Kenyataannya Belum Tergenggam, Bukan Berarti Tidak Tergengggam

Kamis, 13 Oktober 2016





Maaf jika sudah lama sekali aku tidak membuat surat cinta untukmu. Jika aku tuliskan ribuan alasan sebenarnya bisa saja. Menjelaskan kehidupan kita yang seperkian detik menjadi debu di lautan catatan amal. Entah amal buruk atau amal baik. Namun kita memilih diam, biar Allah saja yang tau urusan kita. Bukankah kita sudah berjanji untuk tidak mau menyulitkan kehidupan yang sudah sulit. 

Sudah hampir lima tahun kita bersama, berlari dalam teriakan ambisi dan rayuan masa depan. Kita sama-sama berjuangan dalam langkah yang tidak pasti. Bukan kaki yang sulit berlari, namun hati yang sering kali menyakiti. Ini sama sekali bukan soal mengkhianati, Sungguh bukan. Percayalah, ini hanya soal waktu.

Dulu kita pernah menulis bersama tentang mau kemana kita melangkah, melanjutkan hidup dengan penuh bahagia. Tanpa pusing memikirkan caranya. Ingat masa-masa itu? Dirimu senang sekali mengambil buku milikku, membuat robekan kecil dengan coretan-coretan mimpi.

Coretan mimpi itu tidak hilang, walaupun bukunya sudah hilang dimakan zaman. Kita sudah melewatinya bersama dalam empat tahun terakhir. Dirimu dengan perjuangan mimpimu. Diriku dengan perjuangan mimpiku. Bukankah, perjuangan kita belum selesai sampai sekarang?. Semuanya akan selesai ketika Allah meminta kita untuk pulang. Dan, sekarang kita masih di perjalanan untuk menyiapkan segala macam bekal. Right ?

Pelukan doa aku kirimkan dalam tulisanku yang entah kau menyukainya atau tidak. Allah tidak menciptakan kita sebagai pecundang. Aku ataupun dirimu kita sama, tidak ada beda. Senyummu masih diharapkan, sangat diharapkan. Ayah-Ibumu masih menanti kesuksesanmu bukan?, walaupun caranya terkadang membuatmu kesal setengah mati. Kalau aku ada di posisimu, mungkin aku akan sangat senang menjalani kekesalan ini. Asal mereka berdua ada dalam pelukanku di kehidupan nyata.

Jalan hidup tidak selamanya indah, jalani saja apa yang kita rasakan sekarang. Kita pasti bisa menemukan jawabannya. Semua akan berlalu, Ayah-Ibumu masih disini menemani perjuangan. Jika matamu sudah tidak tegar lagi seperti hari-hari lalu. Menangislah, bukan hanya ada bahagia di dunia. Dunia tidak akan memakimu karna dirimu lemah. Tidak akan!

Jika aku sekarang ada disampingmu, akan aku pinjam kedua bahuku, kedua gengaman kuat tanganku. Bersandarlah selama kau mau. Akan aku temani semua tangisanmu, aku akan menjadi pendengar yang baik selama kau mau. Tapi apalah aku, dayaku tak mampu. Allah lebih menginginkanmu bersandar pada kekuasaaNya. Menginginkanmu mengenggam erat Pemeberian-Nya tanpa kecewa sedikitpun. Ayolah,,, kita sama-sama tau soal ini. Allah tidak pernah ingkar janji.

Masa sekarang yang kita jalani dengan tangisan, akan menjadi masa lalu yang indah nanti ketika kita kenang. Ingat kata-kataku, tanpa masa lalu, kita tidak akan mungkin memiliki masa depan. Kemarin-kemarin bukan penyesalan yang harus melulu disalahkan. Biarkan semuanya berlalu seperti hujan, menumbuhkan banyak kenangan. Entah sedih ataupun senang, semuaanya akan menjadi pelajaran. Pelajaran berharga, bagi orang-orang yang tidak pernah menyerah dengan keadaan.

Bukankah kita mau pergi ke mekkah berama ? Entah dengan mimpi yang mana kita bisakesana. Ada pribahasa yang selalu kita dengar dari kecil “Banyak jalan menuju Mekkah”. Kalu satu jalan tertutAup, berarti ada seribu pintu terbuka. Ambil langkah sekarang, pastikan dengan keyakinan. Waktu tidak akan menunggu kita yang selalu diam dan bingung. Bahkan dia semakin cepat melaju dengan detik-detik pedangnya. Masiih maukah dirimu berlari denganku dengan ketertinggalan kita ?

Aku menunggu kebahagian terbaikmu dalam dua tahun kedepan, InsyAllah…


Umi Wijaya Lau
Dershane Jakarta
11.09 PM       





Cukuplah kusimpan semua ceritaku yang dulu, tentangku, tentang semua yang membuatku tidak berarti"

Senin, 04 Juli 2016

Part IV

♡♡♡

Aku langsung berlari mencari bantuan seseorang untuk membawa Nata ke ruang kesehatan. Di kelas lukis tidak ada laki-laki sama sekali. Aku faham, mungkin anak laki-laki lebih senang di kelas musik atau di kelas Tari. Ini hanya hipotesaku saja. Jadi tidak perlu diperdebatkan.

Aku melirik ke kelas-kelas, melihat wajah-wajah asing yang tidak pernah ku lihat sebelumnya. Murid sepertiku memang kuno sekali untuk pergaulan jaman sekarang. Lihatlah, selama setahun sekolah. Baru pertama ini aku menginjakan langkah ke kelas-kelas lain. Dan memperhatikan wajah-wajah murid musik, tari dan akting.

Ah, jujur aku malas sekali memperhatikan siapapun. Kalau bukan karna Nata yang sedang sesak nafas itu. Aku tidak akan kebingungan seperti ini mencari murid laki-laki yang bisa membantu.

"Ada yang bisa aku bantu?"

Tanya salah satu murid yang sepertinya ingin masuk ke kelas. Mungkin aku menghalangi jalannya, jadi dia bertanya. Atau mungkin juga dia mencari perhatianku.

Oh Tuhan, aneh sekali jalan pikiranku ini. Bukankah aku memang sedang membutuhkan bantuan seseorang.

"Iya," jawabku singkat sambil menunduk dan melihat sepatunya. Ah, kenapa menatap wajah orang itu sangat sulit. Aku merasa tidak sopan berbicara seperti ini.

"Apa yang bisa kubuntu Daiy?"

Dia tau namaku, seingatku aku belum pernah bertemu dengannya. Aku juga bukan murid populer di kelas lukis seperti anak manja-manja yang habis ku ikat itu.

"Hai, kok melamun sih? Apa yang bisa kubantu?"

Dia langsung menyadarkanku, mengingat keperluan apa aku ke lantai tiga ini. Semenit kemudian aku langsung menarik tangannya, menuju state lukis dilantai dua. Detak jantungku mulai karuan tidak main. Nata itu lemah sekali, tapi selalu saja mencoba melakukan banyak hal. Seperti pembelaan ceroboh tadi. Mungkin dia sudah tidak tahan melihatku setahun ini dipermainkan oleh anak-anak kaya dan manja itu.

Sebenarnya aku terbiasa diam membalas tingkah menyebalkan mereka setahun ini. Aku mengabaikan mereka dengan baik. Tapi mereka malah makin menjadi-menjadi. Apalagi permasalahan duplikan lukisan itu. Rasanya aku ingin ikat Zen di pohon lie lalu aku hanyutkan dia ke sungai samping sekolah.

Lihatlah, mungkin pipi Zen yang mulus itu akan bengkak karna tamparanku sampai beberapa hari kedepan. Itu balasan kecilku karna sudah membuat  Nata ketakutan.

***

Aku berlari lebih cepat menuruni tangga, dan langsung mendobrak pintu kelas.

"Nataaaaaaa" aku berteriak histeris melihatnya sudah tidak sadarkan diri.

Murid laki-laki dari kelas musik itu langsung menggendong Nata ke ruang kesehatan. Lalu sedikit memberikan senyum sinis kepada Zen dan kawan-kawanya itu. Entahlah, apa maksudnya. Tapi aku suka melihat gaya sinisnya barusan.

"Hyuuun, seharusnya kau membantuku bukan membantu anak lemah itu" Teriak Zen dari pintu kelas dan segera mengejar kami.

Murid laki-laki itu tidak merespon apapun dia malah mempercepat langkahanya masuk keruang kesehatan. Dokter sekolah kami baru saja datang. Dia langsung mengambil tindakan cepat untuk Nata.

Aku menghela nafas panjang bersyukur sambil terus berdoa untuk kebaikan sahabatku ini. Sepertinya aku membutuhkan air putih, setalah kejadian menyebalkan hari ini.

"Minumlah Daiy" Murid kelas musik itu sudah dihadapanku lagi sekarang.

"Terimakasih banyak sudah membantu membawa Nata"

"Aku senang bisa membantu, namaku Hyun Lee, Zen memang menyebalkan dan dia layak kau balas untuk kenalakannya kepadamu setahun ini"

Aku tersenyum mendengar dukungannya, seakan-akan dia tau apa yang Zen lakukan kepadaku setahun ini, padahal dilorong sekolah tadi aku hanya menceritakan tentang Nata yang sesak nafas karna ulah mereka.

Oh, aku salah faham. Menurut curhatan Nata selama ini kepadaku, semua murid sekolah tau bahwa seorang Daiyu ini adalah murid paling pendiam yg tidak bisa membalas orang-orang yg jahat padanya. Dan bisa jadi Hyun adalah satu dari mereka.

"Aku tau namamu dari tabloid pusat kesenian tongzhou semester lalu. Selamat untuk karyamu itu"

Aku diam, menatapnya sebentar. Sepertinya aku salah menebak kalau Hyun sama seperti anak anak lain yg ada dalam curharan Nata.

Lalu dari mana dia tau kegiatan amal kami, apakah anak ini yang waktu itu membuat soundtrack untuk acara drama lukisanku dan Nata.

"Kau Hyun Lee yang membantu acara amal aku dan Nata waktu itu?" Aku mulai penasaran.

Sepertinya Nata pernah menyebut namanya beberapa kali waktu acara berlangsung. Dan aku hanya tau namanya saja waktu itu. Aku tidak bisa menemuinya, Nata bilang dia orang yang sibuk dan sulit ditemui. Jadi aku menitipkan terimakasih lewat asistennya.
"Yap, tepat sekali. Kau suka dengan senandung sondtracku Daiy?"

Siapa yang tidak suka dengan soundtrack hebat itu. Hampir semua penonton dan anak-anak berkebutuhan khusus di acara itu menangis, ketika dentingan-dentingan awal musik dimainkan.

Ternyata murid laki-laki ini adalah salah satu pemusik muda terbaik yang dimiliki sekolah dan daerah kami Tongzhou. Dia bukan orang biasa, dan aku tidak menyangka kalau kita seumuran bahkan satu sekolah.

"Hanya yang hatinya rusak yang tidak bisa mendengar tulus dari senandung soundtrack waktu itu Hyun" jawabku.

Bersambung...
Part V

Penasarankan ? Cieee..cieee :D
Penulis : Umi Wijaya Lau

"Cukuplah kusimpan semua ceritaku yang dulu, tentangngku, tentang semua yang membuatku tidak berarti"

Minggu, 03 Juli 2016


Part III
Senandung lirih terus bertanya pada langkah-langkah mimpi yang mulai mendaki. Sanggupkah kaki ini melangkah meninggalkan seseorang yang paling berarti. Menyanggupi permintaannya untuk terus meraih langit mimpi yang indah.
Langit mimpi yang diinginkan semua seniman muda di daratan negri ini. Ah, Lagi -lagi soal pilihan, pilihan untuk memilih atau meninggalkan.
Coba saja semua ini bisa lebih mudah aku terima, aku jalani, tanpa harus merasa terbebani.
Tapi, apalah aku. Hanya seorang manusia yang sedang dititipkan amanat besar oleh Tuhan.
Apalah aku ini, manusia kecil yang terbuat dari daging yang bisa rusak dan mati kapan saja.
Ya, aku ini biasa saja. Bukan manusia yang terbuat dari batu dan besi. Sedikit saja aku lupa dan sombong. Lalu waktuku habis, kiamat sudah hidupku. Kiamat yang bisa dirasakan semua orang. Termasuk diriku yang kecil ini.
***
"Besok hari kelulusan kita Daiy". Natalia tiba-tiba sudah duduk disampingku.
"Iyah, lalu kenapa?"
Aku menjawab singkat.
"Berarti setelah itu, kita sulit bertemu?" Natalia mulai mengacaukan perasaannya lagi sore ini.
"Perasaanmu terlalu berlebihan Nat! Sudah cukup sedih-sedihannya kemarin"
Natalia mengambil tisu ditas kecilnya, menghapus sedikit air matanya yang hampir jatuh.
Setiap sore ini aku selalu menghabiskan waktu menatap pohon-pohon lie di taman sekolah bersama Nata. Sedikit mengurangi kepenatanku dari keributan-keribuatan masa lalu disekolah.
"Pohon itu penuh ketegasan namun tetap cantik, sama sepertimu Daiy"
Bisik seseorang yang tidak asing dalam ingatanku. Bisikan itu cepat sekali menghilang. Aku langsung melihat kesemua arah taman dekat tempat kami istirahat. Mencari kemana perginya bisikan itu.
Sore ini terlalu banyak siswa yang lewat disekitar kami.
Mungkin karna sekolah sedang sibuk untuk acara kelulusan besok.
"Nata, siapa yang tadi lewat dibelakang kita?"
Kening Nata langsung berkerut mendengar pertanyaanku, orang yang berperasaan seperti dia memang sulit sekali diajak bicara to the point.
"Maksudmu hantu Daiy?" Tanyanya yang mulai ketakutan.
Aku tersenyum kecil meresponnya, sudahlah abaikan saja. Mungkin aku salah mendengar. Atau mungkin tidak tertuju untukku.
***
Tingkat Pertama
Art Internasional Tongzhou
"Itu lukisanku, aku yang membuatnya" Aku mulai berteriak menarik semua perhatian di kelas.
Zen menatap tajam sama seperti tatapanku. Dia mulai mendorongku ke pojok kelas. Aku bisa saja membalasanya balik. Bahkan aku bisa melukainya dengan luka paling menyakitkan dalam waktu yang singkat ini.
"Apa yang kalian lakukan!!!" Teriak Nata yang tiba-tiba datang ke kelasku.
Psikis Nata lembutnya bukan main, sekali dia teriak. Berarti beberapa menit lagi dia akan segera masuk ruang kesehatan. Dan ini menambah masalah, bukan menyelesaikan masalah yang ada.
Nata juga didorong sampai terjatuh oleh teman-teman Zen yang sama jahatnya. Aku harus bertindak cepat, sebelum Nata menjadi sasaran empuk mereka.
Air mata nata sudah jatuh deras sekali. Dia ketakutan bukan main. Aku langsung melepas dasi sekolahku, aku tarik tangan Zen, aku ikat tubuh dan tangannya dalam satu menit. Tubuh kecil anak manja seperti dia mudah sekali untuk dipermainkan seperti gangsing. Aku dorong dia, lalu sedikit aku kasih tamparan manis.
Seketika teman-teman Zen diam melihatku. Mungkin mereka takut. Karna selama ini aku terlihat makhluk paling pendiam dikelas.
Aku ambil dasi Nata, aku tarik mereka bertiga. Sebenarnya mereka terlalu manis untuk disakiti. Tapi anggaplah ini akhir permainan kelas lukis bersama anak-anak menyebalkan seperti mereka.
"Ini akhir semester kelas lukis ditahun pertama sekolah, jadi simpalah kenangan manis kita baik-baik"
Ancamku kepada mereka.
***
Siapa yang senang karyanya diambil dan diakui begitu saja. Ini lomba nasional, dan dia dengan mudahnya menduplikat lukisanku dengan jabatan ayahnya itu.
Astaga, inikah dunia yang sebenarnya!. Batinku.
Bersambung...
Gimana gimana ???
Senandung lirih malam ini..
Penulis : Umi Wijaya Lau

“Cukuplah kusimpan semua ceritaku yang dulu, tentangku, tentang apapun yang membuatku tiada berarti.”

Sabtu, 02 Juli 2016





Part II

Akhir-akhir ini langit biru cepat sekali berubah menjadi kelabu. Bukan masalah kalau hujan mau turun terus, selama apapun hujan turun. Aku akan menerimanya dengan senang hati. Akan kubiarkan hujan menghapus semua kelemahanku, menutup bayanganganku, memperlihatkan betapa kuatnya aku berdiri sendiri disini. Lihatlah, aku masih hidup, masih bernafas, masih bisa mencium harumnya tanah yang basah. Masih bisa hidup.

“Bagaimana sekolah hari ini Daiyu ?” Tanya ibuku.

“Baik, baik sekali” Aku menjawabnya dengan senyuman paling manis yang aku miliki.
Aku mulai membersihkan kakinya yang semakin memerah. Lukanya terus bertambah. Sedikit saja aku salah membersihkan, air mata ibuku akan jatuh. Menahan betapa sakitnya kakinya sekarang. Kalau saja bisa diganti. Biarlah kakiku ini yang sakit, biarlah semua luka itu pindah untukku. Biarlah aku saja yang merasakannya.

“Oh, ya bagaimana sekolahmu hari ini Daiyu?” Tanya ibuku lagi.

“Baik, baik sekali bu”. Aku tersenyum, menjawabnya lagi sengan senyuman seperti tadi, bahkan lebih manis lagi.

Entah berapa kali ibu mengulang pertanyaanya dalam sejam. Aku akan menjawabnya dengan ekpressi yang sama. Aku akan tetap menjawabnya dengan baik, dengan senyuman yang paling manis. Aku tidak akan melukiskan kesedihan apapun untuknya. Untuk manusia paling terhormat yang aku cintai di dunia ini.

“Daiyu, bagaimana sekolahmu hari ini?”. Aku menatapnya lagi dengan hangat, mencium keningnya dan berbisik sedikit “Baik, baik sekali. Aku senang sekolah disana bu.” Lalu aku memeluknya dan mulai menahan sesak.

Tuhan, jangan ijinkan aku menangis didepanya. Tahan aku sampai akhir, aku mohon.

***

Congrats For Daiyu. From Tongzhou Bejing. Art Internasional Tongzhou.

Email itu baru masuk beberapa menit yang lalu. Natalia langsung menelfonku dan memintaku datang kerumahnya membawa berkas-berkas yang diperlukan. Aku malas sekali mengurusi akademi itu.
 Aku benar-benar tidak bisa memilih ataupun menolak.

“Menangislah nata, terimakasih sudah menjadi sahabatku selama ini”

“Kamu serius akan pergi Daiy?”

“Aku tidak akan pergi, kalau ibuku yang memintanya”

“Tapi, beliau yang memintamu pergi, dan lihatlah perjuanganya bertahun-tahun ini untuk sekolahmu.

“Aku tidak pernah sanggup menolak permintaanya , Bagaimana mungkin aku akan pergi ke Akademi di luar negri itu! Sedangkan beliau sudah tidak bisa berjalan”.

“ Semakin lupa dengan banyak hal. Termasuk denganku. Dan kau tau! Kenapa kemarin aku hampir terlambat ke sekolah. Ibuku lupa kalau aku anaknya, beliau lupa namaku, wajahku, Senyumku…"

"Beliau menanyakan banyak hal dan terus diulang-ulang seperti biasanya. Kau tau Nata!, ini yang paling aku takutkan dari dulu”. Kini tangisku sudah pecah"

“Aku tidak pernah takut ketika tidak dianggap oleh teman-teman, aku tidak pernah takut dengan ejekan mereka, bahkan ancaman merekapun tidak pernah aku takuti sama sekali. Kau yang melihatnya selama ini, selama tiga tahun terakhir di sekolah itu”.

“Anggap dulu itu perjuanganmu,aku tau betapa sakitnya ketika lukisamu diduplikat oleh anak penjabat itu. Aku ingat ketika kau harus berurusan dengan polisi karna fitnah mereka.
Ah,sudahlah kau bukan lagi bayangan seperti anggapan mereka. Lihatlah sekarang siapa Daiyu, batu giok hitam terbaik ini. Berhasil terpilih dari ratusan delegasi di daratan paling luas di Asia Timur. ”.

The End tapi gantung... Hhaha
Bersambung tapi gak tau kapan lanjut lagi...Hahah
Gimana dengan Tokoh Daiyu Lau :D
Akankah Batu Giok Hitam ini berani memilih,,
Ditunggu komentarnya :)

Penulis : Umi Wijaya Lau/Blogspot

2 Juli 2016
25 Ramadhan Kareem

12.01 Am

“Cukuplah kusimpan semua ceritaku yang dulu, tentangku, tentang apapun yang membuatku tiada berarti.”

Part I


Bejjing, November 2008

Deretan pohon lie berdiri tegak melukis ketegasan daratan asia timur. Mensketsakan bayangan daun-daun pohon lie diatas air sungai. Ah, Cantik sekali memang pohon ini. Seperti lukisan bergerak walaupun sebatas bayangan.

Apakah diriku terlihat seperti itu selama ini, menjadi makhluk yang bergerak namun hanya dilihat sebagai bayangan. Dipandang sekilas lalu dilupakan, atau sekedar diingat tapi di abaikan. Arrggh, menyakitkan sekali. Andaikan perasaan ini bisa digambar di atas kertas, mungkin warna kesedihan sudah habis aku pakai sebagai pensil warnanya.

Tiga ratus enam puluh ribu detik dalam satu jam aku bernafas. Berubah menjadi tujuh ratus dua puluh menit dalam dua puluh empat jam, dan lihatlah aku masih bernafas.

Tiga ratus enam puluh lima hari dalam setahun aku masih hidup. Dan lihat aku tetap bernafas.
Lalu menjadi tujuh ribu enam ratus enam puluh lima hari dalam dua puluh satu tahun. Lihatlah, lihat aku terus hidup dan bernafas.

Jadi apa alasannya aku harus begitu sedih hanya karna dianggap sebagai bayangan. Toh, diriku masih tetap hidup sampai sekarang ?
Haruskah aku hidup dengan nafas yang baru, dan menjadi seseorang yang baru. Lalu mengganti semua tentang diriku.
***
Art Internasional Senior High School

Berlari melawan hujan memang tidak ada habisnya, tetap saja akan basah. Sebesar apapun payung yang dipakai, tetap saja basah. Sebesar apaun jas hujan yang kau pakai, tetap saja basah. Jadi, tidak ada alasan untuk berhenti dan mencari tempat meneduh di pingiran ruko. Halte atau bawah fly over.
Lima menit saja aku mengurangi kecepatan berlari, gerbang sekolah tidak akan mau terbuka lagi. Gak perlu alasan apapun. Terlambat ya, tetap terlambat!

“Wait me Mr. Jack!”
 Aku langsung berteriak melihat penjaga sekolah yang hampir menutup gerbang sekolah yang hitam mencekam itu.

Sekitar sepuluh meter lagi aku sampai ke sekolah. Mr Jack seperinya berpura-pura tidak mendengar. Padahal dia tau kalau masih ada siswi yang sedang berlari sambil berteriak memintanya untuk tidak menutup gerbang.

“Ini yang terakhir. Please!”
Apakah aku harus menangis di depan manusia agar dikasihani. Lagipula kalaupun aku menangis, tidak ada gunanya sama sekali. Karna, hujan akan menyamarkan tangisanku.
Tapi aku tidak dilahirkan untuk menjadi wanita selemah itu. Aku sudah berusaha untuk tidak terlambat. Pagi ini sudah banyak sekali kejadian yang tidak bisa aku jelaskan.

“Hari ini ada ujian, aku harus ikut kelas”.
Aku akan menjelaskan nanti, ini yang pertama dan terakhir aku terlamabat. Aku berusaha meyakinkannya.
***

Pilihan memang menuntut untuk dipilih. Entah untuk dipilih atau tidak dipilih. Lagi-lagi hari ini aku masih saja bertanya pada diri sendiri, aku harus memilih apa, melepas yang mana, memperjuangkan apa, dan seterusya.

“Daiyu bagaimana ujianmu tadi?” Tanya Natalia

Belum ada yang bisa aku mengerti tentang diriku sendiri, sampai detik ini.
Untuk mengerti diri sendiri saja sudah cukup sulit sendiri. Apalagi mengerti orang lain.

"Jadi apa yang harus aku pilih ?"
Tanyaku balik kepada Natasya

Bersambung...

2 Juli 2017
11.52 Pm

Penulis : Umi Wijaya Lau

***
"Allah Maha Tau apa yang hambanya lakukan"

Azalia Lee ( Part IV / Terakhir )

Rabu, 02 Maret 2016







Dave sudah berkali bolak-balik di depan ruang operasi. Wajahnya sangat gelisah. Dia tidak bisa tenang sama sekali. Hatinya benar-benar sedang tidak karuan. Semuanya menjadi satu. Antara merasa bersalah, kecewa, takut, dan perasaan yang tidak bisa dia artikan sekarang. Perasaan yang  selalu membuat dia menjadi khawatir terus menerus dengan Az. Perasaan takut, takut Az tidak sadar dalam waktu yang lama seperti di Hongkong dulu. Perasaan yang benar-benar mebuatnya menjadi lebih banyak menangis, di dalam doa sepertiga malamnya. 

“Sekarang kamu yang benar-benar ceroboh! Sampai tidak membawa obatmu Az. Kau terus saja membuatku khawatir. Benar-benar khawatir!”. Batin Dave sambil terus bolak balik di depan ruang operasi.

Nisa sudah tidak bisa berbicara apa-apa lagi setelah memakaikan jilbab Az tadi di masjid kampus . Az tiba-tiba saja jatuh dalam pelukan Nisa. Membuat Nisa menjadi sangat panik. Orang pertama yang harus dihubungi adalah Udanya. Dave harus tau tentang ini semua.

Nisa segera mengambil handphone di dalam tasnya. Lalu memanggil panggilan cepat yang langsung sampai ke Uda Dave.
“Az,, Azaliaa tidak sadarkan diri Da, Cepat bawa mobil ke masjid”. Suara Nisa sudah dipenuhi isak tangis dan kekhwatiran. 
Dia sudah tidak lagi memikirkan orang-orang yang melihatnya menangis dan berteriak memanggil nama Azalia berkali-kali. Beberapa teman yang mengenalnya pun segera menghampiri dan membantu sebisa mereka.

Mobil Dave datang, Nisa langsung berlari memeluk Dave dan menangis. Tangan Dave terlihat baru saja selesai diperban. Nisa ingin sekali bertanya, tapi dia tau Az harus segera dibawa kerumah sakit.  Beberapa teman perempuan yang ada di masjid langsung membantu Nisa membawa Az kedalam mobil.

Hampir sampai parkiran mobil, Nisa terjatuh karna tidak memperhatikan jalan. Akibatnya kepala Az hampir mengenai aspal jalan depan masjid. Dave langsung bergerak cepat mengantikan Nisa. “Biar aku saja, ini sudah terlalu urgent. Tolong lihat kaki Nisa”. Minta Dave kepada teman-teman Nisa yang tadi mengendong Az.

Dave sudah tidak lagi mengingat tangannya yang memar dan di perban karna kecelakaan tadi pagi. Kecelakaan karna meneriaki Az yang hampir tertabrak. Dia lagsung membawa Az kedalam mobil. “Maafkan aku Rabb”. 

Batin Dave setelah mengendong Az kedalam mobil. Kaki Nisa terkilir sedikit, lalu meyakinkan kepada teman-temannya kalau dia baik baik sja. Nisa langsung bangkit, melupakan juga rasa sakit di kakinya. Dan segera memaksakan jalan mengejar Udanya.

“Aku baik-baik saja, segera ke Rumah Sakit Da”. Pinta Nisa dengan isakan tangisnya yang belum berhenti sejak tadi.

***

“Aku tau semua mimpimu, aku tau semua tangisanmu Az".

 Nisa sudah menceritakannya kepadaku. Aku hanya ingin kau bisa hidup lebih tenang dengan jalan agama kita yang memang menenangkan. Itu saja.” Dave masih berbicara pada dirinya sendiri, sambil terus berdoa. Sesekali dia menatap ke pintu ruangan operasi. Berharap dokter segera keluar dan memberikan kabar baik.

“Bagaimana keadaan Azalia Dave?”

Kedatangan ummi sudah ditunggu sejak tadi. Ummi langsung berangkat dari padang ke depok. Setelah Dave memberikan kabar beberapa jam yang lalu. Wajah ummi sangat khawatir, sama seperti wajah Nisa dan Dave. Bahkan matanya lebih sembab dari mata Nisa yang bahkan belum juga berhenti menangis sejak tadi.

“Aku berharap Az akan baik-baik saja”. Jawab Dave dan langsung mencium tangan umminya. “Nisa masih menangis di masjid dari tadi Mi”. Ummi langsun mengelus kepala Dave, dan mecium keningnya. Memberikan isyarat bahwa dirinya faham apa yang terjadi lalu meminta Dave untuk duduk tenang dan terus berdoa. 

 ***
Kali ini langit senja menemaniku cukup lama. Bersama kumpulan buku-buku dan jurnal sudah memenuhi meja belajarku. Setelah ini semua selesai, aku ingin merasakan senja sendirian tanpa tumpukan apappun. Apalagi tumpukan buku.

“Assalamualaikum, Az. Sudah minum obatmu?”. Nisa sudah datang lagi dengan bawaan rahasianya.

Dua minggu yang lalu menjadi masa-masa kritis yang membuatku takut, membuat Nisa tidak berhenti menanagis. Membuat Dave menjadi tidak karuan dan tidak pernah tenang. Apalagi ummi, beliau benar-benar mengurus kami bertiga dalam satu waktu. Aku benar-benar bersyukur masih bisa hidup. Masih bisa bernafas dan melihat semua senyuman mereka kembali. Aku berjanji aku memperbaiki semua kebodohanku selama ini.
            
    “Walaikumsalam, sudah. Kamu bawa apa lagi Nis?”
            
    Nisa lalu meletakan bingkisan itu di atas kasurku, dia tersenyum dan menatapku serius sekali. “Kau mau mengajakku diskusi apalagi”. Aku langsung menyidirnya. Setidaknya agar tatapap seriusnya berubah, agar aku segera tau maksud tujuan pemberian bingkisannya.
               
 “Kamu kapan sidang?” Nisa langsung mengganti topik pembicaran.

  “Tergantung, Abangmu Nis”. Jawabku singkat, lalu memulai mengetik skirpsiku kembali.

” Kalau Dave bisa menerima kesimpulan akhirku. Besok aku akan langsung daftar sidang”.
              
  Nisa sudah selesai sidang sebelum aku pinsan di masjid beberapa waktu yang lalu. Dua Minggu kemarin sebenarnya masa-masa revisinya. Tapi, karna dia menangis terus dirumah sakit. Dan hampir 24 jam menemaniku pasca operasi. Alhasil dia baru memulai revisinya lagi sekarang.

                “Kamu harus tanggung jawab dengan tangisanku yang berhari-hari itu”. Nisa sudah memulai lagi sikap anehnya sekarang.

                “Apa yang harus aku lakukan”. Aku menjawab asal sambil terus fokus mengetik. 

“Menikahlah dengan Uda Dave Az, aku janji akan terus bahagia setelah itu.”
                
 Langit sepertinya belum runtuh, senja juga belum berakhir. Seperti adzan magrib yang akan menjadi saksi permintaan Nisa barusan. Tapi, apa telingaku yang salah pendengaran. Sepertinya aku salah merespon Nisa barusan.  Atau Nisa yang sedang merespon berlebihan tawaranku.

                Andai saja ada recorder aku akan rekam permintaan aneh Nisa barusan. Aku akan berikan ke Dave pasti dia akan tertawa terbahak-bahak. Bahagia melihat kelucuan adiknya.

Aku menatap Nisa lama, berhenti mengetik. Aku harus meyakinkan apa yang dia katakan barusan. Sepertinya jaringan otak Nisa sedang bermasalah akibat kebanyakan menangis. Aku berharap ini sekedar candaan. Kalau memang keseriusan, aku belum berfikir untuk kearah sana.

                “Apa Nis ?” Tanyaku lagi meyakinkannya. 

                “Tadi kamu yang menawarkan harus melakukan apa untuk mengganti tangisanku selama kau sakit. Dan, aku mau kamu menikah dengan Uda” Nisa menjawabku serius sekali. Tidak terlihat dia sedang bercanda. Tapi apa penyebabnya. Aku bahkan hampir sesak nafas lagi ketika dia menyampaikan permintaanya lagi barusan. Sesak nafas ini bukan karna operasi paru-paru stadium satu kemairn. Tapi ada hal-hal lain yang harus dave sendiri yang menjelaskan kepadaku. Makhluk serius seperti dia tidak mungkin memainkan perasaan untuk menjalin hubungan yang serius kan?

                “Tidak semudah itu Nis”. Aku menjawabnya langsung dengan penuh keyakinan. “Aku akan fokus dengan banyak hal, termasuk soal ibadah-ibadah yang baru aku pelajari. Kamu berjanji untuk mengajariku loh Nis!”. Aku mulai mengingatkannya lagi.

                “Kalau kamu menikah sama Uda, dia akan mengajarimu banyak hal soal ibadah Az”. Nisa mengarah ketopik pernikahan lagi.

                Aku segera mengambil majalah fakultas yang baru saja terbit. Dan memberikannya kepada Nisa. Sebenarnya Dave sudah masuk list laki-laki popular di kampus. Sampai menjadi tranding topic terus menerus di salah satu rubrik idola di tabloid ini. Menjadi harapan banyak orang diluar sana. Termasuk harapan untuk dijadikan imam pilihan. Aku rasa Nisa suda lebih faham soal itu.

 “Dave itu hafidz, lah aku ? Karya tulisnya baru saja diangkan ke media internasional. Sedangkan skripsiku aja belum selesai. Aku mulai mengetik lagi sambil menyampaikan realitas yang ada.
Promosi dokternya juga gak akan lama lagi, Kalau sidang tesisnya disegerakan dalam tahun ini.  “Aku tau semuanya Az. Makanya aku maunya Uda sama kamu!”

”Gak semudah itu, aku ngaji sama shalat aja masih belajar Nis.Gimana mau nikah?”. Lagipula  banyak pilihan lain yang lebih tepat untuk Dave. Apalagi untuk dijadikin istri. Teman dakwahmu juga sepertinya banyak yang menagumi Dave”. 

Nisa terlihat cemberut mendengar jawaban santaiku. Aku malas membahas soal ini. Lagipula ini permintaan hanya karna kesalahan responku barusan. Bukan karna hal lain. Jadi tidak terlalu serius.

Shalat magrib yuk. Siapa tau setelah shalat aku mendapat hidayah untuk menerima tawaranmu. Candaku menggoda Nisa.

***
                Sejauh apapun kamu pergi, kalau kamu jodohku. Kita akan bertemu lagi.

Barusan Nisa menjelaskan tentang shalat tahajud, salah satu shalat sunnah yang membuat malam menjadi menangis haru. Membuat langit berbisik rindu, dan tentunya membuat cinta bersujud tanpa nafsu. Lagi-lagi bahasa cinta Nisa keluarkan lagi. Tidak ada habisnya dia merajuk memintaku menermima lamaran Dave. Padahal, Davenya saja tidak pernah bicara masalah aneh itu. Jangankan bahasan lamaran, soal kesimpulan skripsi yang aku buat saja dia tidak respon. Apalagi untuk yang lain.
“Awal bulan aku sidang, jangan bahas soal cinta lagi Nis!”

Nisa langsung mencubit pipiku. “Aku tidak membahas cinta, aku hanya membahas jodoh Az”. Aku langsung mendengus sebal. Sama saja, mau cinta mau jodoh. Ujung pembicaraannya adalah pernikahan. “Aku sudah memesan tiket ke Hongkong, besok pagi aku berangkat”. 

“APA ?” Wajah ceria Nisa tiba-tiba langsung berubah menjadi wajah penuh ketidakpercayaan. 
“Sebelum sidang, aku perlu beberapa data penting dari Hongkong”.

 Nisa langsung cemberut kesal, mungkin dia marah karna aku tidak cerita terlebih dahulu. Sebenarnya aku sengaja, biar bisa ke Hongkong sendiri. Lagi pula dia harus menyiapkan acara pernikahannya. Kasian Ummi kalau harus mengerjakannya tanpa sang calon pengantin.

“Minta tolong Buya kirim data-data itu langsung dari Hongkong. Bisa kan?”

Nis, aku gak lama kok. Setelah dapat, aku langsung balik dan membantu acara pernikahanmu. Aku mencoba meyakinkannya. “Dari Hongkong, aku langsung ke Padang sama Buya”. Aku tau Nisa sedang menunggu jawabanku untuk permintaanya. Permintaan untuk menerima lamaran Dave. Jujur saja, aku sedang ingin fokus mengejar semua keterlambatanku. Apalagi soal agama, belum lagi urusan pendidikanku. Sidang sudah di depan mata. 

Dave sudah menyelesaikan tugasnya sebagai pengganti pembimbing skripsi kemarin. Tepat ketika aku mendaftar sidang. “Terimakasih banyak untuk semuanya Dave”.

 Sebatas ucapan terimakasih dan hadiah kecil yang bisa aku berikan untuknya. Dave tidak menjawabku, dia tetap diam. Sekedar menjawab sama-sama saja sepertinya dia terlihat sulit sekali. Tapi itu tidak masalah lahi. Aku tidak akan berfikir dia kejam lagi sekarang. Dulu aku salah, sangat salah dan bodoh. Sampai-sampai harus berfikir buruk untuk semua kebaikan Dave kepadaku.

“Sekali lagi terimakasih. Assalamualaikum, ”. 

Aku menunduk dan langsung pergi meninggalkan Dave. Biarlah angin menundukan pandangan kami mulai sekarang. Menundukan semua perasaanku yang sedang aku mulai tata secara perlahan. Aku tidak akan membantah lagi sekarang. Tidak akan marah,terserah Dave mau menjawab atau tidak. 
“Walaikumsalam, sama-sama Az. Jaga kesehatanmu”.

Aku semakin percaya sekarang, selama ini yang dikatakan Nisa adalah benar. “Dave sangat memperdulikanmu Az, dia yang paling khawatir, tidak peduli dia sakit, atau terluka”. Jika semua mozaik dari awal aku rangkai, mungkin air mataku akan habis hanya karna menangisi semua kebaikan tulusnya selama ini.

***

“Jangan bilang kau ingin lari dari permintaanku Az”. 

Selidik Nisa yang lengsung membuyarkan lamunanku.

 “Apa Uda tidak pernah membahas soal perasaanya kepadamu?”. Aku langsung menyeringai mendengar pertanyaan anehnya lagi.

 “Apa kau mencintai Bang Fatah Nis?” mengalihkan topic lebih baik sepertiya.
“Az, kau selalu mengalihkan pembicaraan!”. Aku tersenyum menatapnya, tatapan ini sebenarnya sudah cukup membuat Nisa mengerti kalau aku tidak ingin membahas soal Dave. 

“Baiklah, kita akan ganti pembicaraan, walaupun satu tema”.

Aku tergelitik mendengar jawabanya, satu tema. Benar juga. “Aku belum mencintai Bang Fattah, tapi jujur aku mengagumi akhlaknya Az. Cintaku hanya untuk suamiku nanti, setelah Bang Fattah melakukan ijab qobul dengan Buya. Dan dia menjadi suamiku, baru aku mencintainya.

Keningku langsung berkerut mendengar jawaban Nisa. “Bagaimana bisa kau tidak mencintainya, tapi yakin menjadikan suami?” Tanyaku langsung tanpa ampun. Realistis sedikitlah agar aku faham tentang ini.

Nisa langsung tertawa mendengar pertanyaanku yang panjang itu. “Sepertinya kau sudah mulai tertarik dengan pernikahan?”. Aku langsung membuang muka, mendengar responnya.

Ingat perkataanku dulu, kalau perasaan punya hak untuk didengarkan. Kalau dia layak untuk diterima, hatimu yang suci itu pasti akan menuntun untuk meniyakan. Tapi kalau tidak layak, hatimu juga yang akan menolak. Setidaknya shalat tahajud yang tadi kita bahas bisa menjadi salah satu sarana yang membantu hati untuk mengiyakan atau menolak.

“Jadi sejauh apapun kamu pergi, kalau Uda Dave jodohmu. Pasti akan ketemu lagi”. Hahhaahha

Akhir penjelasan yang kurang menyenangkan. Lemparan guling sepertinya cukup membalas kejailannya yang selalu membahas Dave dalam setiap pembahasan.

***
Hongkong, Victoria Harbour 2016

                Bukankah semua orang seharusnya percaya, bahwa bumi adalah makhluk yang memiliki hak untuk didengarkan. Sama seperti hal yang lainnya, mereka memiliki hak yang sama untuk didengarkan. “Termasuk perasaan, dia harus benar-benar didengarkan”. Dengarkan hatimu, kalau dia layak diterima. Hatimu akan menutun. Kalau tidak ,pasti akan langsung tetolak. Nisa, ternyata kata-kata ini sudah menjadi trending topik dalam pikiranku sekarang. Pasti kalau kau tau, kau akan bahagia sekali sekarang.

                “Assalamualaikum, Buya. Ini Az, Az masih dipelabuhan, setelah ke makam Ayah. Aku nanti langsung ke kantor insyAllah”. 

Kapal Feri yang aku tumpangi sedikit terlambat dari jadwal keberangkatan. Menatap laut bukan jadi solusi yang efektif untuk menghilangkan kecemasan ini. Trauma bukan main melewati laut Hongkong. Melihat empat puluh pencakar langit. Dan mengingat symphony of the light membuat aku sulit bernafas. Kebakaran kapal beberapa tahun lalu. Masih terbayang jelas. 

Setelah menelfon Buya barusan. Kenangan tentang Ayah semakin menyeruak langsung kedalam pikiranku. Kecemasanku sudah menjadi-jadi sekarang. Semaki dekat dengan pemakaman Ayah dan Amak. Semakin parah rasa kecemasanku. Untuk mengambil keputusan  berangkat ke Hongkong saja itu seperti anatara hidup dan mati. Tapi ini memang prosesnya. Aku tidak akan kalah dengan ketakutatan.

Jujur memang sesak sekali rasanya Rabb. Jangan biarkan aku menangis di atas makam mereka. Aku melangkah perlahan memasuki pemakaman besar chines di tanah Kowloon. Tasbih dan shalawat tidak henti-hentinya aku ucapkan. Walaupun pengucapan tasbis dan shalawatku masih buruk. Pengucapan hurufnya belum jelas. Aku berusaha ini tidak mengusik kekhusyuanku untuk mendoakan Ayah dan Amak. 

Assalamualaikum Ayah, Amak. Az selau berharap makam ini menjadi taman-taman surga untuk Ayah dan Amak. Maaf karna Az terlambat menyadari mimpi menyakitkan itu. Betapa bodohnya Az, kalau Ayah sudah sangat rindu doa-doa dari Az. Az sudah shalat sekarang, sama seperti Ayah. Tadi teman Ayah dipelabuhan bilang, kalau Ayah sudah shalat dan sering menjadi imam shalat jum’at semenjak kembali ke Hongkong.

Terimakasih sudah menjadi Ayah yang baik untuk Az. Untuk Amak, terimakasih sudah menjadi bidadri yang paling sabar selama mengurusi Az dan Ayah. Az ingin sekali memangis dan memeluk Ayah lagi. Meneluk Amak. Tapi Az sudah berjanji, tidak akan menangis lagi.

Besok Az akan langsng kembali ke Indonesia. Sebentar lagi Az akan sidang. Nisa akan menikah dengan Bang Fattah. Sahabat baiknya Dave. Ummi Aisyah sehat dan sayang sekali dengan Az. Ummi sangat senang menceritakan kisah Amak dan Ummi dulu waktu belajar di pondok dan dikampus. Buya juga baik sama seperti Ayah.

 “Nisa meminta Az untuk menerima lamaran Dave, padahal Dave tidak mengatakan appaun. Lagi pula Az masih perlu belajar banyak. Membedakan kasroh sama fathah saja Az masih sulit. Sedangkan Dave seorang hafidz sejak Amak mengajak Az dulu kerumahnya pertama kali”.

Oh ya, Buya sudah menunggu di kantor. Sesering mungkin Az akan datang ke Hongkong. Mengunjungi makam ini. InsyAllah, Setidaknya doa Az akan selalu  sampai. Az usahakan sampai hembusan nafas terakhir yang Az milikki.

***

Konsulat Jendral RI Hongkong
127-129 Leighton Road, 6-8 Keswick Street , Causeway Bay Hongkong

Kantor Buya ternyata tidak banyak berubah. Semenjak kejadian itu, semuanya masih sama. “Assalamualaikum, Azalia. Sehatkah kamu ?” Mata Buya langsung berkaca-kaca melihat kedatanganku. Sepertinya beliau benar-benar terharu dengan semua perubahan dalam diriku sekarang. “MasyAllah, ini gamismu ummi kah yang memilihkannya ?”.

“Walaikumsalam Buya, aku langsung mencium tangannya. Rindu sekali mencium tangan Buya. Bertemu Buya dan berbicara banyak hal bersama Buya. “Iyah, semuanya Ummi dan Nisa yang pilihkan”. Buya tersentum penuh arti mendengar jawabanku. Beliau langsung mempersilahkan aku duduk di kursi yang sama. Kursi yang mengingatkan tentang kebakaran kapal, meninggalnya Ayah dan Amak.

“Apa kabar Dave, Az ?” Pertanyaan Buya langsung menabah kecemasanku yang belum hilang. Entah kenapa atmosfer Hongkong menjadi menyeramkan seperti ini.

 “Buya dengar, Dave mau menikah”. Aku hanya tersenyum sedikit menjawab pertanyaan Buya. Semoga hatiku tidak sakit kalau nanti Dave menikah dengan orang lain. Sepertinya, aku mulai faham tentang perasanku sekarang. Ketika aku menjauh, baru aku faham. Terlambat lagi. Batinku mendengus kesal.

            “Dave meminta Buya untuk melamarkanmu Az, ini lucu sekali bukan. Tapi ini serius Az”.

Deg, Ini Buya kan yang bicara, Buya tidak mungkin bercanda seperti Nisa.

 “Ummi barusan telfon, Nissa dan Dave sudah di sampai Padang. Kamu tau Az, Dave itu yang paling khawatir waktu kejadian di rumah sakit waktu kamu pinsan di kantor ini. Dave juga yang meminta untuk memulangkan kalian bertiga ke Indonesia setelah itu. Agar bisa saling menjaga dan mengawasi”.

 Seakan-akan langit mau runtuh. Hatiku bergetar buka main. 

            “Dave belajar giat sekali selama ini, dia selalu bercerita agar bisa jadi asisten pembimbing untuk skripsimu.  Dan ternyata Allah mengabulkannya. Alhamdulilah. Dan kau tau ? Tiap malam dia menelfon Buya karna khawatir dengan semua yang terjadi kepadamu. Apalagi semenjak mimpi-mimpi Ayahmu datang. Nisa tidak henti-hentinya menangis menceritakannya kepada kami semua. Dave paling strees saat itu”.

 Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Selain menunduk dengan perasaan yang campur aduk.
        
 Ada cerita yang sangat lucu dan ini sangat penting untuk kamu dengarkan. Ini bisa menjadi bahan pertimbanganmu untuk menjawab niat baik Dave. “Kamu ingat waktu kamu berumur empat belas tahun ?” Aku langsung mengangguk dan menatap serius pembicaraan Buya. Itu hari pertamaku berumur empat belas tahun dan Amak mengajjakku kerumah Ummi dan Buya. Dan pertama kali bertemu dengan Dave.

Ketika itu kamu mendengarkan hafalan Dave bukan ?. Aku mengangguk sekali lagi. Aku ingat kejadian itu ketika Dave menegurku karna, belum bisa mengaji. 

Dave bercerita semangat sekali waktu Buya baru pulang dari kantor. Dave bilang, kalau tadi ada perempuan chines anak dari sahabatnya ummi yang mendengarkan hafalannya. Maniisss sekaliii, kalah semua jenis gula yang ada di ranah padang. Aku langsung tertawa mendengar cerita Buya yang satu ini. Dave bukan orang yang suka memuji selama di kampus. Buya tidak akang bohong. Lagipula, aku mamng manis. Hehhee

 “Tapi dia belum bisa ngaji. Nanti kalau Dave sudah pintar dan menjadi hafidz seperti Buya. Azalia akan Dave jadikan istri dan Dave ajarkan mengaji. Buya maukan nanti melamarkannya untuk Dave. Dave tidak akan berani menyampaikannya sendiri”. Ayah mengakhiri ceritanya sambil tertawa senang sekali. Aku juga ikut tertawa. Dulu Dave lucu sekali. Kini perasaanku sudah berwarna-warni. Melukis pelangi, mencari bukti, meyakinkan hati. Buyapun sudah menanti.

“Jadi kamu mau menerimanya Az?”.

“Aku senang mendengar cerita Buya, tapi itukan dulu. Sudah lama sekali. Dave tidak pernah menyampaikannya langsung Buya. Az terlalu buruk jika disandingnkan dngan Dave.” Aku berusaha menjawab setenang mungkin.

“Loh, dikampus kurang apalagi Az. Dia tidak pernah pacaran, berusaha menjadi asisten pembimbing. Rela tanganya memar terserempet mobil karna meneriakimu yang melamun di tengah jalan. Jilbab yang kamu pakaipun itu pilhan Dave. Buya tau semuanya Az. Jika saja Dave punya Sembilan nyawa. Tujuh nyawanya akan diberikan kepadamu, satunya untuk Ummi, dan satunya nyawa lagi untuk Nisa. Itu permisalan pengorbanan Dave untukmu. Sekarang semuanya menjadi keputusanmu.

Kami sebagai orangtua tidak akan memaksa. Permintaan kami hanay melihat kalian bahagia. Walupun dulu amak dan ayahmu tidak pernah membahas perjodohan kalian berdu. Tapi Buya yakin, Amakmu juga mengharapkan hal yang sama.

            Ini voice note dari Dave tadi pagi, kamu harus dengar Az “Buya, kalau nanti Azalia mengiyakan niat baikku. Bisakah besok akad pernikahan disamakan waktunya dengan akad Nisa dan Fattah. InsyAllah mereka tidak menolak”.


            ***
Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Padang. 2016

Latar warna merah dan keemasan sudah mewarnai semua sudut ruagan. Acara pernikahan Nisa dan Bang Fattah dilaksanakan sederhana di belakang rumah Ummi dan Buya. Halaman rumah dikonsep menjadi tempat resepsi dan akad yang langsung berhadapan dengan Danau maninjau. Pernak-pernik pernikahan adat padang benar-benar ramai mempercantik suasana pernikahan barakah ini.
Aku dan Nisa berada di dalam kamar, aku harus menemani calon pengantin shalihah ini. Setidaknya menjadi tempat luapan pelukan ketika nanti semua orang bilang. “Sah”. “Kamu menolak lamaran Dave ya Az”. 

“Hush, pengantin gak boleh banyak bicara. Nnati ijab qabulnya gak kedengaran”. Nisa langsung mencubit pipiku. “Jendela kamarnya  bisa dibuka, kita bisa melihat sedikit dari jendela”. Nisa langsung berdiri, sedikit mengangkat gaun putih syar’inya dan membuka jendela sedikit.

“Cepat ganti gaunmu Az!”. Nisa langsung menarik tanganku. “Aku tau, Setelah Bang Fattah akad, Uda Dave juga akan ijab Qobul” Aku tersenyum mendengar ucapan Nisa, dari mana dia tau aku menerima lamaran Dave. Bukannya Buya janji mau rahasiakan. “Uda itu langsung meluk aku sama Ummi, setelah Buya ngasih kabar dari Hongkong”.

“Aku pura-pura aja, biar kamu seneng”. Dasaaar Nisaa.. aku langsung melemparinya dengan semua bantal pengantin yang ada di kamar. 

“Kamarmu juga sudah dihias, kamu gak mau liat?”.  Aku diam dan memintanya fokus mendegarkan.

“Sah… Bagaimana para saksi ?”. Sah.. Sah.. Alhamdulilah. 

Bang Fattah resmi menjadi suami Nisa. Dan sudah layak untuk dicintai Nisa, karna memang sudah menjadi suami. Sekarang giliran Dave, jika dia benar-benar menjadi suamiku. Dia harus tanggung jawab dengan semua ibadahku yang masih buruk seperti ini.

 “Saya terima nikahnya Azalia Lee Bin Ahmad Alan Lee dengan mas kawin tersebut tunai. Sah. Bagaimana saksi. Sah. Alhamdulilah. Aku dan Nisa langsung bersujud syukur dan memeluk ummi. Menangis tiada henti.

 Terimakasih Dave sudah mengejar tanpa menggangu, mendoakan dalam diam. Melindungi dari jauh. Membantu tanpa menuntut. Terimakasih Nisa sudah mejadi embun yang sejuk. Terimakasih Ayah untuk pelajaran menjemput kesadaran. Terimakasih Amak sudah mengajarkan memperkuat kesabaran. Termakasih Buya dan Ummi sudah mengajarakan kepedulian dan kepekaan.

 The Ende :)
 -----------------------------------------------------------

Terimakasih banyak untuk para pembaca, semoga terkesan dengan tulisan yang masih banyak kekurangan ini. Ditunggu tulisan lainnya, bagi yang suka dengan tulisan ini ditunngu komentarnya di : #SalamRindu (Azalia Lee )

Blog : http://umiwijaya.blogspot.co.id/
Facebook : https://web.facebook.com/umi.w.lau
Instagram : https://www.instagram.com/umi_wijayalau/