Dave
sudah berkali bolak-balik di depan ruang operasi. Wajahnya sangat gelisah. Dia
tidak bisa tenang sama sekali. Hatinya benar-benar sedang tidak karuan.
Semuanya menjadi satu. Antara merasa bersalah, kecewa, takut, dan perasaan yang
tidak bisa dia artikan sekarang. Perasaan yang selalu membuat dia menjadi khawatir terus
menerus dengan Az. Perasaan takut, takut Az tidak sadar dalam waktu yang lama
seperti di Hongkong dulu. Perasaan yang benar-benar mebuatnya menjadi lebih
banyak menangis, di dalam doa sepertiga malamnya.
“Sekarang
kamu yang benar-benar ceroboh! Sampai tidak membawa obatmu Az. Kau terus saja
membuatku khawatir. Benar-benar khawatir!”. Batin Dave sambil terus bolak balik
di depan ruang operasi.
Nisa
sudah tidak bisa berbicara apa-apa lagi setelah memakaikan jilbab Az tadi di
masjid kampus . Az tiba-tiba saja jatuh dalam pelukan Nisa. Membuat Nisa
menjadi sangat panik. Orang pertama yang harus dihubungi adalah Udanya. Dave
harus tau tentang ini semua.
Nisa
segera mengambil handphone di dalam tasnya. Lalu memanggil panggilan cepat yang
langsung sampai ke Uda Dave.
“Az,, Azaliaa tidak sadarkan diri Da, Cepat bawa
mobil ke masjid”. Suara Nisa sudah dipenuhi isak tangis dan kekhwatiran.
Dia
sudah tidak lagi memikirkan orang-orang yang melihatnya menangis dan berteriak
memanggil nama Azalia berkali-kali. Beberapa teman yang mengenalnya pun segera
menghampiri dan membantu sebisa mereka.
Mobil
Dave datang, Nisa langsung berlari memeluk Dave dan menangis. Tangan Dave
terlihat baru saja selesai diperban. Nisa ingin sekali bertanya, tapi dia tau Az
harus segera dibawa kerumah sakit. Beberapa
teman perempuan yang ada di masjid langsung membantu Nisa membawa Az kedalam
mobil.
Hampir
sampai parkiran mobil, Nisa terjatuh karna tidak memperhatikan jalan. Akibatnya
kepala Az hampir mengenai aspal jalan depan masjid. Dave langsung bergerak
cepat mengantikan Nisa. “Biar aku saja, ini sudah terlalu urgent. Tolong lihat
kaki Nisa”. Minta Dave kepada teman-teman Nisa yang tadi mengendong Az.
Dave
sudah tidak lagi mengingat tangannya yang memar dan di perban karna kecelakaan
tadi pagi. Kecelakaan karna meneriaki Az yang hampir tertabrak. Dia lagsung
membawa Az kedalam mobil. “Maafkan aku Rabb”.
Batin Dave setelah mengendong Az
kedalam mobil. Kaki Nisa terkilir sedikit, lalu meyakinkan kepada
teman-temannya kalau dia baik baik sja. Nisa langsung bangkit, melupakan juga
rasa sakit di kakinya. Dan segera memaksakan jalan mengejar Udanya.
“Aku
baik-baik saja, segera ke Rumah Sakit Da”. Pinta Nisa dengan isakan tangisnya
yang belum berhenti sejak tadi.
***
“Aku tau
semua mimpimu, aku tau semua tangisanmu Az".
Nisa sudah menceritakannya
kepadaku. Aku hanya ingin kau bisa hidup lebih tenang dengan jalan agama kita
yang memang menenangkan. Itu saja.” Dave masih berbicara pada dirinya sendiri,
sambil terus berdoa. Sesekali dia menatap ke pintu ruangan operasi. Berharap
dokter segera keluar dan memberikan kabar baik.
“Bagaimana
keadaan Azalia Dave?”
“Aku
berharap Az akan baik-baik saja”. Jawab Dave dan langsung mencium tangan umminya.
“Nisa masih menangis di masjid dari tadi Mi”. Ummi langsun mengelus kepala
Dave, dan mecium keningnya. Memberikan isyarat bahwa dirinya faham apa yang
terjadi lalu meminta Dave untuk duduk tenang dan terus berdoa.
***
Kali ini
langit senja menemaniku cukup lama. Bersama kumpulan buku-buku dan jurnal sudah
memenuhi meja belajarku. Setelah ini semua selesai, aku ingin merasakan senja
sendirian tanpa tumpukan apappun. Apalagi tumpukan buku.
“Assalamualaikum,
Az. Sudah minum obatmu?”. Nisa sudah datang lagi dengan bawaan rahasianya.
Dua
minggu yang lalu menjadi masa-masa kritis yang membuatku takut, membuat Nisa
tidak berhenti menanagis. Membuat Dave menjadi tidak karuan dan tidak pernah
tenang. Apalagi ummi, beliau benar-benar mengurus kami bertiga dalam satu
waktu. Aku benar-benar bersyukur masih bisa hidup. Masih bisa bernafas dan
melihat semua senyuman mereka kembali. Aku berjanji aku memperbaiki semua
kebodohanku selama ini.
“Walaikumsalam, sudah. Kamu bawa apa lagi Nis?”
Nisa lalu meletakan bingkisan itu di atas kasurku,
dia tersenyum dan menatapku serius sekali. “Kau mau mengajakku diskusi
apalagi”. Aku langsung menyidirnya. Setidaknya agar tatapap seriusnya berubah,
agar aku segera tau maksud tujuan pemberian bingkisannya.
“Kamu kapan sidang?” Nisa langsung mengganti topik
pembicaran.
“Tergantung, Abangmu Nis”. Jawabku singkat, lalu
memulai mengetik skirpsiku kembali.
” Kalau Dave bisa menerima kesimpulan
akhirku. Besok aku akan langsung daftar sidang”.
Nisa sudah selesai sidang sebelum aku pinsan di
masjid beberapa waktu yang lalu. Dua Minggu kemarin sebenarnya masa-masa
revisinya. Tapi, karna dia menangis terus dirumah sakit. Dan hampir 24 jam
menemaniku pasca operasi. Alhasil dia baru memulai revisinya lagi sekarang.
“Kamu harus tanggung jawab dengan tangisanku yang
berhari-hari itu”. Nisa sudah memulai lagi sikap anehnya sekarang.
“Apa yang harus aku lakukan”. Aku menjawab asal
sambil terus fokus mengetik.
“Menikahlah dengan Uda Dave Az, aku janji akan
terus bahagia setelah itu.”
Langit sepertinya belum runtuh, senja juga belum
berakhir. Seperti adzan magrib yang akan menjadi saksi permintaan Nisa barusan.
Tapi, apa telingaku yang salah pendengaran. Sepertinya aku salah merespon Nisa
barusan. Atau Nisa yang sedang merespon
berlebihan tawaranku.
Andai saja ada recorder aku akan rekam permintaan
aneh Nisa barusan. Aku akan berikan ke Dave pasti dia akan tertawa
terbahak-bahak. Bahagia melihat kelucuan adiknya.
Aku
menatap Nisa lama, berhenti mengetik. Aku harus meyakinkan apa yang dia katakan
barusan. Sepertinya jaringan otak Nisa sedang bermasalah akibat kebanyakan
menangis. Aku berharap ini sekedar candaan. Kalau memang keseriusan, aku belum
berfikir untuk kearah sana.
“Apa Nis ?” Tanyaku lagi meyakinkannya.
“Tadi kamu yang menawarkan harus melakukan apa untuk
mengganti tangisanku selama kau sakit. Dan, aku mau kamu menikah dengan Uda”
Nisa menjawabku serius sekali. Tidak terlihat dia sedang bercanda. Tapi apa
penyebabnya. Aku bahkan hampir sesak nafas lagi ketika dia menyampaikan
permintaanya lagi barusan. Sesak nafas ini bukan karna operasi paru-paru
stadium satu kemairn. Tapi ada hal-hal lain yang harus dave sendiri yang
menjelaskan kepadaku. Makhluk serius seperti dia tidak mungkin memainkan
perasaan untuk menjalin hubungan yang serius kan?
“Tidak semudah itu Nis”. Aku menjawabnya langsung
dengan penuh keyakinan. “Aku akan fokus dengan banyak hal, termasuk soal
ibadah-ibadah yang baru aku pelajari. Kamu berjanji untuk mengajariku loh
Nis!”. Aku mulai mengingatkannya lagi.
“Kalau kamu menikah sama Uda, dia akan mengajarimu
banyak hal soal ibadah Az”. Nisa mengarah ketopik pernikahan lagi.
Aku segera mengambil majalah fakultas yang baru saja
terbit. Dan memberikannya kepada Nisa. Sebenarnya Dave sudah masuk list
laki-laki popular di kampus. Sampai menjadi tranding topic terus menerus di salah
satu rubrik idola di tabloid ini. Menjadi harapan banyak orang diluar sana.
Termasuk harapan untuk dijadikan imam pilihan. Aku rasa Nisa suda lebih faham
soal itu.
“Dave itu hafidz, lah aku ? Karya tulisnya
baru saja diangkan ke media internasional. Sedangkan skripsiku aja belum
selesai. Aku mulai mengetik lagi sambil menyampaikan realitas yang ada.
Promosi
dokternya juga gak akan lama lagi, Kalau sidang tesisnya disegerakan dalam
tahun ini. “Aku tau semuanya Az. Makanya
aku maunya Uda sama kamu!”
”Gak
semudah itu, aku ngaji sama shalat aja masih belajar Nis.Gimana mau nikah?”.
Lagipula banyak pilihan lain yang lebih
tepat untuk Dave. Apalagi untuk dijadikin istri. Teman dakwahmu juga sepertinya
banyak yang menagumi Dave”.
Nisa
terlihat cemberut mendengar jawaban santaiku. Aku malas membahas soal ini.
Lagipula ini permintaan hanya karna kesalahan responku barusan. Bukan karna hal
lain. Jadi tidak terlalu serius.
Shalat
magrib yuk. Siapa tau setelah shalat aku mendapat hidayah untuk menerima
tawaranmu. Candaku menggoda Nisa.
***
Sejauh apapun kamu pergi,
kalau kamu jodohku. Kita akan bertemu lagi.
Barusan
Nisa menjelaskan tentang shalat tahajud, salah satu shalat sunnah yang membuat
malam menjadi menangis haru. Membuat langit berbisik rindu, dan tentunya
membuat cinta bersujud tanpa nafsu. Lagi-lagi bahasa cinta Nisa keluarkan lagi.
Tidak ada habisnya dia merajuk memintaku menermima lamaran Dave. Padahal,
Davenya saja tidak pernah bicara masalah aneh itu. Jangankan bahasan lamaran,
soal kesimpulan skripsi yang aku buat saja dia tidak respon. Apalagi untuk yang
lain.
“Awal
bulan aku sidang, jangan bahas soal cinta lagi Nis!”
Nisa
langsung mencubit pipiku. “Aku tidak membahas cinta, aku hanya membahas jodoh
Az”. Aku langsung mendengus sebal. Sama saja, mau cinta mau jodoh. Ujung
pembicaraannya adalah pernikahan. “Aku sudah memesan tiket ke Hongkong, besok
pagi aku berangkat”.
“APA ?”
Wajah ceria Nisa tiba-tiba langsung berubah menjadi wajah penuh
ketidakpercayaan.
“Sebelum sidang, aku perlu beberapa data penting dari
Hongkong”.
Nisa langsung cemberut kesal, mungkin dia marah karna aku tidak
cerita terlebih dahulu. Sebenarnya aku sengaja, biar bisa ke Hongkong sendiri.
Lagi pula dia harus menyiapkan acara pernikahannya. Kasian Ummi kalau harus
mengerjakannya tanpa sang calon pengantin.
“Minta
tolong Buya kirim data-data itu langsung dari Hongkong. Bisa kan?”
Nis, aku
gak lama kok. Setelah dapat, aku langsung balik dan membantu acara pernikahanmu.
Aku mencoba meyakinkannya. “Dari Hongkong, aku langsung ke Padang sama Buya”.
Aku tau Nisa sedang menunggu jawabanku untuk permintaanya. Permintaan untuk
menerima lamaran Dave. Jujur saja, aku sedang ingin fokus mengejar semua
keterlambatanku. Apalagi soal agama, belum lagi urusan pendidikanku. Sidang
sudah di depan mata.
Dave
sudah menyelesaikan tugasnya sebagai pengganti pembimbing skripsi kemarin.
Tepat ketika aku mendaftar sidang. “Terimakasih banyak untuk semuanya Dave”.
Sebatas ucapan terimakasih dan hadiah kecil yang bisa aku berikan untuknya. Dave
tidak menjawabku, dia tetap diam. Sekedar menjawab sama-sama saja sepertinya
dia terlihat sulit sekali. Tapi itu tidak masalah lahi. Aku tidak akan berfikir
dia kejam lagi sekarang. Dulu aku salah, sangat salah dan bodoh. Sampai-sampai
harus berfikir buruk untuk semua kebaikan Dave kepadaku.
“Sekali
lagi terimakasih. Assalamualaikum, ”.
Aku menunduk dan langsung pergi
meninggalkan Dave. Biarlah angin menundukan pandangan kami mulai sekarang.
Menundukan semua perasaanku yang sedang aku mulai tata secara perlahan. Aku
tidak akan membantah lagi sekarang. Tidak akan marah,terserah Dave mau menjawab
atau tidak.
“Walaikumsalam,
sama-sama Az. Jaga kesehatanmu”.
Aku
semakin percaya sekarang, selama ini yang dikatakan Nisa adalah benar. “Dave
sangat memperdulikanmu Az, dia yang paling khawatir, tidak peduli dia sakit,
atau terluka”. Jika semua mozaik dari awal aku rangkai, mungkin air mataku akan
habis hanya karna menangisi semua kebaikan tulusnya selama ini.
***
“Jangan
bilang kau ingin lari dari permintaanku Az”.
Selidik Nisa yang lengsung
membuyarkan lamunanku.
“Apa Uda tidak pernah membahas soal perasaanya
kepadamu?”. Aku langsung menyeringai mendengar pertanyaan anehnya lagi.
“Apa
kau mencintai Bang Fatah Nis?” mengalihkan topic lebih baik sepertiya.
“Az, kau
selalu mengalihkan pembicaraan!”. Aku tersenyum menatapnya, tatapan ini
sebenarnya sudah cukup membuat Nisa mengerti kalau aku tidak ingin membahas
soal Dave.
“Baiklah, kita akan ganti pembicaraan, walaupun satu tema”.
Aku
tergelitik mendengar jawabanya, satu tema. Benar juga. “Aku belum mencintai
Bang Fattah, tapi jujur aku mengagumi akhlaknya Az. Cintaku hanya untuk suamiku
nanti, setelah Bang Fattah melakukan ijab qobul dengan Buya. Dan dia menjadi
suamiku, baru aku mencintainya.
Keningku
langsung berkerut mendengar jawaban Nisa. “Bagaimana bisa kau tidak
mencintainya, tapi yakin menjadikan suami?” Tanyaku langsung tanpa ampun.
Realistis sedikitlah agar aku faham tentang ini.
Nisa langsung
tertawa mendengar pertanyaanku yang panjang itu. “Sepertinya kau sudah mulai
tertarik dengan pernikahan?”. Aku langsung membuang muka, mendengar responnya.
Ingat
perkataanku dulu, kalau perasaan punya hak untuk didengarkan. Kalau dia layak
untuk diterima, hatimu yang suci itu pasti akan menuntun untuk meniyakan. Tapi
kalau tidak layak, hatimu juga yang akan menolak. Setidaknya shalat tahajud
yang tadi kita bahas bisa menjadi salah satu sarana yang membantu hati untuk
mengiyakan atau menolak.
“Jadi sejauh
apapun kamu pergi, kalau Uda Dave jodohmu. Pasti akan ketemu lagi”. Hahhaahha
Akhir
penjelasan yang kurang menyenangkan. Lemparan guling sepertinya cukup membalas
kejailannya yang selalu membahas Dave dalam setiap pembahasan.
***
Hongkong, Victoria Harbour 2016
Bukankah
semua orang seharusnya percaya, bahwa bumi adalah makhluk yang memiliki hak
untuk didengarkan. Sama seperti hal yang lainnya, mereka memiliki hak yang sama
untuk didengarkan. “Termasuk perasaan, dia harus benar-benar didengarkan”.
Dengarkan hatimu, kalau dia layak diterima. Hatimu akan menutun. Kalau tidak ,pasti
akan langsung tetolak. Nisa, ternyata kata-kata ini sudah menjadi trending topik
dalam pikiranku sekarang. Pasti kalau kau tau, kau akan bahagia sekali
sekarang.
“Assalamualaikum,
Buya. Ini Az, Az masih dipelabuhan, setelah ke makam Ayah. Aku nanti langsung
ke kantor insyAllah”.
Kapal Feri yang aku tumpangi
sedikit terlambat dari jadwal keberangkatan. Menatap laut bukan jadi solusi
yang efektif untuk menghilangkan kecemasan ini. Trauma bukan main melewati laut
Hongkong. Melihat empat puluh pencakar langit. Dan mengingat symphony of the
light membuat aku sulit bernafas. Kebakaran kapal beberapa tahun lalu. Masih
terbayang jelas.
Setelah menelfon Buya barusan.
Kenangan tentang Ayah semakin menyeruak langsung kedalam pikiranku. Kecemasanku
sudah menjadi-jadi sekarang. Semaki dekat dengan pemakaman Ayah dan Amak.
Semakin parah rasa kecemasanku. Untuk mengambil keputusan berangkat ke Hongkong saja itu seperti
anatara hidup dan mati. Tapi ini memang prosesnya. Aku tidak akan kalah dengan
ketakutatan.
Jujur memang sesak sekali rasanya
Rabb. Jangan biarkan aku menangis di atas makam mereka. Aku melangkah perlahan
memasuki pemakaman besar chines di tanah Kowloon. Tasbih dan shalawat tidak
henti-hentinya aku ucapkan. Walaupun pengucapan tasbis dan shalawatku masih
buruk. Pengucapan hurufnya belum jelas. Aku berusaha ini tidak mengusik
kekhusyuanku untuk mendoakan Ayah dan Amak.
Assalamualaikum Ayah,
Amak. Az selau berharap makam ini menjadi taman-taman surga untuk Ayah dan
Amak. Maaf karna Az terlambat menyadari mimpi menyakitkan itu. Betapa bodohnya
Az, kalau Ayah sudah sangat rindu doa-doa dari Az. Az sudah shalat sekarang,
sama seperti Ayah. Tadi teman Ayah dipelabuhan bilang, kalau Ayah sudah shalat
dan sering menjadi imam shalat jum’at semenjak kembali ke Hongkong.
Terimakasih sudah
menjadi Ayah yang baik untuk Az. Untuk Amak, terimakasih sudah menjadi bidadri
yang paling sabar selama mengurusi Az dan Ayah. Az ingin sekali memangis dan
memeluk Ayah lagi. Meneluk Amak. Tapi Az sudah berjanji, tidak akan menangis
lagi.
Besok Az akan
langsng kembali ke Indonesia. Sebentar lagi Az akan sidang. Nisa akan menikah
dengan Bang Fattah. Sahabat baiknya Dave. Ummi Aisyah sehat dan sayang sekali
dengan Az. Ummi sangat senang menceritakan kisah Amak dan Ummi dulu waktu
belajar di pondok dan dikampus. Buya juga baik sama seperti Ayah.
“Nisa meminta Az untuk menerima lamaran Dave,
padahal Dave tidak mengatakan appaun. Lagi pula Az masih perlu belajar banyak.
Membedakan kasroh sama fathah saja Az masih sulit. Sedangkan Dave seorang
hafidz sejak Amak mengajak Az dulu kerumahnya pertama kali”.
Oh ya, Buya sudah
menunggu di kantor. Sesering mungkin Az akan datang ke Hongkong. Mengunjungi
makam ini. InsyAllah, Setidaknya doa Az akan selalu sampai. Az usahakan sampai hembusan nafas
terakhir yang Az milikki.
***
Konsulat Jendral RI Hongkong
127-129 Leighton
Road, 6-8 Keswick Street , Causeway Bay Hongkong
Kantor Buya
ternyata tidak banyak berubah. Semenjak kejadian itu, semuanya masih sama.
“Assalamualaikum, Azalia. Sehatkah kamu ?” Mata Buya langsung berkaca-kaca
melihat kedatanganku. Sepertinya beliau benar-benar terharu dengan semua
perubahan dalam diriku sekarang. “MasyAllah, ini gamismu ummi kah yang
memilihkannya ?”.
“Walaikumsalam
Buya, aku langsung mencium tangannya. Rindu sekali mencium tangan Buya. Bertemu
Buya dan berbicara banyak hal bersama Buya. “Iyah, semuanya Ummi dan Nisa yang
pilihkan”. Buya tersentum penuh arti mendengar jawabanku. Beliau langsung
mempersilahkan aku duduk di kursi yang sama. Kursi yang mengingatkan tentang
kebakaran kapal, meninggalnya Ayah dan Amak.
“Apa kabar Dave,
Az ?” Pertanyaan Buya langsung menabah kecemasanku yang belum hilang. Entah
kenapa atmosfer Hongkong menjadi menyeramkan seperti ini.
“Buya dengar, Dave
mau menikah”. Aku hanya tersenyum sedikit menjawab pertanyaan Buya. Semoga
hatiku tidak sakit kalau nanti Dave menikah dengan orang lain. Sepertinya, aku
mulai faham tentang perasanku sekarang. Ketika aku menjauh, baru aku faham.
Terlambat lagi. Batinku mendengus kesal.
“Dave meminta Buya untuk melamarkanmu
Az, ini lucu sekali bukan. Tapi ini serius Az”.
Deg, Ini Buya kan yang bicara,
Buya tidak mungkin bercanda seperti Nisa.
“Ummi barusan telfon,
Nissa dan Dave sudah di sampai Padang. Kamu tau Az, Dave itu yang paling
khawatir waktu kejadian di rumah sakit waktu kamu pinsan di kantor ini. Dave
juga yang meminta untuk memulangkan kalian bertiga ke Indonesia setelah itu.
Agar bisa saling menjaga dan mengawasi”.
Seakan-akan langit mau runtuh. Hatiku
bergetar buka main.
“Dave
belajar giat sekali selama ini, dia selalu bercerita agar bisa jadi asisten
pembimbing untuk skripsimu. Dan ternyata
Allah mengabulkannya. Alhamdulilah. Dan kau tau ? Tiap malam dia menelfon Buya
karna khawatir dengan semua yang terjadi kepadamu. Apalagi semenjak mimpi-mimpi
Ayahmu datang. Nisa tidak henti-hentinya menangis menceritakannya kepada kami
semua. Dave paling strees saat itu”.
Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Selain menunduk dengan perasaan yang campur aduk.
Ada cerita yang sangat lucu dan ini
sangat penting untuk kamu dengarkan. Ini bisa menjadi bahan pertimbanganmu
untuk menjawab niat baik Dave. “Kamu ingat waktu kamu berumur empat belas tahun
?” Aku langsung mengangguk dan menatap serius pembicaraan Buya. Itu hari
pertamaku berumur empat belas tahun dan Amak mengajjakku kerumah Ummi dan Buya.
Dan pertama kali bertemu dengan Dave.
Ketika itu kamu mendengarkan hafalan Dave bukan ?. Aku
mengangguk sekali lagi. Aku ingat kejadian itu ketika Dave menegurku karna,
belum bisa mengaji.
Dave bercerita semangat sekali waktu Buya baru pulang dari
kantor. Dave bilang, kalau tadi ada perempuan chines anak dari sahabatnya ummi
yang mendengarkan hafalannya. Maniisss sekaliii, kalah semua jenis gula yang
ada di ranah padang. Aku langsung tertawa mendengar cerita Buya yang satu ini.
Dave bukan orang yang suka memuji selama di kampus. Buya tidak akang bohong.
Lagipula, aku mamng manis. Hehhee
“Tapi dia belum bisa
ngaji. Nanti kalau Dave sudah pintar dan menjadi hafidz seperti Buya. Azalia
akan Dave jadikan istri dan Dave ajarkan mengaji. Buya maukan nanti
melamarkannya untuk Dave. Dave tidak akan berani menyampaikannya sendiri”. Ayah
mengakhiri ceritanya sambil tertawa senang sekali. Aku juga ikut tertawa. Dulu
Dave lucu sekali. Kini perasaanku sudah berwarna-warni. Melukis pelangi,
mencari bukti, meyakinkan hati. Buyapun sudah menanti.
“Jadi kamu mau menerimanya Az?”.
“Aku senang mendengar cerita Buya, tapi itukan dulu. Sudah
lama sekali. Dave tidak pernah menyampaikannya langsung Buya. Az terlalu buruk
jika disandingnkan dngan Dave.” Aku berusaha menjawab setenang mungkin.
“Loh, dikampus kurang apalagi Az. Dia tidak pernah pacaran,
berusaha menjadi asisten pembimbing. Rela tanganya memar terserempet mobil
karna meneriakimu yang melamun di tengah jalan. Jilbab yang kamu pakaipun itu
pilhan Dave. Buya tau semuanya Az. Jika saja Dave punya Sembilan nyawa. Tujuh
nyawanya akan diberikan kepadamu, satunya untuk Ummi, dan satunya nyawa lagi
untuk Nisa. Itu permisalan pengorbanan Dave untukmu. Sekarang semuanya menjadi
keputusanmu.
Kami sebagai orangtua tidak akan memaksa. Permintaan kami
hanay melihat kalian bahagia. Walupun dulu amak dan ayahmu tidak pernah
membahas perjodohan kalian berdu. Tapi Buya yakin, Amakmu juga mengharapkan hal
yang sama.
Ini voice note dari Dave tadi pagi,
kamu harus dengar Az “Buya, kalau nanti Azalia mengiyakan niat baikku. Bisakah
besok akad pernikahan disamakan waktunya dengan akad Nisa dan Fattah. InsyAllah
mereka tidak menolak”.
***
Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Padang. 2016
Latar warna merah dan keemasan sudah mewarnai semua sudut ruagan.
Acara pernikahan Nisa dan Bang Fattah dilaksanakan sederhana di belakang rumah
Ummi dan Buya. Halaman rumah dikonsep menjadi tempat resepsi dan akad yang
langsung berhadapan dengan Danau maninjau. Pernak-pernik pernikahan adat padang
benar-benar ramai mempercantik suasana pernikahan barakah ini.
Aku dan Nisa berada di dalam kamar, aku harus menemani calon
pengantin shalihah ini. Setidaknya menjadi tempat luapan pelukan ketika nanti
semua orang bilang. “Sah”. “Kamu menolak lamaran Dave ya Az”.
“Hush, pengantin gak boleh banyak bicara. Nnati ijab qabulnya
gak kedengaran”. Nisa langsung mencubit pipiku. “Jendela kamarnya bisa dibuka, kita bisa melihat sedikit dari jendela”. Nisa
langsung berdiri, sedikit mengangkat gaun putih syar’inya dan membuka jendela
sedikit.
“Cepat ganti gaunmu Az!”. Nisa langsung menarik tanganku.
“Aku tau, Setelah Bang Fattah akad, Uda Dave juga akan ijab Qobul” Aku
tersenyum mendengar ucapan Nisa, dari mana dia tau aku menerima lamaran Dave.
Bukannya Buya janji mau rahasiakan. “Uda itu langsung meluk aku sama Ummi,
setelah Buya ngasih kabar dari Hongkong”.
“Aku pura-pura aja, biar kamu seneng”. Dasaaar Nisaa.. aku
langsung melemparinya dengan semua bantal pengantin yang ada di kamar.
“Kamarmu
juga sudah dihias, kamu gak mau liat?”. Aku diam dan memintanya fokus mendegarkan.
“Sah… Bagaimana para saksi ?”. Sah.. Sah.. Alhamdulilah.
Bang
Fattah resmi menjadi suami Nisa. Dan sudah layak untuk dicintai Nisa, karna
memang sudah menjadi suami. Sekarang giliran Dave, jika dia benar-benar menjadi
suamiku. Dia harus tanggung jawab dengan semua ibadahku yang masih buruk
seperti ini.
“Saya terima nikahnya Azalia Lee Bin Ahmad Alan Lee dengan mas
kawin tersebut tunai. Sah. Bagaimana saksi. Sah. Alhamdulilah. Aku dan Nisa
langsung bersujud syukur dan memeluk ummi. Menangis tiada henti.
Terimakasih Dave sudah
mengejar tanpa menggangu, mendoakan dalam diam. Melindungi dari jauh. Membantu
tanpa menuntut. Terimakasih Nisa sudah mejadi embun yang sejuk. Terimakasih
Ayah untuk pelajaran menjemput kesadaran. Terimakasih Amak sudah mengajarkan
memperkuat kesabaran. Termakasih Buya dan Ummi sudah mengajarakan kepedulian
dan kepekaan.
The Ende :)
-----------------------------------------------------------
Terimakasih banyak untuk para pembaca, semoga terkesan dengan tulisan yang masih banyak kekurangan ini. Ditunggu tulisan lainnya, bagi yang suka dengan tulisan ini ditunngu komentarnya di : #SalamRindu (Azalia Lee )
Blog : http://umiwijaya.blogspot.co.id/
Facebook : https://web.facebook.com/umi.w.lau
Instagram : https://www.instagram.com/umi_wijayalau/