jangankan bahasan lamaran, soal kesimpulan skripsi yang aku buat saja dia tidak respon. Apalagi untuk yang lain.
“Awal bulan aku sidang, jangan bahas soal cinta lagi Nis!”

Nisa langsung mencubit pipiku. “Aku tidak membahas cinta, aku hanya membahas jodoh Az”. Aku langsung mendengus sebal. Sama saja, mau cinta mau jodoh. Ujung pembicaraannya adalah pernikahan. “Aku sudah memesan tiket ke Hongkong, besok pagi aku berangkat”. 

“APA ?” Wajah ceria Nisa tiba-tiba langsung berubah menjadi wajah penuh ketidakpercayaan. 
“Sebelum sidang, aku perlu beberapa data penting dari Hongkong”.

 Nisa langsung cemberut kesal, mungkin dia marah karna aku tidak cerita terlebih dahulu. Sebenarnya aku sengaja, biar bisa ke Hongkong sendiri. Lagi pula dia harus menyiapkan acara pernikahannya. Kasian Ummi kalau harus mengerjakannya tanpa sang calon pengantin.

“Minta tolong Buya kirim data-data itu langsung dari Hongkong. Bisa kan?”

Nis, aku gak lama kok. Setelah dapat, aku langsung balik dan membantu acara pernikahanmu. Aku mencoba meyakinkannya. “Dari Hongkong, aku langsung ke Padang sama Buya”. Aku tau Nisa sedang menunggu jawabanku untuk permintaanya. Permintaan untuk menerima lamaran Dave. Jujur saja, aku sedang ingin fokus mengejar semua keterlambatanku. Apalagi soal agama, belum lagi urusan pendidikanku. Sidang sudah di depan mata. 

Dave sudah menyelesaikan tugasnya sebagai pengganti pembimbing skripsi kemarin. Tepat ketika aku mendaftar sidang. “Terimakasih banyak untuk semuanya Dave”.

 Sebatas ucapan terimakasih dan hadiah kecil yang bisa aku berikan untuknya. Dave tidak menjawabku, dia tetap diam. Sekedar menjawab sama-sama saja sepertinya dia terlihat sulit sekali. Tapi itu tidak masalah lahi. Aku tidak akan berfikir dia kejam lagi sekarang. Dulu aku salah, sangat salah dan bodoh. Sampai-sampai harus berfikir buruk untuk semua kebaikan Dave kepadaku.

“Sekali lagi terimakasih. Assalamualaikum, ”. 

Aku menunduk dan langsung pergi meninggalkan Dave. Biarlah angin menundukan pandangan kami mulai sekarang. Menundukan semua perasaanku yang sedang aku mulai tata secara perlahan. Aku tidak akan membantah lagi sekarang. Tidak akan marah,terserah Dave mau menjawab atau tidak. 
“Walaikumsalam, sama-sama Az. Jaga kesehatanmu”.

Aku semakin percaya sekarang, selama ini yang dikatakan Nisa adalah benar. “Dave sangat memperdulikanmu Az, dia yang paling khawatir, tidak peduli dia sakit, atau terluka”. Jika semua mozaik dari awal aku rangkai, mungkin air mataku akan habis hanya karna menangisi semua kebaikan tulusnya selama ini.

***

“Jangan bilang kau ingin lari dari permintaanku Az”. 

Selidik Nisa yang lengsung membuyarkan lamunanku.

 “Apa Uda tidak pernah membahas soal perasaanya kepadamu?”. Aku langsung menyeringai mendengar pertanyaan anehnya lagi.

 “Apa kau mencintai Bang Fatah Nis?” mengalihkan topic lebih baik sepertiya.
“Az, kau selalu mengalihkan pembicaraan!”. Aku tersenyum menatapnya, tatapan ini sebenarnya sudah cukup membuat Nisa mengerti kalau aku tidak ingin membahas soal Dave. 

“Baiklah, kita akan ganti pembicaraan, walaupun satu tema”.

Aku tergelitik mendengar jawabanya, satu tema. Benar juga. “Aku belum mencintai Bang Fattah, tapi jujur aku mengagumi akhlaknya Az. Cintaku hanya untuk suamiku nanti, setelah Bang Fattah melakukan ijab qobul dengan Buya. Dan dia menjadi suamiku, baru aku mencintainya.

Keningku langsung berkerut mendengar jawaban Nisa. “Bagaimana bisa kau tidak mencintainya, tapi yakin menjadikan suami?” Tanyaku langsung tanpa ampun. Realistis sedikitlah agar aku faham tentang ini.

Nisa langsung tertawa mendengar pertanyaanku yang panjang itu. “Sepertinya kau sudah mulai tertarik dengan pernikahan?”. Aku langsung membuang muka, mendengar responnya.

Ingat perkataanku dulu, kalau perasaan punya hak untuk didengarkan. Kalau dia layak untuk diterima, hatimu yang suci itu pasti akan menuntun untuk meniyakan. Tapi kalau tidak layak, hatimu juga yang akan menolak. Setidaknya shalat tahajud yang tadi kita bahas bisa menjadi salah satu sarana yang membantu hati untuk mengiyakan atau menolak.

“Jadi sejauh apapun kamu pergi, kalau Uda Dave jodohmu. Pasti akan ketemu lagi”. Hahhaahha

Akhir penjelasan yang kurang menyenangkan. Lemparan guling sepertinya cukup membalas kejailannya yang selalu membahas Dave dalam setiap pembahasan.

***
Hongkong, Victoria Harbour 2016

                Bukankah semua orang seharusnya percaya, bahwa bumi adalah makhluk yang memiliki hak untuk didengarkan. Sama seperti hal yang lainnya, mereka memiliki hak yang sama untuk didengarkan. “Termasuk perasaan, dia harus benar-benar didengarkan”. Dengarkan hatimu, kalau dia layak diterima. Hatimu akan menutun. Kalau tidak ,pasti akan langsung tetolak. Nisa, ternyata kata-kata ini sudah menjadi trending topik dalam pikiranku sekarang. Pasti kalau kau tau, kau akan bahagia sekali sekarang.

                “Assalamualaikum, Buya. Ini Az, Az masih dipelabuhan, setelah ke makam Ayah. Aku nanti langsung ke kantor insyAllah”. 

Kapal Feri yang aku tumpangi sedikit terlambat dari jadwal keberangkatan. Menatap laut bukan jadi solusi yang efektif untuk menghilangkan kecemasan ini. Trauma bukan main melewati laut Hongkong. Melihat empat puluh pencakar langit. Dan mengingat symphony of the light membuat aku sulit bernafas. Kebakaran kapal beberapa tahun lalu. Masih terbayang jelas. 

Setelah menelfon Buya barusan. Kenangan tentang Ayah semakin menyeruak langsung kedalam pikiranku. Kecemasanku sudah menjadi-jadi sekarang. Semaki dekat dengan pemakaman Ayah dan Amak. Semakin parah rasa kecemasanku. Untuk mengambil keputusan  berangkat ke Hongkong saja itu seperti anatara hidup dan mati. Tapi ini memang prosesnya. Aku tidak akan kalah dengan ketakutatan.

Jujur memang sesak sekali rasanya Rabb. Jangan biarkan aku menangis di atas makam mereka. Aku melangkah perlahan memasuki pemakaman besar chines di tanah Kowloon. Tasbih dan shalawat tidak henti-hentinya aku ucapkan. Walaupun pengucapan tasbis dan shalawatku masih buruk. Pengucapan hurufnya belum jelas. Aku berusaha ini tidak mengusik kekhusyuanku untuk mendoakan Ayah dan Amak. 

Assalamualaikum Ayah, Amak. Az selau berharap makam ini menjadi taman-taman surga untuk Ayah dan Amak. Maaf karna Az terlambat menyadari mimpi menyakitkan itu. Betapa bodohnya Az, kalau Ayah sudah sangat rindu doa-doa dari Az. Az sudah shalat sekarang, sama seperti Ayah. Tadi teman Ayah dipelabuhan bilang, kalau Ayah sudah shalat dan sering menjadi imam shalat jum’at semenjak kembali ke Hongkong.

Terimakasih sudah menjadi Ayah yang baik untuk Az. Untuk Amak, terimakasih sudah menjadi bidadri yang paling sabar selama mengurusi Az dan Ayah. Az ingin sekali memangis dan memeluk Ayah lagi. Meneluk Amak. Tapi Az sudah berjanji, tidak akan menangis lagi.

Besok Az akan langsng kembali ke Indonesia. Sebentar lagi Az akan sidang. Nisa akan menikah dengan Bang Fattah. Sahabat baiknya Dave. Ummi Aisyah sehat dan sayang sekali dengan Az. Ummi sangat senang menceritakan kisah Amak dan Ummi dulu waktu belajar di pondok dan dikampus. Buya juga baik sama seperti Ayah.

 “Nisa meminta Az untuk menerima lamaran Dave, padahal Dave tidak mengatakan appaun. Lagi pula Az masih perlu belajar banyak. Membedakan kasroh sama fathah saja Az masih sulit. Sedangkan Dave seorang hafidz sejak Amak mengajak Az dulu kerumahnya pertama kali”.

Oh ya, Buya sudah menunggu di kantor. Sesering mungkin Az akan datang ke Hongkong. Mengunjungi makam ini. InsyAllah, Setidaknya doa Az akan selalu  sampai. Az usahakan sampai hembusan nafas terakhir yang Az milikki.

***

Konsulat Jendral RI Hongkong
127-129 Leighton Road, 6-8 Keswick Street , Causeway Bay Hongkong

Kantor Buya ternyata tidak banyak berubah. Semenjak kejadian itu, semuanya masih sama. “Assalamualaikum, Azalia. Sehatkah kamu ?” Mata Buya langsung berkaca-kaca melihat kedatanganku. Sepertinya beliau benar-benar terharu dengan semua perubahan dalam diriku sekarang. “MasyAllah, ini gamismu ummi kah yang memilihkannya ?”.

“Walaikumsalam Buya, aku langsung mencium tangannya. Rindu sekali mencium tangan Buya. Bertemu Buya dan berbicara banyak hal bersama Buya. “Iyah, semuanya Ummi dan Nisa yang pilihkan”. Buya tersentum penuh arti mendengar jawabanku. Beliau langsung mempersilahkan aku duduk di kursi yang sama. Kursi yang mengingatkan tentang kebakaran kapal, meninggalnya Ayah dan Amak.

“Apa kabar Dave, Az ?” Pertanyaan Buya langsung menabah kecemasanku yang belum hilang. Entah kenapa atmosfer Hongkong menjadi menyeramkan seperti ini.

 “Buya dengar, Dave mau menikah”. Aku hanya tersenyum sedikit menjawab pertanyaan Buya. Semoga hatiku tidak sakit kalau nanti Dave menikah dengan orang lain. Sepertinya, aku mulai faham tentang perasanku sekarang. Ketika aku menjauh, baru aku faham. Terlambat lagi. Batinku mendengus kesal.

            “Dave meminta Buya untuk melamarkanmu Az, ini lucu sekali bukan. Tapi ini serius Az”.

Deg, Ini Buya kan yang bicara, Buya tidak mungkin bercanda seperti Nisa.

 “Ummi barusan telfon, Nissa dan Dave sudah di sampai Padang. Kamu tau Az, Dave itu yang paling khawatir waktu kejadian di rumah sakit waktu kamu pinsan di kantor ini. Dave juga yang meminta untuk memulangkan kalian bertiga ke Indonesia setelah itu. Agar bisa saling menjaga dan mengawasi”.

 Seakan-akan langit mau runtuh. Hatiku bergetar buka main. 

            “Dave belajar giat sekali selama ini, dia selalu bercerita agar bisa jadi asisten pembimbing untuk skripsimu.  Dan ternyata Allah mengabulkannya. Alhamdulilah. Dan kau tau ? Tiap malam dia menelfon Buya karna khawatir dengan semua yang terjadi kepadamu. Apalagi semenjak mimpi-mimpi Ayahmu datang. Nisa tidak henti-hentinya menangis menceritakannya kepada kami semua. Dave paling strees saat itu”.

 Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Selain menunduk dengan perasaan yang campur aduk.
        
 Ada cerita yang sangat lucu dan ini sangat penting untuk kamu dengarkan. Ini bisa menjadi bahan pertimbanganmu untuk menjawab niat baik Dave. “Kamu ingat waktu kamu berumur empat belas tahun ?” Aku langsung mengangguk dan menatap serius pembicaraan Buya. Itu hari pertamaku berumur empat belas tahun dan Amak mengajjakku kerumah Ummi dan Buya. Dan pertama kali bertemu dengan Dave.

Ketika itu kamu mendengarkan hafalan Dave bukan ?. Aku mengangguk sekali lagi. Aku ingat kejadian itu ketika Dave menegurku karna, belum bisa mengaji. 

Dave bercerita semangat sekali waktu Buya baru pulang dari kantor. Dave bilang, kalau tadi ada perempuan chines anak dari sahabatnya ummi yang mendengarkan hafalannya. Maniisss sekaliii, kalah semua jenis gula yang ada di ranah padang. Aku langsung tertawa mendengar cerita Buya yang satu ini. Dave bukan orang yang suka memuji selama di kampus. Buya tidak akang bohong. Lagipula, aku mamng manis. Hehhee

 “Tapi dia belum bisa ngaji. Nanti kalau Dave sudah pintar dan menjadi hafidz seperti Buya. Azalia akan Dave jadikan istri dan Dave ajarkan mengaji. Buya maukan nanti melamarkannya untuk Dave. Dave tidak akan berani menyampaikannya sendiri”. Ayah mengakhiri ceritanya sambil tertawa senang sekali. Aku juga ikut tertawa. Dulu Dave lucu sekali. Kini perasaanku sudah berwarna-warni. Melukis pelangi, mencari bukti, meyakinkan hati. Buyapun sudah menanti.

“Jadi kamu mau menerimanya Az?”.

“Aku senang mendengar cerita Buya, tapi itukan dulu. Sudah lama sekali. Dave tidak pernah menyampaikannya langsung Buya. Az terlalu buruk jika disandingnkan dngan Dave.” Aku berusaha menjawab setenang mungkin.

“Loh, dikampus kurang apalagi Az. Dia tidak pernah pacaran, berusaha menjadi asisten pembimbing. Rela tanganya memar terserempet mobil karna meneriakimu yang melamun di tengah jalan. Jilbab yang kamu pakaipun itu pilhan Dave. Buya tau semuanya Az. Jika saja Dave punya Sembilan nyawa. Tujuh nyawanya akan diberikan kepadamu, satunya untuk Ummi, dan satunya nyawa lagi untuk Nisa. Itu permisalan pengorbanan Dave untukmu. Sekarang semuanya menjadi keputusanmu.

Kami sebagai orangtua tidak akan memaksa. Permintaan kami hanay melihat kalian bahagia. Walupun dulu amak dan ayahmu tidak pernah membahas perjodohan kalian berdu. Tapi Buya yakin, Amakmu juga mengharapkan hal yang sama.

            Ini voice note dari Dave tadi pagi, kamu harus dengar Az “Buya, kalau nanti Azalia mengiyakan niat baikku. Bisakah besok akad pernikahan disamakan waktunya dengan akad Nisa dan Fattah. InsyAllah mereka tidak menolak”.


            ***
Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Padang. 2016

Latar warna merah dan keemasan sudah mewarnai semua sudut ruagan. Acara pernikahan Nisa dan Bang Fattah dilaksanakan sederhana di belakang rumah Ummi dan Buya. Halaman rumah dikonsep menjadi tempat resepsi dan akad yang langsung berhadapan dengan Danau maninjau. Pernak-pernik pernikahan adat padang benar-benar ramai mempercantik suasana pernikahan barakah ini.
Aku dan Nisa berada di dalam kamar, aku harus menemani calon pengantin shalihah ini. Setidaknya menjadi tempat luapan pelukan ketika nanti semua orang bilang. “Sah”. “Kamu menolak lamaran Dave ya Az”. 

“Hush, pengantin gak boleh banyak bicara. Nnati ijab qabulnya gak kedengaran”. Nisa langsung mencubit pipiku. “Jendela kamarnya  bisa dibuka, kita bisa melihat sedikit dari jendela”. Nisa langsung berdiri, sedikit mengangkat gaun putih syar’inya dan membuka jendela sedikit.

“Cepat ganti gaunmu Az!”. Nisa langsung menarik tanganku. “Aku tau, Setelah Bang Fattah akad, Uda Dave juga akan ijab Qobul” Aku tersenyum mendengar ucapan Nisa, dari mana dia tau aku menerima lamaran Dave. Bukannya Buya janji mau rahasiakan. “Uda itu langsung meluk aku sama Ummi, setelah Buya ngasih kabar dari Hongkong”.

“Aku pura-pura aja, biar kamu seneng”. Dasaaar Nisaa.. aku langsung melemparinya dengan semua bantal pengantin yang ada di kamar. 

“Kamarmu juga sudah dihias, kamu gak mau liat?”.  Aku diam dan memintanya fokus mendegarkan.

“Sah… Bagaimana para saksi ?”. Sah.. Sah.. Alhamdulilah. 

Bang Fattah resmi menjadi suami Nisa. Dan sudah layak untuk dicintai Nisa, karna memang sudah menjadi suami. Sekarang giliran Dave, jika dia benar-benar menjadi suamiku. Dia harus tanggung jawab dengan semua ibadahku yang masih buruk seperti ini.

 “Saya terima nikahnya Azalia Lee Bin Ahmad Alan Lee dengan mas kawin tersebut tunai. Sah. Bagaimana saksi. Sah. Alhamdulilah. Aku dan Nisa langsung bersujud syukur dan memeluk ummi. Menangis tiada henti.

 Terimakasih Dave sudah mengejar tanpa menggangu, mendoakan dalam diam. Melindungi dari jauh. Membantu tanpa menuntut. Terimakasih Nisa sudah mejadi embun yang sejuk. Terimakasih Ayah untuk pelajaran menjemput kesadaran. Terimakasih Amak sudah mengajarkan memperkuat kesabaran. Termakasih Buya dan Ummi sudah mengajarakan kepedulian dan kepekaan.

 The Ende :)
 -----------------------------------------------------------

Terimakasih banyak untuk para pembaca, semoga terkesan dengan tulisan yang masih banyak kekurangan ini. Ditunggu tulisan lainnya, bagi yang suka dengan tulisan ini ditunngu komentarnya di : #SalamRindu (Azalia Lee )

Blog : http://umiwijaya.blogspot.co.id/
Facebook : https://web.facebook.com/umi.w.lau
Instagram : https://www.instagram.com/umi_wijayalau/

Azalia Lee ( Part III )

Selasa, 01 Maret 2016











Teruslah hidup, setidaknya hidup untuk mendoakan Ayah dan Amakmu


Semuanya masih berbayang, tidak ada yang bisa aku lihat sama sekali. Selain warna putih dan sedikit cahaya di ruangan yang tidak aku kenal. Aku sudah tidak ingin hidup. Biarkan aku ikut Ayah dan Amak. Nafasku sangat sesak, sesak sekali. Aku tidak bisa lagi mengingat wajah Ayah sekarang, apalagi wajah Amak. Ini benar-benar menyakitkan. Ada apa dengan system ingatanku sekarang. Aku ingin ikut mereka, bukan melupakannya.
“Semua keluarga di Padang sudah dihubungi, mereka menolak mengurus Azalia. Mereka bilang sudah memutus hubungan keluarga sejak lama”. Begitupun keluarga Ayahnya, mereka meberikan penjelasan yang sama”. Aku mendengar penjelasan menyakitkan itu samar-samar. Sakit sekali ditolak oleh dua keluarga orang tuaku sendiri. Apa yang salah dengan diriku ?
“Bagaimana bisa mereka bersikap seperti itu?”. Teriak seorang laki-laki yang suaranya mulai tidak asing di telinga.
“Buya tenang yah, sudah masuk adzan isya sekarang kita jamaah shalat dulu”. Aku juga mengenal suara ini. Mataku masih sulit terbuka, aku ingin melihat mereka shalat berjamaah. Walaupun aku tidak pernah shalat, aku senang melihat orang shalat.
Waktu kecil aku dan Ayah sering melihat Amak Shalat sendirian. Dan kami diam membaca buku sambil terus memperhatikan. Setelah Amak shalat, pasti Amak selalu menangis melihatku. Dan menatap Ayah dengan kelu. Ayah sangat benci melihat tangisan, aku rasa itu awal kenapa Ayah benci melihat orang menangis.
Lalu Amak mencium tangan Ayah, mencium keningku. Dan membuatkan kami makanan. Kalau Amak dalam sehari shalat lima kali, lima kali dia memangis. Lima kali menatap Ayah dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan. Dan lima kali juga mencium keningku bercampur air mata. Aku senang dan juga sedih. Semuanya menjadi satu, aku tidak megerti apa-apa sampai sekarang.
***
Bau obat benar-benar menyengat hidungku. Sepertinya aku tidur lama sekali. Mataku masih sulit terbuka, semua tubuhku mati rasa. Aku hanya bisa sedikit mendengar suara orang dengan samar-samar. Terkadang semuanya sunyi, gelap. Dan membuatku sesak nafas.
“Azalia, aku akan mengaji. Kamu tau mengaji ?”. Apakah ada orang yang mengajakku berbicara setelah sekian lama. Siapa dia, aku tidak mengenal suaranya, dia seperti seumuranku. Tapi suaranya sedikit asing dengan pendengaranku.
( Al – Mulk )
Apa yang dia bacakan, kenapa membuatku sedih sekali. Apakah itu bahasa arab, seperti yang sering Amak baca setelah shalat. Aku tidak mengetahui artinya, tidak faham sekali.
“Ini surat Al-Mulk, tentang kekuasaan Allah, tentang kerajaan Allah, tentang semua yang kamu lihat di Dunia. Dia Tuhan kita yang Maha Esa”. Bukannya dulu, kau pernah mendengarkan hafalanku ?”. Dia menjawab pertanyaanku dengan nada yang sangat kelu, siapa dia, apa dia bisa mendengarku. Kenapa dia begitu sedih. “Mendengarkan hafalanya?” aku tidak ingat apa-apa.
“Azalia kamu harus segera kembali dan hidup bersama kami. Bangunlah, doakan Ayah dan Amakmu secepatnya”. Dia mengajakku berbicara lagi dan sepertinya kini dia sedag menahan tangis.
“Uda, ditunggu Ummi untuk makan. Uda sudah setengah hari ngaji disini dan belum makan sama sekali”. Suara perempuan seumuranku itu memanggilnya Uda, berarti mereka bersaudara. Siapa mereka sebenarnya, kenapa mereka menemaniku sekarang. Kenapa, aku tidak bisa melihat mereka.
 “Kamu juga setengah hari nemenin Uda disini”
Aku sudah makan berkali kali ketika Uda ngaji dari tadi pagi, Uda setiap digantiin ngaji dari tadi pagi gak pernah mau. Sekarang Uda makan bareng ummi sama buya. Biar Nisa yang ngaji. Kekhwatiran kita akan semakin bertambah kalau tiba-tiba Uda ikutan sakit. Azalia akan segera sadar, sebentar lagi InsyAllah. Nisa, namanya Nisa. Dia juga yang menemaniku dan kini memanggil namaku.
Tiba-tiba belaian lembut datang mengusap kepalaku.  Aku mendengar isakan tangis yang tertahan. Sepertinya Nisa sedang menangis dihadapanku sekarang. Kenapa ia begitu sedih, apakah aku terlihat sangat menyedihkan sekarang. Jangan menangis di depanku Nisa. Aku mohon. Aku sangat membenci tangisan.
“Aku Nisa Az, Kamu adikku sekarang. Sudah terlalu lama kamu tidak sadarkan diri. Kami semua khawatir, cepatlah sadar Az. Tangisan Nisa sudah terdengar jelas sekali sekarang. Kini tanganku sudah digengam erat olehnya. Aku ingin sekali membalas gengamannya. Tapi aku tidak bisa apa-apa sekarang.
Semua tubuhku mati rasa Tuhan,  penglihatanku hanya sekilas cahaya dan satu warna putih. Hanya pendengaranku saja yang bisa mendengar mereka Tuhan,,, Jika memang kesedihan mereka benar-benar tulus untuk mengharapkan kehidupanku lagi. Ijinkan aku sadar Tuhan, ijinkan,, Aku mohon kepada-Mu. Sudah lama sekali, bukankah sudah lama sekali aku tidak memohon kepada-Mu.
“Az, kami semua menyayangimu, benar –benar menyangimu”.Tiba-tiba Nisa membisikan kalimat itu ke telinga kananku.Walaupun Bisikan, perkataan itu sangat jelas, suara isakannyapun ikut terdengar.
“Tuhan, ijinkan aku kembali”
***
Hembusan angin pagi menerpa wajahku dengan lembut. Tetesan embun masih banyak terlihat di pinggiran jalan yang penuh dengan rumput. Sepertinya rumput-rumput itu bahagia, memiliki sahabat yang selalu menyejukan seperti embun. Andai saja, Nisa sahabatku itu tidak menyejukan setiap kali berbicara. Aku tidak akan mau memikirkan apa yang dia bilang tadi di masjid kampus.
Aku tidak pernah berniat untuk menyakiti siapapun apalagi membunuh orang-orang yang sangat penting dalam hidupku. Buya dan Ummi bukan orang asing yang tidak aku pedulikan, aku hanya tidak ingin memperlihatkan kesedihanku. Sudah itu saja, tidak ada alasan lain. Tapi, kenapa Nisa menuntutku untuk menangis di depannya, bukannya dia sudah puas melihatku menangis ketika bermimpi tentang Ayah sebulan terakhir.
“Az, ayo shalat bersama”. Tiba-tiba sekilas bisikan suara Amak datang kedalam ingatanku. Menyayat telingaku, membuat telinga menjadi bising sekali. Aku hampir terjatuh dari sepeda, mendengar suara Amak yang seakan-akan ada di hadapanku sekarang.
 “Ayah tidak pernah memintaku shalat Mak!”. Aku terlihat tidak memperdulikan ajakannya. “Ayah juga tidak melarangmu untuk shalat kan!”. Lalu Amak terlihat menarikku untuk berwudhu.
Arrgghhhh… kenapa semua pandanganku menjadi film dokumenter seperti ini. Ada apa dengan pikirankku dan pendengaranku sekarang. Aku benar-benar membenci ini semua.
“AZALIA, AWAAS….” Teriakan Dave mengagetkan membuat diriku hampir kehilangan keseimbangan bersepeda untuk kedua kalinya. Aku langsung menepi ke pinggir, dan segera menengok ke belakang  berniat memaki Dave yang membuatku kaget dan hampir terjatuh.
“DAVEEE….” Astaga, dia sedang meringis menahan kesakitan di pinggir jalan, dirinya terserempet mobil. Beberepa mahasiswa yang sedang olahragapun  kini sudah mengelilinya. Aku langsung mnejatuhkan sepeda, berlari masuk kekerumunan mahasiswa yang sedang bersimpati pada Dave. Ah, kejadian ini membuatku panik seketika. Bersyukur aku tidak punya penyakit jantung.
“Daveee,, kau baik-baik saja kan ”?. Aku segera memberikannya air minum. Lalu meberikan sapu tangan untuk mebersihkan luka yang cukup parah dipergelangan tanganya. Ishh, kenapa calon master seperti dia harus ceroboh hingga terserempet mobil seperti ini.
“Kenapa kau melamun sih, Dave ? Tegurku langsung tanpa ampun.
“Kau yang melamun, kenapa kau bisa ada jalur mobil, padahal jalur sepeda sudah jelas tandanya!”. Jawab Dave galak sambil menatap tajam kepadaku.
“A..Aku ?”. Jawabku terbata-bata. Bingung menjelaskan kepada Dave tentang bisikan Amak dan kenangan itu yang tiba-tiba muncul. Tapi, aku benar-benar tidak sadar bisa salah jalur jalan. Apalagi masuk ke jalur mobil segala.
“Aku sudah meneriakimu dari halte sebrang jalan, dan kau tidak mendengarkanku. Atau memang sengaja mengabaikanku?” Sekarang dia bertanya penuh kecurigaan. “ Kamu tau, aku langsung berlari dari halte, melihat dirimu hampir tetabrak tadi!”.
“Kau mau tidak sadarkan diri lagi seperti dulu, membuat kami semua khawatir Az!”. Bentak Dave tiba-tiba kepadaku.
“Kenapa kau harus semarah itu sih!”. Jawabku tidak mau kalah.
Dave langsung bangkit, membawa sepedaku dengan tanganya yang terluka. “Kau, balik lagi sekarang. Temui Nisa, sepeda aku sita sampai kau sadar!”.
Dave segera berlalu mengambil arah jalan berlawanan. Terlihat sekali, dia masih menahan sakit di tangganya. Kenapa dia harus ingat kejadian tiga tahun lalu. Itu sudah lama sekali. Dan tidak baik untuk diingat. Lagipula  Aku memang salah, nanti aku akan minta maaf. Setidaknya, tidak perlu marah atau membentakku seperti tadi. Apalagi di depan umum. Kenapa dia harus menjadi pemarah seperti itu.
***
                Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Padang. 2008
                Butuh satu jam perjalanan dari bukit tinggi untuk sampai ketempat ini. Ada sekita empat puluh empat kelokan jalan yang benar-benar memanjakan mata dan sedikit menguji nyali. Tidak Cuma langit dan danau maninjau saja yang seakana terlihat menjadi satu. Semua kerinduan yang tetahan lama, kini sudah tinggal menunggu waktu saja untuk menjadi satu seperti dulu.
                “Assalamualaikum, Hafifah kah ini ? Pandangan kerinduan yang tersimpan lama  itupun terbayar sekarang.
                “Walaikumsalam, Uni Aisyah baa kaba ( apa kabar kak) wak taragak bana samo uni ( rindu sekali kepadamu Kak )?
                Alhamdulilah lai lah sehat, uni iyo lo ( sama kaka juga rindu )”. Pelukan langsung datang kepada kami yang sepertinya sudah ditunggu sejak lama.
                “Ini putriku, Azalia namanya. Namanya sengaja aku ambil dari nama belakangmu uni”.
                Mereka berpelukan sangat lama, Amak terlihat hampir menangis begitupun dengan perempuan yang baru pertama kali aku temui ini. Kami langsung diajak masuk kedalam rumah gadang yang besar ini.
                “Azalia, umurmu berapa sayang?” Beliau menatapku dengan manis, tatapannya sangat teduh.
                “Empat belas tahun ”. Jawabku sambil menunduk, waktu itu aku sangat pemalu untuk berbicara dengan orang baru.
                “Panggil saja ummi, aku juga amakmu” beliau langsung mengusap kepalaku sambil tersenyum.
                Aku mengangguk menjawab permintaan beliau. Lalu Amak langsung mengijinkan aku untuk bermain ke halaman belakang rumah ini. Benar saja, danau maninjau menjadi pandangan paling pertama ketika aku berlari keluar.
***
Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada penciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang , adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang ?.
Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatan itupun dalam keadaan payah.
Dia langsung menatapku, sedikit kaget mungkin. Karena, tiba-tiba aku muncul dari belakang rumahnya. Lalu dia tersenyum sedikit dan melanjutkan hafalannya. Sedangkan, aku masih diam melihat dia menghafal di depan danau. Apa yang dia hafal sebenarnya. Aku tidak berani melangkah mendekati, apalagi untuk mengajak berbiacara.
“Hei,, kesini, tolong dengarkan hafalanku”. Dia memanggilku untuk pertama kalinya.
“Cepatlah, aku besok harus ujian tahfidz!”. Dia memanggilku lagi. Aku berjalan menunduk kearahnya. Lalu mengambil buku yang dia berikan.
“Hah, huruf apa ini?”. Aku kaget ketika melihat buku yang diberikannya. Aku pernah melihatnya dirumah, dan kadang Amak membacanya setelah shalat. Tapi aku tidak pernah tertarik untuk tau tentang buku itu.
“Ini huruf arab, kamu gak pernah ngaji ya?”. Keningku langsung berkerut mendengar pertanyaannya.
“Enggak, jawabku singkat sambil menatap danau.
“Loh, kata Ummi, tamu yang datang hari ini. Sahabat baiknya di pesantrenya dulu. Kamu Azalia anaknya tante Hafifah kan, masa gak bisa ngaji sih ?”
“Bacakannya saja artinya, tadi kau juga menghafal artinyakan. Biar aku dengarkan hafalanmu!” Jawabku tegas, mengabaikan pertanyaan yang menurutku tidak pentig saat itu.
***
Setelah keberangkatan suamiku besok ke Hongkong. Aku berharap Azalia bisa terbiasa dengan semua ajaran agamanya. Dia belum bisa ngaji sampai sekarang, dia selalu meberikan alasan. Kalau dia belum menyukainya.
“Bagaimana dengan shalatnya Fah?”
Belum Uni, dia meberikan alasan yang sama. Ayahnya belum pernah menyuruhnya shalat.
“Maksudmu Ayahnya melarang Azalia shalat?”
Kak Lan tidak pernah melarang putri kesayanganya untuk shalat, aku faham pemikirannya, dia berharap Az bisa shalat dengat kesadaran bukan karna agama keturunan. Sama seperti Kak Lan , semenjak menjadi mualaf sebelum menikah denganku. Dia sangat berusaha menemukan kesadaran itu.
Tapi sampai lima belas tahun ini, lihatlah Kak Lan masih seperti itu dan putrinya akhirnya mengikuti. Apa yang harus aku lakukan Uni ?. Aku meminta berpisah dari Kak Lan kalau dia masih bersikap seperti ini. Azalia sudah hampir dewasa, aku tidak ingin dia tidak mengenal agamanya. Uni faham maksudku kan ?
Aku faham Fah, aku faham sama seperti dulu ketika memahami pilihanmu untuk menikah dengan Kak Lan. Laki-laki asing yang mengajar di Andalas kampus kita. Aku faham, memaksa faham. Sama seperti dulu ketika kamu memaksaku untuk menerima donor ginjalmu waktu aku hampir meninggal pasca melahirkan Dave.
Aku akan selalu memahami. Biarkan Azalia bersamaku, biar dia hidup dalam bimbingan keluargaku. Ada Nisa yang akan rajin mengajaknya shalat, ada Dave yang mengajak dia mengaji. Kak Akbar pasti akan setuju. Ijinkan kami mengajak Azalia ke Hongkong.
“Hongkong, Bagaimana bisa Uni ?”. Aku sedang berusaha memisahkan Azalia dari Ayahnya. Ayahnya besok memilih kembali ke Hongkong sampai tiga tahun kedepan. Setelah aku memaksa Kak Lan untuk berpisah.
“Lalu apa yang bisa aku bantu untukmu Fah?, Kak Akbar dipindahkan tugas ke Hongkong juga awal tahun depan.
“Doakan yang terbaik untuk kami, Kak Lan berjanji berubah ketika sampai di tanah kelahirannya. Semoga dia bisa menjemput hidayah yang sudah dia ikrarkan lima belas tahun lalu”.
***
Hujan turun deras sekali, membuat amak dan perempuan yang sekarang aku pangggil ummi memanggil kami dari dalam rumah. Meminta kami untuk segera masuk. Anak to the point tadi juga ikut berlari, lalu meberikan daun talas yang cukup besar kepadaku.
“Untuk apa”. Tanyaku bingung.
“Untuk dimakan”. Jawab dia pendek, lalu masuk kedalam rumah tidak menghiraukan kebingunganku. Kalau saja sekarang sedang tidak hujan, akan aku balas dia. Mungkin dia termasuk kedalam golongan makhluk-makhluk gak jelas batinku.
“Terimakasih sudah mendengarkan hafalanku Azalia, Namaku Dave.” Dia berteriak lagi ketika sudah masuk kedalam rumahnya.
Ummi dan Amak tersenyum melihat keanehan Dave. Sepertinya dia memang aneh.
***
Masjid Ukhuwah Islamiyah UI
Akhir Tahun 2015
                                “Sadar itu diusahakan, bukan dibiarkan”
Aku sudah menunggu hampir satu jam. Ternyata seperti ini rasanya menunggu. Bosan dan menyebalkan. Seperti makhluk yang tidak memiliki tujuan hidup. Terlihat sekali orang-orang yang sering menunggu pasangannya di malam minggu, adalah orang yang pengangguran. Atau mungkin mereka lupa bahwa ada tugas kuliah atau deadline tabloid.
Sepedaku sudah entah dimana keberadaannya sekarang. Kalau saja danau yang sedang berhadapanku sekarang bisa berbicara. Aku sudah ajak dia berbicara dari tadi. Sayangnya, dia hanya manjadi pendengar yang baik saja. Belum menjadi pembicara yang baik.
Baiklah !!! Danau dengarkan aku lagi, untuk beberapa menit kedepan. Dan terimkasih untuk enampuluh menit yang berlalu begitu saja. Hari ini benar-benar membuatku bingung. Bahkan sudah sebulan terakhir ini. Sejak mimpi Ayah yang jatuh ke laut. Dan, tadi pagi suara Amak dengan bayangan-bayangannya yang nyata datang.
Aku percaya bahwa konsep tentang kebetulan tidak pernah ada. Tapi aku memang tidak punya jawaban dan penjelasan atas pertanyaan dari Nisa dan perintah dari Dave untuk sadar.
“SADAR!”
Selama ini aku tidak mabuk, dan normal dalam melakukan apapun. Bukannya kau melihatnya kenormalanku selama tiga tahun setengah di kampus ini danau?. Oh ya, aku lupa kau tidak bisa menjawab.
“Kau belum sadar, bahwa kita punya Allah Az!”. Suara Nisa memutus komunikasi satu arahku dengan Danau. Aku langsung berbalik, menatapnya.
“Aku sadar Nis, Aku muslim”. Jawabku singkat.
“Itu hanya identitasmu saja selama ini!” Nisa tidak pernah mengajakku berdiskusi soal agama. Atau memang aku yang selalu menghindar. Dia juga tidak pernah mengajakku secara paksa untuk melakukan semua hal yang dia lakukan sebagai muslim. Tapi sepertinya, tidak untuk sekarang.
“Kamu tau Nis, Ayahku tidak pernah memintaku untuk shalat!”
“Kamu juga tau Az, Ayahmu tidak pernah melarangmu untuk shalat!”
Sebenarnya aku malas sekali membahas masalah ini, apalagi harus sampai membongkar lagi kenangan masa lalu. Tidak menyakitkan memang. Tapi cukup membuat sesak.
“Lihat aku Az, aku akan mati, kamu juga, Uda Dave juga, Buya, Ummi, semuanya akan mati. Kamu tau kenapa Ayahmu tidak pernah melarang atau memerintahmu untuk shalat ?. Nisa menatapku semakin serius sekarang.
Aku menghela nafas panjang, mengingat semua kejadian satu per satu. Ayah seorang mualaf dengan pemahaman yang sangat sedikit tentang agama. Idealisnya tetap tinggi dalam berprinsip. Amak belajar memahami itu sampai aku umur empat belas tahun. Membiarkan kesadaran kami muncul perlahan untuk beribadah. Namun ternyata proses itu benar-benar lama. Karna kami tidak berusaha mencari hakikat ibadah sebenarnya. Sama seperti aku sekarang. Membiarkan semuanya begitu saja.
 “Untuk membuatku sadar, ibadah karna sadar”.
Apa kau sudah berusaha untuk sadar setelah kita kembali dari Hongkong! Setidaknya bertaya kepadaku untuk bagaimana memulai shalat. Padahal telihat sekali wajah  senangmu melihat kami shalat jamaah dulu waktu di rumah sakit, kau juga tersenyum ketika Uda Dave membacakan surat Al-Mulk di rumah sakit. Sekarang kau masih lupa tentang itu semua. Atau berpura-pura lupa ?
Kita sama-sama percaya kalau hukum kebetulan tidak pernah berlaku. Dan, sebulan mimpimu berturut-turut seperti itu apa tidak ada maksud tertentu dari yang Maha Pemilik Malam dan Siang ?
Apalagii yang kamu mau tau jawabannya Az, pertanyaanya adalah dirimu sendiri!.
 Nisa sudah menangis sekarang, dia langsung memelukku yang masih diam mematung. “Jilbab yang aku berikan selama sebulan terakhir, segera pakai. Ummi sudah mengirimkan banyak gamis untukmu. Buya menunggumu di Hongkong dengan pakaian muslimah dan usaha hijrahmu. Sekaligus mengunjungi makam Ayah dan Amak di Kowloon”.
“Hijrah?” Tanyaku lirih.
Aku belum sanggup membalas pelukan Nisa. Apalagi menjawab semua penjelasnya. Kenapa selama ini aku membiarkan diriku lupa.  Membiarkan diriku berpura- pura tidak tau dan tidak ingin tau. Membiarkan diriku menjadi bodoh, terjebak dalam kebingungan. Membiarkan kedasaran beribadah tumbuh begitu saja, tanpa berusaha sama sekali.
“Hijrah sama dengan Move On Az” Nisa melepaskan pelukannya lalu tersenyum penuh arti kepadaku. “Belum terlambat, kita mulai dari detik ini Az”.
Aku belajar menerima semua ini dengan baik sekarang. Aku tidak akan membiarkan kesalahan terulang. Tapi, entah kenapa “Nafasku tiba-tiba sesak Nis”. Nisa langsung mengambil tas kecilku. “Dimana obatmu Az” Nisa terlihat panik sekali, mencari obatku. “Ditinggal di kamar”. Aku mengenggam tangannya, “Pakaikan aku jilbab yang tadi pagi kamu berikan”.
Sbenarnya nafasku semakin sesak tapi aku tidak ingin Nisa mengetahuinya, dia sudah terlalu sedih melihat aku selama ini. Aku tidak ingin melihat Nisa menagis lagi karna kebodohanku.Walaupun wajah Nisa sudah mulai  berbayang dalam penghlihatanku sekarang. Aku berusaha terus tersenyum menatapnya yang merapikan jilbabku. Aku tidak tau apa yang akan terjadi beberapa menit setelah ini. Kalau memang aku akan mati, setidaknya aku sudah berhijrah dengan jilbab pertamu sekarang. Dulu di rumah sakit Victoria, aku sudah meminta kepada Allah untuk kembali hidup demi ketulusa Nisa, Dave, Ummi dan Buya. Tapi untuk kali ini. Aku tidak akan memintanya lagi, sebagai penebus kesalahanku dan kebodohanku selama ini.
“Tanganmu hangat sekali Az, kamu yakin baik-baik saja ?”. Nisa membalas gengaman tanganku dengan erat. Lagi-lagi responku hanya senyuman, aku tidak bisa menjawab dan merespon apa-apa lagi sekarang. Aku hampir saja menangis melihat dia memakaikan jilbabku untuk pertama kalinya. Aku tidak tau, apa setelah ini aku masih hidup atau tidak. Masih bisa melihat senyum manisnya lagi atau sekedar mendengar nasihatnya. Benar-benar tidak tau. Jika memang ini waktunya untuk aku pergi, aku akan pergi.
“Azaliaaaaaaaaa…” Terakhir, aku hanya mendegar teriakan Nisa dalam kegelapan.

Bersambung Part IV :)
Ditunggu yahh...

Writers : Umi Wijaya Lau